BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Tedahulu
Risma Ajeng Faulina (2010)
tentang “Sinetron dan perilaku Pacaran Remaja: Studi tentang Hubungan Antara
Pola Menonton Sinetron Remaja dan Perilkau Berpacaran Remaja di Surabaya”,
dengan jumlah responden sebanyak 100 orang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara pola menonton sinetron remaja terhadap perilaku
berpacaran remaja. Remaja sebagai khalayak aktif mampu memfilter segala
stimulus yang berasal dari remaja. Kecenderungan pola menonton sinetron remaja
dalam taraf biasa saja, artinya remaja tidak terlalu kecanduan menonton
sinetron dan prilaku berpacaran responden termasuk dalam taraf agak berbahaya.
Kecenderuan perilaku berpacaran remaja agak berbahaya dikarenakan lemahnya kontrol
orang tua. (http-www.library@lib.unair.ac.id.
Diakses, 16/092012).
Adapun yang menjadi
persamaan dalam penelitian risma dan penelitian yang dilakukan oleh penulis
yakni sama-sama meneliti tentang perubahan perilaku dengan menggunakan metode
penelitian kuantitatif. Sementara yang menjadi perbedaan adalah Risma lebih
memfokus pada perilaku pacaran remaja, sedangkan penulis memfokuskan pada
perilaku kekerasan siswa.
Isnani Murti dan Urip Santoso (2008) dengan penelitian “Pengaruh
Film Animasi Kartun Doraemon Terhadap Prilaku Anak Sekolah Dasar” (Studi di Perumnas
Unib Bengkulu), menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara perilaku
positif sebanyak 60% dan perilaku negatif sebanyak 34%. (http://-www.library.unib.ac.id. Diakses, 16/092012).
Hubungan penelitian yang
dilakukan Isnani Murti dan Urip Santoso dengan penelitian yang peneliti lakukan
adalah sama-sama meneliti tentang perilaku dan pengaruh tanyangan televisi.
Sedangkan perbedaannya adalah Isnani
Murti dan Urip Santoso mengambil sampel tayangan film kartun Doraemon, dan
melihat pengaruhnya terhadap perilaku anak, sedangkan penelitian ini mengambil
sampel tayangan Opera Van Java (OVJ) dan melihat pengaruhnya terhadap perilaku siswa.
Eddy Brahmana (2010) tentang
“pengaruh sinetron remaja jomblo terhadap perubahan perilaku remaja ( studi
korelasional pengaruh sinetron remaja
“Jomblo” di RCTI terhadap perubahan perilaku remaja di SMU Swasta GBKP Kabanjahe)”
dengan jumlah responden sebanyak 75 responden. Penelitian ini menympulkan bahwa
terdapat hubungan antara pengaruh sinetron remaja jomblo di televisi dengan
perubahan perilaku remaja pada siswa-siswi SMU Swasta GBKP Kabanjahe. (http://www.repository.usu.ac.id/handle/123456789/18917.
Di akses 16/09/2012).
Relevansi penelitian Eddy
Brahmana dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sama-saman meneliti
tentang pengaruh (Efek Psikologis) Sinetron terhadap perubahan perilaku dengan
menggunakan pendekatan metode kuantitatif. Sedangkan perbedaannya terletak pada
jenis tanyangan. Eddy Brahmana memilih tanyangan sinetron remaja sebagai fokus
penelitian, sedangkan penulis memilih tanyangan Opera Van Java (OVJ).
2.2. Kerangka Teori
2.2.1.
Teori
Kultivasi (Cultivation Theory).
Teori kultivasi adalah teori sosial yang
meneliti efek jangka panjang dari televisi pada khalayak.
Teori ini merupakan salah satu teori komunikasi
massa dikembangkan
oleh George Gerbner dan
Larry Gross dari University of Pennsylvania,
teori kultivasi ini berasal dari beberapa proyek penelitian skala besar
berjudul 'Indikator Budaya.
Tujuan dari proyek Indikator Budaya ini adalah untuk mengidentifikasi efek
televisi pada pemirsa.
(Severin dan Tankard, 2001:269).
Awalnya
Gerbner melakukan penelitian tentang indikator budaya di pertengahan tahun
60-an untuk mempelajari pengaruh televisi. Ia ingin mengetahui dunia nyata
seperti apa dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi. Penelitian
kultivasi yang dilakukan itu lebih menekankan pada dampak (Nurudin, 2007:167).
Menurut
teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi
belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya.
Dengan kata lain, persepsi apa
yang terbangun di benak pemirsa tentang masyarakat dan budaya sangat
ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa dengan televisi,
mereka belajar tentang
dunia, orang-orangnya, nilai-nilai sosial
serta adat dan tradisi nya.
Signorielli
dalam (Severin, 2005: 321) menyatakan, jika teori kultivasi benar, maka
televisi atau film mungkin mempunyai dampak penting tetapi tidak terlihat pada
masyarakat. Seperti halnya jika teori kultivasi menyatakan bahwa terlalu sering
menonton membuat merasa dunia ini adalah tempat yang tidak aman. Orang-orang
yang ketakutan mungkin menerima penindasan apabila itu membantu mengurangi
kegelisahan mereka.
2.2.2.
Asumsi
Dasar Teori Kultivasi
1. Televisi
merupakan media yang unik. Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan
media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang
bersifat:
a. Pervasive
(menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga);
b. Assesible
(dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
c. Coherent
(mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi
program dan waktu).
2.
Semakin banyak seseorang menghabiskan
waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut
menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial. Jadi menurut asumsi ini,
dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan
yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih
sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan
televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak menggeneralisasi
pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada
penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat).
3.
Penonton ringan (light viewers)
cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi
(baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), semantara penonton berat
(heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi
mereka.
4.
Terpaan pesan televisi yang terus
menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan
konsensus masyarakat.
Asumsi keempat toeri ini menyatakan bahwa terpaan televisi yang intens dengan frekuensi yang kerap dan terus menerus membuat apa yang ada dalam pikiran penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi.
Asumsi keempat toeri ini menyatakan bahwa terpaan televisi yang intens dengan frekuensi yang kerap dan terus menerus membuat apa yang ada dalam pikiran penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi.
5.
Televisi membentuk mainstreaming dan
resonance yaitu asumsi kelima ini menegaskan bahwa televisi membentuk
mainstreaming dan resonace. Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan
faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross, Morgan dan
Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004).
6.
Perkembangan teknologi baru memperkuat
pengaruh televisi yaitu asumsi terakhir menyatakan bahwa perkembangan teknologi
baru memperkuat pengaruh televisi. Jadi, meskipun televisi bukanlah
satu-satunya sarana yang membentuk pandangan kita tentang dunia, televisi
merupakan salah satu media yang paling ampuh, terutama bila kontak dengan
televisi yang sangat sering dan berlangsung dalam waktu lama (Ardianto dkk,
2004: 65).
2.2.3.
Metode
- Metode Analisis Kultivasi
Menurut Wimmer dan
Dominick (2003:414) terdapat dua cara dalam menganalisis kultivasi. Pertama,
deskripsikan dunia media yang diperoleh dari analisis periodic atas isi media.
Hasil Dari analisi isi adalah mengidentifikasi pesan dari dunia televisi.
Pesannya mewakili gambaran konsisten atas isu spesifik, kebijakan, dan topik
yang sering terjadi dalam kehidupan nyata. Kedua, mengsurvei khalayak dengan
menghubungkan pada terpaan televisi, membagi sampel kedalam heavy dan light viewers serta membandingkan jawaban mereka atas
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan realitas televisi versus realitas
dunia nyata. Sebagai tambahan data yang dikoleksi sebagai variabel control
mencakup gender, usia, dan status social ekonomi. Prosedur statistic terdiri
dari analisis korelsi antara jumlah menonton dan skor jawaban yang
merefleksikan pertanyaan. Sebagai alternative bisa dihitung tentang cultivation differential (CD). CD adalah
persentase heavy viewers dikurangi persentase light
viewers yang memberikan jawaban.
Keputusan pengukuran
bisa memberikan hasil signifikan pada kultivasi. Potter dan Chang (1990)
seperti dikutip Wimmer dan Dominick (2003:415) mengukur pemirsa televisi
menggunakan lima teknik yang berbeda yaitu:
a.
Terpaan total atau jumlah jam
keseluruhan (cara tradisional yang digunakan dalam analisis kultivasi).
b.
Terpaan terhadap berbagi tipe program
televisi yang berbeda.
c.
Terpaan pada tipe program seperti
mengontrol untuk terpaan total.
d.
Mengukur proposi setiap tipe program
yang dilihat, diperoleh dengan
membagi
waktu yang digunakan pertipe program dengan total waktu menonton.
e.
Proposi pengaruh dihitung dengan
meningkatkan jam menonton
perminggu dengan
menghitung dengan cara proposional seperti disebutkan pada teknik ke empat.
2.2.4.
Teori Kultivasi di Kehidupan Sehari-Hari
Menurut teori kultivasi
ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu
belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Dengan kata lain untuk
mengetahui dunia nyata macam apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh pemirsa
televisi. Bagaimana media televisi mempengaruhi persepsi pemirsa atas dunia
nyata. Asumsi dasar dalam teori ini adalah terpaan media yang terus menerus
akan memberikan gambaran dan pengaruh pada persepsi pemirsanya. Artinya selama
pemirsa kontak dengan televisi, mereka akan belajar tentang dunia (dampak pada
persepsi), belajar sikap dan nilai-nilai orang.
Fokus utama riset
kultivasi pada tayangan kriminal dan kekerasan dengan membandingkan kepada
prevalensi (Frekuensi) criminal dalam masyarakat. Salah satu aspek yang menarik
dari kultivsi adalah Mean World Syndrome.
Nancy Signorielli (dalam Littlejohn, 2005:289). Melaporkan kajian sindrom
dunia makna dimana tayangan kekerasan dalam program televisi untuk anak-anak
dianalisis. Lebih dari 2000 program acara dalam tayangan Prime Time dan Week Ends dari tahun 1967 sampai 1985
dianalisis dengan hasil yang menarik. Kurang lebih 71 program Prime Time dan 94 program Week Ends terdapat aksi kekerasan. Bagi pemirsa pecandu berat
televisi (Heavy Viewers) dalam jangka
waktu lama ternyata hal ini member keyakinan bahwa tak seorangpun bisa
dipercaya atas apa yang muncul dalam dunia kekerasan. Temuan ini
mengindikasikan bahwa pecandu berat televisi
cenderung melihat dunia ini sebagai kegelapan/mengerikan serta tidak
mempercayai orang. Apa yang terjadi ditelevisi itulah dunia nyata. Televisi
menjadi potret sesungguhnya dunia nyata.
Gerbner dan kolegannya
berpendapat bahwa televisi menanamkan sikap dan nilai tertentu. Medi pun
kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu antar anggota
masyarakat yang kemudian mengikatnya sama-sama pula. Media mempengaruhi
oenonton dan penonton itu menyakininya. Sehingga para pecandu berat televisi
akan mempunyai kecenderungan sikap yang sama satu sama lain (Nurudin,
2003:159). Sementara McQuail (2001:465) mengutip pandangan Gerbner bahwa
televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari
disekitar kita, tetapi duniaitu sendiri. Gambaran tentang adegan kekerasan di
televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan.
Dengan kata lain,
perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian
disekitar kita. Jika adegan kekerasan merefleksikan aturan hukum yang tidak
bisa mengatasi situasi yang bisa digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi
ini merupakan yang sebenarnya. Kekerasan yang ditayangkan ditelevisi dianggap
sebagai kekerasan yang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang bisa digunakan
untuk mengatasi perilaku kejahatan yang ditayangkan televisi akan dikatakan
bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini. Inilah yang kemudian dalam
analisis kultivasi televisi memberikan homogenisasi budaya atau kultivasi
terjadi dalam dua hal Mainstreaming (Pelaziman)
dan Resonance (Resonasi).
Mainstreaming
dalam
analisi kultivasi terjadi pada pecandu berat televisi (menonton lebih dari 4
jam perhari) yang mana symbol-simbol televisi telah memonopoli dan mendominasi
sumber informs dan gagasan tentang dunia. Orang menginternalisasi realitas
social dominannya lebih kepada aspek cultural, karena in lebih dekat dengan
kesehariannya. Sementara, Resonance terjadi
ketika pemirsa melihat sesuatu ditelevisi yang sama dengan realitas kehidupan
mereka sendiri, realitas televisi tak berbeda dengan realitas didunia nyata.
Artinya, mereka menganggap bahwa pemberitaan perang kriminalitas, dan konflik
para pesohor ditelevisi inilah realitas dunia yang sesungguhnya. Televisi tidak
sadar memberikan pengetahuan, atau melaporkan realitas peristiwa. Lebih dari
itu, televisi berhasil menanamkan realitas bentuknya kebenak pemirsa. Menurut Parse
(2001:215) efek dominan kultivasi kekerasan televisi pada individu adalah pada
kognitif (menyakini tentang realitas sosial) dan afektif (takut akan
kejahatan).
2.3. Komunikasi
Massa
Pengertian komunikasi massa merujuk kepada pendapat
Tan dan Wright dalam Liliweri 1991, merupakan bentuk komunikasi yang
menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan
secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar),
sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu (Elvinaro dan Komala, 2004 :
3).
Definisi komunikasi massa yang paling sederhana
dikemukakan oleh Bittner yakni pesan yang dikomunikasikan melalui media massa
pada sejumlah besar orang (Komala dan Elvinaro, 2004:3). Dari definisi tersebut
dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Jadi,
sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat
akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang,
jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Media
komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran dan televisi, keduanya
dikenal sebagai media elektronik, adanya media cetak yakni surat kabar dan
majalah serta ada juga media film, yakni film sebagai media komunikasi massa
adalah film bioskop.
Ada juga definisi tentang komunikasi massa yang lebih
rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gerbner yang menyatakan
bahwa komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan
teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkelanjutan serta paling luas
dimiliki orang dalam masyarakat industri (Komala dan Elvinaro, 2004 : 4). Dari
definisi Gerbner ini tergambar bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu
produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan kepada
khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya
harian, mingguan, atau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan
oleh perorangan, melainkan harus oleh lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi
tertentu, sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat
industri.
Definisi komunikasi massa dari Meletzke berikut ini
memperlihatkan sifat dan ciri komunikasi massa yang satu arah dan tidak
langsung sebagai akibat dari penggunaan media massa, juga sifat pesannya yang
terbuka untuk semua orang. Dalam definisi Meletzke, komunikasi massa diartikan sebagai
setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui
media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang
tersebar (Komala dan Elvinaro, 2004: 4). Istilah tersebar menunjukkan bahwa
komunikan sebagai pihak penerima pesan tidak berada di satu tempat, tetapi
tersebar di berbagai tempat.
Menurut Freidson, definisi komunikasi massa dibedakan
dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan bahwa komunikasi massa
dialamatkan kepada sejumlah populasi dari berbagai kelompok, dan bukan hanya
satu atau beberapa individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa
juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk
menyampaikan komunikasi agar komunikasi itu dapat mencapai pada saat yang sama
semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat (Komala dan Elvinaro,
2004: 4).
Bagi Freidson, khalayak yang banyak dan tersebar itu
dinyatakan dengan istilah sejumlah populasi, dan populasi tersebut merupakan
representasi dari berbagai lapisan masyarakat. Artinya pesan tidak hanya
ditujukan untuk sekelompok orang tertentu saja, melainkan diberikan untuk semua
orang. Dalam hal ini Freidson dapat menunjukkan ciri komunikasi massa yang lain
yaitu adanya unsur keserampakan penerimaan pesan oleh komunikan, pesan dapat
mencapai pada saat yang sama kepada semua orang yang mewakili berbagai lapisan
masyarakat, karena dalam proses komunikasi massa ada sifat keserampakan dalam
penerimaan pesan.
Menyimak berbagai definisi komunikasi massa yang
dikemukakan oleh para ahli komunikasi, nampaknya tidak ada perbedaan yang
mendasar atau prinsip, bahkan definisi-definisi itu satu sama lain saling
melengkapi. Hal ini telah memberikan gambaran yang jelas mengenai pengertian
komunikasi massa. Bahkan, secara tidak langsung dari pengertian komunikasi
massa dapat diketahui pula ciri-ciri komunikasi massa yang membedakannya dari
bentuk komunikasi.
2.4. Televisi.
Televisi berasal dari dua
kata yaitu tele (bahasa yunani) yang
berarti jauh, dan visi atau videre (bahasa latin) yang berarti
penglihatan. Dengan demikian, televisi dengan bahasa inggrisnya television diartikan dengan melihat
jauh. Melihat jauh disini diartikan dengna gambar dan suara yang diproduksi di
suatu tempat (studio televisi) dapat dilihat dari tempat lain melalui sebuah
perangkat penerima (televisi set). (Effendy, 2003:49).
Menurut Effendy (2002:21) yang dimaksud
dengan televisi adalah siaran yang merupakan media dari jaringan komunikasi
dengan ciri-ciri yang dimiliki komunikasi massa, yaitu berlangsung satu arah,
komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya menimbulkan
keserempakan. Dan komunikasinya bersifat hiterogen. Televisi adalah sistem
telekomunikasi untuk penyiaran dan penerimaan gambar dan suara dari jauh.
McQuail, (2000: 36),
berusaha untuk melipatgandakan kapital pemiliknya. Selain menjual produk
media dalam bentuk materi maupun jasa, televisi bertujuan untuk menjual
para penontonnya. Pembelinya adalah agen iklan dan perusahan tertentu yang
membutuhkan publikasi. Angka-angka hasil surve rating menjadi ukuran bagi
kesuksesan pasar ganda televisi ini.
Maka dari itu, televisi
dapat diartikan sebagai sebuah kotak yang menampilkan bentuk gambar gerak dan
suara dengan berbagai macam kemasan yang disajikan untuk khalayak.
2.4.1.
Karakteristik Televisi.
Menurut Ardianto televisi (Ardianto, 2004:128-130)
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a.
Audiovisual.
Televisi memiliki kelebihan, yakni dapat di dengar
sekaligus dapat dilihat. Khalayak televisi dapat melihat gambar yang bergerak.
Kata-kata dan gambar harus ada kesesuaian secara harmonis. Karena sifatnya yang
audiovisual, siaran berita harus
selalu dilengkapi dengan gambar, bak gambar diam seperti foto, gambar peta,
maupun film berita, yakni rekaman peristiwa yang menjadi topik berita.
b.
Berfikir dalam
gambar.
Ada dua tahap yang dilakukan dalam proses berfikir
dalam gambar. Pertama adalah visualisasi,
yakni menerjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar
secara individual.
Kedua adalah penggambaran, yakni kegiatan merangkai
gambar-gambar individual sedemikian rupa.
c.
Pengoperasian
lebih kompleks
Pengoperasian televisi lebih kompleks dan lebih banyak
melibatkan orang. Peralatan yang digunakanpun lebih banyak dan untuk
mengoperasikannya lebih rumit dan harus dilakukan oleh orang-orang terampil dan
terlatih.
2.4.2.
Format
Acara Televisi
Format acara televisi
adalah sebuah perencanaan dasar dari suatu konsep acara televisi yang akan
menjadi landasan kreativitas dan desain produksi yang akan berbagi dalam
berbagai criteria utama yang disesuaikan dengan tujuan dan target pemirsa acara
tersebut (Rukmananda, 2004:63).
a.
Drama (fiksi): adalah sebuah format
acara televisi yang diproduksi dan dicipta melalui proses imajinasi kreatif dan
kisah-kisah drama atau fiksi yang direkayasa dan dikreasi ulang.
b.
Non drama (non fiksi) adalah sebuah
format acara elevisi yang diproduksi dan dicipta melalui proses pengolahan
imajinasi kreatif dan realitas kehidupan sehari-hari tanpa harus menginterpretasi ulang dan tanpa
harus menjadi dunia khayalan.
c.
Berita dan olahraga adalah sebuah format
acara televisi yang diproduksi berdasarkan informasi dan fakta atas kejadian
dan peristiwa yang berlangsung pada kehidupan masyarakat seharihari.
Tabel 2.1: Format
Acara Televisi
Drama (fiksi)
|
Non Drama (non
fiksi)
|
Berita
|
Tragedy
|
Music
|
features
|
Aksi
|
Magazine show
|
Spots
|
Komedi
|
Talk show
|
news
|
Cinta
|
Variety show
|
|
Legenda
|
Repackaging
|
|
horor
|
Game show
|
|
|
kuis
|
|
Rukmananda,Naratama. 2004:64 Menjadi Sutradara Televisi. Jakarta PTGrasindo
2.4.3.
Fungsi Televisi Sebagai Media
Massa
Sebagai
media, televisi berfungsi menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat.
Informasi yang benar dapat memiliki fungsi sebagai pendidikan bagi masyarakat,
bukan orientasi kepentingan komersial yang hanya diukur dengan rating. Menurut Haryatmoko (2007:19)
informasi yang benar mencerahkan kehidupan. Televisi membantu menjernihkan
pertimbangan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat. Informasi yang tepat
menjadi sarana pendidikan yang efektif. Televisi membuka peluang untuk
memperbaiki nasib seseorang atau kelompok. Informasi yang benar dapat mendidik
masyarakat. Masyarakat memiliki tambahan pengetahuan dan mampu untuk menentukan
pilihan yang tepat dan kritis berdasarkan informasi, bukan pencitraan.
Sebagai
industri dan organ kapitalisme, televisi dituntut mencari keuntungan
sebesar-besarnya untuk tetap bertahan hidup dan memenangkan persaingan.
Haryatmoko (2007: 1) menambahkan derap langkah realitas sangat diwarnai oleh
struktur pemaknaan ekonomi yang dirasakan menghambat idealism itu. Dinamisme
komersial seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan dan keindahan.
Logika pasar mengarahkan pengorganisasian sistem informasi. Banyak pimpinan
media yang berasal dari dunia perusahaan mau membenarkan logika pasar tersebut.
Realitas pasar ini menggambarkan betapa media berada dibawah tekanan ekonomi
persaingan yang keras dan ketat. Bertahan hidup dengan mencari pemasukan,
pemasukan didapat jika media ditonton oleh banyak orang sehingga menarik
pengiklan. Pengiklan datang karena mereka berfikir bahwa media ini efektif
karena dapat ditonton oleh banyak orang. Disini televisi mulai tergoda untuk
berfikir praktis. Salah satunya dengan membuat tayangan-tayangan yang disukai
masyarakat.
Dedy
Iskandar Muda (2003:7) mengatakan, stasiun televisi dapat memilih progam yang
menarik dan memiliki nilai jual kepada pemasang iklan, sementara perusahaan
produksi acara televisi dapat meraih keuntungan datri produksinya. Di Indonesia
kecenderungan televisi swasta sudah mulai mengarah kepada sistem di Amerika.
Ini dimulai dari gerapan-gerapan sinetron, kuis, dan beberapa acara hiburan
lainnya. Cara seperti ini memang sangat menguntungkan bagi stasiun televisi
tersebut karena semuanya dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
bisnis yaitu untung dan rugi. Terjadi disorientasi dari sifat mendasar dari
televisi, dari medium untuk mencerahkan kehidupan masyarakat menjadi medium
yang meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini melupakan esensi dari sifat
tadi. sifat memberikan tayangan yang mendidik dilupakan dan diganti dengan
tayangan-tayangan yang bersifat mendatangkan keuntungan. Ini berarti tidak ada
media televisi yang merelakan dirinya sebagai media pendidikan bagi masyarakat.
Seakan mereka lepas tangan dari tanggung jawab bersama untuk mencerdaskan
bangsa. Ini berarti, tidak ada media televisi yang menjadi tumpuan untuk
memberikan pencerahan masyarakat karena semua telah berubah orientasi menjaga Rating. Maka dalam hal ini dapat
disimpulkan beberapa poin dari penjelasan diatas di antaranya yaitu:
a. Media massa bertindak sebagai
pengamat lingkungan dan selalu akan memberikan berbagai informasi atas hal-hal yang
tidak dapat terjangkau khalayak.
b. Media massa sebagai gate keeper
artinya lebih menekankan kepada pemilihan, penilaian, penafsiran tentang apa
yang patut di sampaikan kepada khalayak.
c. Media massa berfungsi sebagai
jembatan tata nilai dan budaya dari generasi satu ke generasi berikutnya, dan
juga sebagai media pendidikan.
2.4.4.
Dampak
Acara Televisi
Media televisi sebagaimana media massa lainnya
berperan sebagai alat informasi, hiburan, kontrol sosial, dan penghubung
wilayah secara strategis. Bersamaan dengan jalannya proses penyampaian isi
pesan media televisi kepada pemirsa, maka isi pesan itu juga akan
diinterpretasikan secara berbeda-beda menurut visi pemirsa serta dampak yang
ditimbulkan juga beraneka ragam. Ada beberapa dampak yang dapat dilihat secara
langsung yaitu:
a.
Dampak Dari Segi
Kognitif
Televisi
merupakan salah satu media komunikasi yang memiliki berbagai macam program
variatif dan menarik. Suguhan program-program acara yang variatif dan menarik
tersebut telah menjadikan televisi sebagai salah satu benda yang sangat
penting bahkan sangat sulit dipisahkan dari anak. Toriza (2010) menyatakan bahwa anak
cenderung hanya menonton program siaran televisi yang menghibur seperti film
kartun dan film anak lainnya. Jarang sekali anak yang suka menonton acara
televisi yang bersifat informatif seperti berita.
Selanjutnya
Toriza (2010) kembali menyatakan bahwa televisi sedikitnya telah banyak
mempengaruhi pola perilaku anak-anak, salah satunya adalah mempengaruhi
perilaku belajar anak, salah satunya dalam hal kognitif. Perilaku anak menonton
televisi kadang sangat menyita waktu mereka, membuat mereka lupa beraktivitas,
dan pada akhirnya menghancurkan gairah belajar mereka. Anak-anak memiliki
perilaku untuk menunda tugas-tugas sekolah mereka demi menonton sebuah film
yang mereka tunggu. Frekuensi dan lama menonton televisi pada anak-anak pun
kini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi mereka belajar atau
mengaji. Sesuai dengan data pada tabel 1 mengenai dampak yang disadari anak
akibat sering menonton televisi, sebanyak 80,1 % anak yang menjadi malas
belajar.
Tabel 2.2: Dampak yang Disadari Anak Akibat Sering Menonton
Televisi
Dampak
|
%
|
Malas belajar
|
80,1
|
Tidak suka membaca buku
|
66,3
|
Sumber:
www.Kompas.com
Hal tersebut telah meresahkan banyak pihak karena dampak
negatif dari televisi telah berpengaruh terhadap cara belajar anak yang
tentunya dapat berpengaruh pula terhadap kualitas sumber daya manusia
kedepannya apabila semakin dibiarkan. Namun selain itu, terdapat dampak lain
yang ditimbulkan program televisi dalam hal postif yakni stasiun televisi saat
ini telah mampu mengemas program-programnya semenarik mungkin, ilustratif,
ringan dan tanpa membutuhkan pemikiran yang sulit, sehingga anak-anak mudah
untuk menangkap pesan yang ingin disampaikan. Kelebihan televisi tersebut
membuat program yang menyangkut hal-hal mengenai pendidikan akan lebih mudah
diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah wawasan dan
pengetahuan anak tersebut. Dampak positif lainnya yakni anak menjadi lebih
cerdas sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Selanjutnya program-program televisi saat ini pun sangat membantu dalam
mengembangkan keterampilan yang dimiliki anak itu sendiri.
b. Dampak Dari Segi Psikomotorik
Seiring
dengan maraknya stasiun televisi swasta yang hadir di Indonesia maka persaingan
diantara stasiun televisi semakin tinggi sehingga mereka berlomba-lomba untuk
mendapatkan rating yang tinggi. Salah
satu cara memperoleh rating tinggi
yakni dengan menayangkan sinema elektronik atau lebih dikenal dengan istilah
sinetron. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sinetron menjadi salah satu program
yang digemari berbagai macam lapisan masyarakat dan salah satunya anak-anak.
Banyaknya jumlah sinetron, komedia, dan masih banyak acara tayangan hiburan
lainnya yang dapat menimbulkan kekhawatiran banyak pihak mengenai dampak yang
timbul dan khususnya akan dialami anak-anak, karena di dalam sinetron, komedi
dan tayangan tersebut cukup banyak sekali yang tidak bisa dijadikan suatu
contoh yang baik yang banyak terkandung muatan negatif dan sering menampilkan
adegan-adegan antisosial. (Yuritsa 2011)
Tayangan
sinetron pun semakin hari semakin banyak dilirik anak-anak. Hal tersebut
terlihat dari grafik program televisi yang tertera pada lampiran dan
menjelaskan bahwa tayangan sinetron merupakan program televisi yang mendapatkan
perhatian yang cukup tinggi diantara program-program televisi lainnya. Program-program yang cenderung
mengandung muatan negatif dan ditayangkan televisi ini membuat berbagai
kalangan khususnya orang tua menjadi resah. Dari segi psikomotoriknya,
anak-anak cenderung meniru dan melakukan apa yang mereka lihat. Prilaku negatif
pun mulai muncul contohnya anak-anak menjadi kasar kepada orang-orang
disekitarnya. Mereka sering mengeluarkan kata-kata kotor yang belum pantas
dikatakan anak seusianya, bahkan mereka tidak segan-segan memukul orang lain.
Selanjutnya
dampak lain dari program dalam media komunikasi televisi yang berpengaruh
terhadap anak dari segi psikomotoriknya yakni moralitas anak menjadi negatif
disebabkan mereka cenderung lebih meniru nilai-nilai negatif yang terkandung
dalam program televisi yang sering mereka lihat. Ditambah lagi kebanyakan anak
menjadi pasif dalam membangun hubungan sosial dengan lingkungannya akibat dari
kecanduan menonton televisi sehingga mengurangi lingkup pergaulannya dengan
masyarakat luas dan tidak heran lagi jikalau anak-anak kecil sekarang pun
secara tidak langsung sedikit demi sedikit terdidik untuk berprilaku konsumtif.
2.5.
Program
Televisi.
Program
televisi diartikan sebagai penjadwalan atau perencanaan siaran televisi dari
hari ke hari (horizontal programming) dan dari jam ke jam (vertical
programming) setiap harinya. Media televisi hanya mengistilahkan programming
atau pemograman (Soenarto, 2007:1). Sedangkan menurut Rukmananda (2004:213),
programming adalah teknik penyusunan program acara televisi yang ditayangkan
secara berurutan.
Berdasarkan
isi, program televisi berbentuk berita dapat dibedakan antara lain berupa
program hiburan, drama, olahraga, dan agama. Sedangkan untuk program televisi
berbentuk berita secara garis besar dikategorikan ke dalam "hard news"
atau berita-berita mengenai peristiwa penting yang baru saja terjadi dan "soft
news" yang mengangkat berita bersifat ringan. Jenis program televisi dapat
dibedakan berdasarkan bentukjadi (format) teknis atau berdasarkan isi.
Bentuk dari teknis merupakan bentuk dari umum yang menjadi acuan
terhadap bentuk program televisi seperti gelar wicara (talk show),
dokumenter, film, kuis, musik, instruksional, dll.
Pengaturan penayangan
program televisi di sebuah stasiun televisi biasanya diatur oleh bagian pemograman siaran atau bagian perencanaan
siaran. Pada umumnya, pihak perencanaan siaran mengatur jadwal penayangan satu
program televisi berdasarkan perkiraan kecenderungan menonton peminat program
tersebut. Misalnya, pengaturan jadwal tayang siaran berita di pagi hari disesuaikan dengan kecenderungan peminat penonton siaran berita. Keberhasilan sebuah
program TV saat ini diukur oleh tingkat konsumsi program tersebut oleh pemirsa
atau biasa disebut pemeringkatan. Pengukuran peringkat dilakukan oleh lembaga
riset yang menempatkan alat bernama "people meter" pada beberapa responden.
2.6.
Tayangan Opera
Van Java (OVJ)
Opera Van Java
(disingkat OVJ) adalah acara komedi di
stasiun televisi Indonesia, Trans 7. Ide acaranya adalah pertunjukkan wayang orang
versi modern. (http://id.wikipedia.org/wiki/Opera_Van_Java,
diakses 26/09/2012). Opera Van Java pertama kali mengudara pada 12 Desember
2008. Konsepnya mirip pertunjukan wayang orang. Ada dalang, sinden, pemain
musik, dan sekelompok pemain di atas panggung.
Opera Van Java pertunjukan wayang yang diperankan oleh
manusia. Dalam Opera Van Java, Parto
berperan sebagai seorang dalang yang mempunyai wewenang untuk mengatur alur
cerita di setiap adegan. Sedangkan para pemain yang bertindak sebagai wayang,
harus menuruti semua perintah yang diucapkan oleh dalang, oleh karena itu, para
pemain dituntut untuk melakukan improvisasi adegan dan dialog dengan cepat.
Selain itu, keunikan program ini adalah alur ceritanya yang hanya diketahui
oleh sang dalang, sehingga reaksi dan aksi spontan para pemain Opera Van Java ini akan mengalir dengan sendirinya.
Yang lucu dan menarik dari program ini adalah para wayang
dapat protes jika merasa gak sreg dengan perintah/petunjuk dalang. Parto Patrio
yang memerankan tokoh dalang memang suka ngasih perintah yang aneh-aneh,
misalnya nangis sampai berguling-guling atau marah sambil melotot ke kanan dan
kiri yang notabene harus diikuti oleh wayang. Selama pertunjukan wayang manusia
ini berlangsung, Parto akan ditemani oleh sinden yang akan memberikan
komentar terhadap para pemain serta menyanyikan beberapa buah lagu dengan gaya
khas seorang sinden, sedangkan Sule, Andre, Aziz ‘Gagap’
dan Nunung
akan hadir di setiap episode OVJ sebagai pemain wayang tetap.
Acara komedi Opera Van Java (OVJ), aktor dan aktris yang mengisi acara diberi aba-aba untuk
berimprovisasi tanpa menghafal naskah sebelumnya, dengan panduan seorang dalang. Para "wayang"
diperankan oleh beberapa pelawak, seperti Nunung, Azis Gagap, Andre Taulany, Sule, Desta dan
dalang diperankan Parto Patrio. Adapula para
pemain musik tradisional lengkap dengan alat musik khas Sunda dan Jawa yang
dimainkan oleh para lulusan STSI Bandung, tempat Sule kuliah dan sinden yang menyanyikan lagu pop, bintang tamu juga kerap ditampilkan pada tiap
episodenya.
Lakon-lakon yang dimainkan biasanya tentang cerita rakyat
Indonesia yang dimodifikasi, cerita
tentang karir seseorang yang terkenal, cerita rekaan, cerita hantu, cerita dari negara lain, atau cerita dari hal-hal
yang sedang populer. Keunikan OVJ adalah lawakan dilakukan dengan improvisasi
dan mengandalkan panduan dalang, namun selalu berantakan karena para pelawak
pasti melenceng dari garis besar yang dibacakan dalang. Kalau sudah seperti
itu, sang dalang sendiri akan turun tangan dengan perasaan kesal karena
diabaikan. Ia akhirnya ikut naik ke panggung dan mengawasi cerita, seringkali
ikut campur atau bahkan malah dipermainkan.
Acara ini dianggap sukses karena telah mampu menyedot
perhatian khalayak, terbukti dari penambahan jam tanyangnya, dari Senin-Jum’at
pukul 20:00 Wib. Kesuksesan sebuah program TV saat ini diukur oleh tingkat
konsumsi program tersebut oleh pemirsa atau biasa disebut rating. Pengukuran
rating dilakukan oleh lembaga riset yang menempatkan alat bernama "people
meter" pada beberapa responden. Dalam hal ini stasiun TV Trans 7
menjadikan program acara Overa Van Java (OVJ) menjadi program andalan mereka
karena telah membawanya menempuh puncak rating tertinggi. (http://kabarinews.com.sukses-ovj/36064,
diakses 28/09/2012).
2.7.
Prilaku Kekerasan
Prilaku kekerasan adalah
suatu perilaku yang menunjukkan sikap bermusuhan terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan dan dapat membuat kerusakan. (http://digilib.unimus.ac.id/diakses 30/09/2012).
Menurut Huraerah (2006: 18)
kekerasan adalah segala tindakan yang
cenderung menyakiti orang lain, berbentuk agresi fisik, agresi verbal,
kemarahan atau permusuhan. Menurut Carpenito (2000: 26), Perilaku
kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya
langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain. Menurut Maramis (2005: 94), Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan yang
dapat timbul secara mendadak atau didahului tindakan ritualistik atau meditasi
pada seseorang (pria) yang masuk dalam suatu kesadaran yang menurun atau
perkabut (Trance Like State) tanpa dasar epilepsy.
perilaku kekerasan dapat
disimpulkan dengan sebuah bentuk perilaku menyerang orang lain, baik fisik,
psikis (emosi/marah dan lain-lain) dan perilaku lainnya yang membuat orang lain
atau lingkungan merasa dirugikan. perilaku kekerasan atau tindak kekerasan
merupakan ungkapan perasaan marah dan bermusuhan sebagai respon terhadap
kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang mengakibatkan hilangnya kontrol
diri dimana individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan
yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
2.7.1.
Jenis Perilaku Kekerasan
Disisi lain, menurut
analisis ilmu psikologi, perilaku kekerasn dapat didefinisikan dalam bentuk
atau jenis kekerasan fisik dan psikologis. Kekerasan fisik adalah kekerasan
yang menyebabkan cedera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang atau menyebabkan
kematian. Kekerasan jenis ini dalam prakteknya dapat diketahui dalam dua
kategori yaitu kekerasan fisik ringan dan kekerasan fisik berat. (Nurhayati,
2000:29-30).
1. Kekerasan
dalam bentuk fisik:
a. Kekerasan
fisik ringan yaitu tindakan kekerasan yang tidak sampai membuat korban Knock
Out berupa menampar, menjembak, mendorong, dan lainnya yang mengakibatkan
cidera ringan. (Nurhayati, 2000:29).
b. Kekerasan
fisik berat yaitu segala tindakan kejahatan yang mengakibatkan korban semaput,
Knock Out, berdarah-darah, luka berat-
hingga menimbulkan kematian.
(Nurhayati, 2000:29).
2. Kekerasan
dalam bentuk psikologis:
a. Kekerasan
psikologis ringan yaitu tindakan pengendalian, manipujlasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan, dan penghinaan. Dalam bentuk pelanggaran, pemaksaan,
dan isolasi social juga berupa ucapan kasar mengancam, menghina yang bukan
inotasi saja mengesankan kasar, tapi maksud dan tujuan seperti menghina,
merendahkan orang lain, memaksa orang lain, ancaman kekerasan ringan, fisik,
seksual, psikis dan sebagainya.
b. Kekerasan
psikologis berat yaitu tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk planggaran, pemaksaan,
dan isolasi social, seperti bunuh diri dan ketergantungan narkoba. (Nurhayati,
2000:31).
2.7.2.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Perilaku Kekerasan
Menurut Rusmil (dalam
Abu Hurairah, 2006: 47), faktor penyebab tindakan perilaku kekerasan dan
penelantaran dapat dibagi menjadi tiga faktor, yaitu faktor anak itu sndiri,
faktor orang tua atau keluarga dan faktor lingkungan social atau komunitas.
1.
Faktor
Internal
a. Penderita
gangguan perkembangan, anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental terlalu
bergantung pada orang tua.
b. Perilaku
menyimpang pada anak
c. Ketidaktahuan
tentang hak – haknya
d. Frustasi
e. Tipe
kepribadian
2. Faktor Orang Tua / Keluarga
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya
kekerasan dan penelantaran pada anak. Faktor - faktor yang menyebabkan orang
tua melakukan kekerasan dan penelantaran terhadap anak diantaranya:
a. Dibesarkan
dengan penganiayaan
b. Gangguan
mental
c. Belum
mempunyai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama mereka yang mempunyai
anak sebelum berusia dua puluh tahun.
d. Pecandu
minuman keras dan obat.
e. Keluarga
pecah (broken home)
f. Keluarga
yang belum matang secara psikologis, anak yang tidak diinginkan.
g. Penyakit
parah pada salah satu atau kedua orang tua.
3. Faktor Lingkungan Sosial / Komunitas
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi
pencetus terjadinya kekerasan terhadap anak, diantaranya:
a. Sejarah
penelantaran anak
b. Kondisi
lingkungan sosial yang buruk
c. Adanya
nilai-nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua-
Adanya nilai - nilai
dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua yang bisa diberlakukan
sekehendaknya.
d. Sistem
keluarga patriarchal
e. Nilai
masyarakat yang terlalu individualistis
Selain itu akibat dari
faktor lainmjuga terlihat dari segi kemiskinan, rasial, penggunaan obat
terlarang dan alkohol, paparan kekerasan usia dini dan kekerasan dari media
masa. Ekonomi keluarga berpengaruh secara tidak langsung kepada perilaku
kekerasan melalui gaya pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak
remajanya tersebut.
2.8. Perilaku kekerasan remaja.
2.8.1.
Remaja
Menurut psikologi,
remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal
dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada
usia 18 tahun hingga 22 tahun. (http://www.Psikologi-zone.com, diakses
27/09/2012). Zakiah dalam (Abu Al-Ghifari, 2003:22) mendefinisikan remaja
sebagai anak yang ada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju usia
dewasa, usia 14-17 tahun.
Menurut
Drs. Hasan Basri dalam (Abu Al-Ghifari, 2003:22) menilai remaja sebagai
kelompok manusia yang tengah meninggalkan masa anak-anak yang penuh dengan
ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab. Masa remaja ditandai
dengan pengalaman baru yang sebelumnya belum pernah dialami baik dalam bentuk
fisik, biologis maupun psikis atau kejiwaan.
Masa
remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi
badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik
seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan
dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas
sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin
banyak menghabiskan waktu di luar keluarga.
2.8.2.
Jenis
kekerasan remaja.
Beragam
macam jenis kekerasan selalu terjadi di kalangan remaja yang sering kita lihat
diberbagai media berita baik itu media cetak dan elektronik. Dibawah ini
sebagian kecil jenis kekerasan remaja yang sering terjadi di kalangan remaja
sekarang.
a. Kata-kata
kasar yaitu Bentuk kekerasan remaja lainnya yang juga merupakan hasil
perkembangan globalisasi, yakni berbicara kasar dan kotor. Seperti kita ketahui
salah satu kebudayaan barat yang negatif adalah kata-kata kasar, dalam hal
apapun orang-orang barat bisa dengan mudahnya berkata kasar. Hal tersebut
dimplementasikan oleh banyak remaja masa kini. Remaja-remaja masa kini seakan
dengan mudah dan bebasnya berkata-kata kasar dalam konteks apapun dalam
keseharian mereka, mereka bebas menyertakan kata-kata kasar tak hanya saat
mereka marah, tapi juga bahkan saat senang maupun situasi normal dalam
percakapan mereka.
b. Tawuran
merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh para remaja ini, tak hanya atas
nama kemarahan saja mereka tawuran, bahkan untuk sesuatu yang senang, mereka
menyerang sekolah lain untuk bertauran. Selain berkelahi para remaja ini juga
sering kali bertindak vandalis seenaknya, mereka mencoret-coret sarana umum,
merusak sarana umum dengan kasar, menghancurkan berbagai fasilitas umum selagi
mereka tauran. (http://www-indopos.co.id/index.php/berita-indo
rewiew/18399. diakses 06/10/2012).
2.8.3.
Gambaran
Perilaku Kekerasan Remaja.
Di Indonesia Jakarta, Surabaya, dan Medan, kasus
menunjukkan angka peningkatan. Tercatat selama 2005 terdapat 788 ribu kasus
kekerasan terhadap anak. Sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus
kekerasan terhadap anak di sekolah. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan
dengan kwartal yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Data tahun lalu,
menyebutkan kekerasan fisik 247 kasus (29 kasus di sekolah), kekerasan seksual
426 kasus (67 kasus di sekolah), dan kekerasan psikis 451 kasus (96 kasus di
sekolah). Jumlah tersebut, hanya terbatas pada yang tercatat, sementara yang
tidak terdeteksi mungkin jauh lebih banyak lagi. (http://mantri-siaga.blogspot.com/2011/01/faktor-penyebab-perilaku-kekerasan.diaka-ses
2/10/2012).
Dampak
yang timbul dari perilaku ini ibarat pedang bermata dua, artinya, baik pelaku
maupun masyarakat sekitar merasakan dampak dari perilaku tersebut. Setiap orang
yang melakukan perilaku kekerasan oleh masyarakat akan dicap buruk. Hal ini
dikarenakan setiap tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat dianggap sebagai penyimpangan dan, harus ditolak. Individu pelaku
tersebut akan dikucilkan dari masyarakat. Pengucilan kepada pelaku demikian
dilakukan masyarakat supaya pelaku menyadari kesalahannya. Dan efek bagi pelaku
yang jelas terlihat pula berkaitan dengan keharmonisan dengan lingkungan,
keluarga, dan teman, begitu juga dengan pendidikan, terkadang terbengkalai
total.
2.9. Kerangka konsep
Kerangka
konseptual penelitian menurut Sapto Haryoko dalam Iskandar (2008:54)
menjelaskan secara teoritis model konseptual variabel-variabel penelitian,
tentang bagaimana pertautan teori-teori yang berhubungan dengan
variabel-variabel penelitian yang ingin diteliti, yaitu variabel bebas dengan
variabel terikat.
Kerangka
konsep juga bisa diartikan suatu hasil pemikiran yang rasional dalam
menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah
yang diuji kebenarannya. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat di
deskripsikan sebagai berikut:
Tabel
2.3: Kerangka Konsep Penelitian
|
Dalam
kerangka konseptual di atas, dapat dilihat bagaimana tayangan Opera Van Java (OVJ) dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan remaja MAN. Perilaku
kekerasan yang dimaksud disini terbagi
dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif dan konatif. Efek kognitif meliputi
peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengetahuan. Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan dan attitude (sikap). Sedangkan konatif
berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara
tertentu. Kerangka ini di buat dengan mengacu pada teori kultivasi yang penulis
gunakan dalam studi penelitian ilmiah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar