Selasa, 23 Oktober 2012

BAB II OVJ


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.  Penelitian Tedahulu
Risma Ajeng Faulina (2010) tentang “Sinetron dan perilaku Pacaran Remaja: Studi tentang Hubungan Antara Pola Menonton Sinetron Remaja dan Perilkau Berpacaran Remaja di Surabaya”, dengan jumlah responden sebanyak 100 orang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola menonton sinetron remaja terhadap perilaku berpacaran remaja. Remaja sebagai khalayak aktif mampu memfilter segala stimulus yang berasal dari remaja. Kecenderungan pola menonton sinetron remaja dalam taraf biasa saja, artinya remaja tidak terlalu kecanduan menonton sinetron dan prilaku berpacaran responden termasuk dalam taraf agak berbahaya. Kecenderuan perilaku berpacaran remaja agak berbahaya dikarenakan lemahnya kontrol orang tua. (http-www.library@lib.unair.ac.id. Diakses, 16/092012).
Adapun yang menjadi persamaan dalam penelitian risma dan penelitian yang dilakukan oleh penulis yakni sama-sama meneliti tentang perubahan perilaku dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif. Sementara yang menjadi perbedaan adalah Risma lebih memfokus pada perilaku pacaran remaja, sedangkan penulis memfokuskan pada perilaku kekerasan siswa.
Isnani Murti dan Urip  Santoso (2008) dengan penelitian “Pengaruh Film Animasi Kartun Doraemon Terhadap Prilaku Anak Sekolah Dasar” (Studi di Perumnas Unib Bengkulu), menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara perilaku positif sebanyak 60% dan perilaku negatif sebanyak 34%. (http://-www.library.unib.ac.id. Diakses, 16/092012).
Hubungan penelitian yang dilakukan Isnani Murti dan Urip Santoso dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-sama meneliti tentang perilaku dan pengaruh tanyangan televisi. Sedangkan perbedaannya  adalah Isnani Murti dan Urip Santoso mengambil sampel tayangan film kartun Doraemon, dan melihat pengaruhnya terhadap perilaku anak, sedangkan penelitian ini mengambil sampel tayangan Opera Van Java (OVJ) dan melihat pengaruhnya terhadap perilaku siswa.
Eddy Brahmana (2010) tentang “pengaruh sinetron remaja jomblo terhadap perubahan perilaku remaja ( studi korelasional pengaruh  sinetron remaja “Jomblo” di RCTI terhadap perubahan perilaku remaja di SMU Swasta GBKP Kabanjahe)” dengan jumlah responden sebanyak 75 responden. Penelitian ini menympulkan bahwa terdapat hubungan antara pengaruh sinetron remaja jomblo di televisi dengan perubahan perilaku remaja pada siswa-siswi SMU Swasta GBKP Kabanjahe. (http://www.repository.usu.ac.id/handle/123456789/18917. Di akses 16/09/2012).
Relevansi penelitian Eddy Brahmana dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sama-saman meneliti tentang pengaruh (Efek Psikologis) Sinetron terhadap perubahan perilaku dengan menggunakan pendekatan metode kuantitatif. Sedangkan perbedaannya terletak pada jenis tanyangan. Eddy Brahmana memilih tanyangan sinetron remaja sebagai fokus penelitian, sedangkan penulis memilih tanyangan Opera Van Java (OVJ).
2.2.  Kerangka Teori
2.2.1.      Teori Kultivasi (Cultivation Theory).
Teori kultivasi adalah teori sosial yang meneliti efek jangka panjang dari televisi pada khalayak. Teori ini merupakan salah satu teori komunikasi massa dikembangkan oleh George Gerbner dan Larry Gross dari University of Pennsylvania, teori kultivasi ini berasal dari beberapa proyek penelitian skala besar berjudul 'Indikator Budaya. Tujuan dari proyek Indikator Budaya ini adalah untuk mengidentifikasi efek televisi pada pemirsa. (Severin dan Tankard, 2001:269).
Awalnya Gerbner melakukan penelitian tentang indikator budaya di pertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh televisi. Ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi. Penelitian kultivasi yang dilakukan itu lebih menekankan pada dampak (Nurudin, 2007:167).
Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak pemirsa tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa dengan televisi, mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilai sosial serta adat dan tradisi nya.
Signorielli dalam (Severin, 2005: 321) menyatakan, jika teori kultivasi benar, maka televisi atau film mungkin mempunyai dampak penting tetapi tidak terlihat pada masyarakat. Seperti halnya jika teori kultivasi menyatakan bahwa terlalu sering menonton membuat merasa dunia ini adalah tempat yang tidak aman. Orang-orang yang ketakutan mungkin menerima penindasan apabila itu membantu mengurangi kegelisahan mereka.

2.2.2.      Asumsi Dasar Teori Kultivasi
1.      Televisi merupakan media yang unik. Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
a.       Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga);
b.      Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
c.       Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
2.      Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial. Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat).
3.      Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), semantara penonton berat (heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka.
4.      Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus masyarakat.
Asumsi keempat toeri ini menyatakan bahwa terpaan televisi yang intens dengan frekuensi yang kerap dan terus menerus membuat apa yang ada dalam pikiran penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi.
5.      Televisi membentuk mainstreaming dan resonance yaitu asumsi kelima ini menegaskan bahwa televisi membentuk mainstreaming dan resonace. Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004).
6.      Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi yaitu asumsi terakhir menyatakan bahwa perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi. Jadi, meskipun televisi bukanlah satu-satunya sarana yang membentuk pandangan kita tentang dunia, televisi merupakan salah satu media yang paling ampuh, terutama bila kontak dengan televisi yang sangat sering dan berlangsung dalam waktu lama (Ardianto dkk, 2004: 65).

2.2.3.      Metode - Metode Analisis Kultivasi
Menurut Wimmer dan Dominick (2003:414) terdapat dua cara dalam menganalisis kultivasi. Pertama, deskripsikan dunia media yang diperoleh dari analisis periodic atas isi media. Hasil Dari analisi isi adalah mengidentifikasi pesan dari dunia televisi. Pesannya mewakili gambaran konsisten atas isu spesifik, kebijakan, dan topik yang sering terjadi dalam kehidupan nyata. Kedua, mengsurvei khalayak dengan menghubungkan pada terpaan televisi, membagi sampel kedalam heavy dan light viewers serta membandingkan jawaban mereka atas pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan realitas televisi versus realitas dunia nyata. Sebagai tambahan data yang dikoleksi sebagai variabel control mencakup gender, usia, dan status social ekonomi. Prosedur statistic terdiri dari analisis korelsi antara jumlah menonton dan skor jawaban yang merefleksikan pertanyaan. Sebagai alternative bisa dihitung tentang cultivation differential (CD). CD adalah persentase heavy viewers dikurangi persentase light viewers yang memberikan jawaban.
Keputusan pengukuran bisa memberikan hasil signifikan pada kultivasi. Potter dan Chang (1990) seperti dikutip Wimmer dan Dominick (2003:415) mengukur pemirsa televisi menggunakan lima teknik yang berbeda yaitu:
a.       Terpaan total atau jumlah jam keseluruhan (cara tradisional yang digunakan dalam analisis kultivasi).
b.      Terpaan terhadap berbagi tipe program televisi yang berbeda.
c.       Terpaan pada tipe program seperti mengontrol untuk terpaan total.
d.      Mengukur proposi setiap tipe program yang dilihat, diperoleh dengan
membagi waktu yang digunakan pertipe program dengan total waktu menonton.
e.       Proposi pengaruh dihitung dengan meningkatkan jam menonton
perminggu dengan menghitung dengan cara proposional seperti disebutkan pada teknik ke empat.

2.2.4.      Teori Kultivasi di Kehidupan Sehari-Hari
Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Dengan kata lain untuk mengetahui dunia nyata macam apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh pemirsa televisi. Bagaimana media televisi mempengaruhi persepsi pemirsa atas dunia nyata. Asumsi dasar dalam teori ini adalah terpaan media yang terus menerus akan memberikan gambaran dan pengaruh pada persepsi pemirsanya. Artinya selama pemirsa kontak dengan televisi, mereka akan belajar tentang dunia (dampak pada persepsi), belajar sikap dan nilai-nilai orang.
Fokus utama riset kultivasi pada tayangan kriminal dan kekerasan dengan membandingkan kepada prevalensi (Frekuensi) criminal dalam masyarakat. Salah satu aspek yang menarik dari kultivsi adalah Mean World Syndrome. Nancy Signorielli (dalam Littlejohn, 2005:289). Melaporkan kajian sindrom dunia makna dimana tayangan kekerasan dalam program televisi untuk anak-anak dianalisis. Lebih dari 2000 program acara dalam tayangan Prime Time  dan Week Ends dari tahun 1967 sampai 1985 dianalisis dengan hasil yang menarik. Kurang lebih 71 program Prime Time  dan 94 program Week Ends terdapat aksi kekerasan. Bagi pemirsa pecandu berat televisi (Heavy Viewers) dalam jangka waktu lama ternyata hal ini member keyakinan bahwa tak seorangpun bisa dipercaya atas apa yang muncul dalam dunia kekerasan. Temuan ini mengindikasikan bahwa pecandu berat televisi  cenderung melihat dunia ini sebagai kegelapan/mengerikan serta tidak mempercayai orang. Apa yang terjadi ditelevisi itulah dunia nyata. Televisi menjadi potret sesungguhnya dunia nyata.
Gerbner dan kolegannya berpendapat bahwa televisi menanamkan sikap dan nilai tertentu. Medi pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu antar anggota masyarakat yang kemudian mengikatnya sama-sama pula. Media mempengaruhi oenonton dan penonton itu menyakininya. Sehingga para pecandu berat televisi akan mempunyai kecenderungan sikap yang sama satu sama lain (Nurudin, 2003:159). Sementara McQuail (2001:465) mengutip pandangan Gerbner bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari disekitar kita, tetapi duniaitu sendiri. Gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan.
Dengan kata lain, perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian disekitar kita. Jika adegan kekerasan merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi yang bisa digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi ini merupakan yang sebenarnya. Kekerasan yang ditayangkan ditelevisi dianggap sebagai kekerasan yang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang bisa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang ditayangkan televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini. Inilah yang kemudian dalam analisis kultivasi televisi memberikan homogenisasi budaya atau kultivasi terjadi dalam dua hal Mainstreaming (Pelaziman) dan Resonance (Resonasi).
Mainstreaming dalam analisi kultivasi terjadi pada pecandu berat televisi (menonton lebih dari 4 jam perhari) yang mana symbol-simbol televisi telah memonopoli dan mendominasi sumber informs dan gagasan tentang dunia. Orang menginternalisasi realitas social dominannya lebih kepada aspek cultural, karena in lebih dekat dengan kesehariannya. Sementara, Resonance terjadi ketika pemirsa melihat sesuatu ditelevisi yang sama dengan realitas kehidupan mereka sendiri, realitas televisi tak berbeda dengan realitas didunia nyata. Artinya, mereka menganggap bahwa pemberitaan perang kriminalitas, dan konflik para pesohor ditelevisi inilah realitas dunia yang sesungguhnya. Televisi tidak sadar memberikan pengetahuan, atau melaporkan realitas peristiwa. Lebih dari itu, televisi berhasil menanamkan realitas bentuknya kebenak pemirsa. Menurut Parse (2001:215) efek dominan kultivasi kekerasan televisi pada individu adalah pada kognitif (menyakini tentang realitas sosial) dan afektif (takut akan kejahatan).

2.3.  Komunikasi Massa
Pengertian komunikasi massa merujuk kepada pendapat Tan dan Wright dalam Liliweri 1991, merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu (Elvinaro dan Komala, 2004 : 3).
Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner yakni pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Komala dan Elvinaro, 2004:3). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Jadi, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran dan televisi, keduanya dikenal sebagai media elektronik, adanya media cetak yakni surat kabar dan majalah serta ada juga media film, yakni film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop.
Ada juga definisi tentang komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gerbner yang menyatakan bahwa komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkelanjutan serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri (Komala dan Elvinaro, 2004 : 4). Dari definisi Gerbner ini tergambar bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan, atau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan oleh perorangan, melainkan harus oleh lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu, sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri.            
Definisi komunikasi massa dari Meletzke berikut ini memperlihatkan sifat dan ciri komunikasi massa yang satu arah dan tidak langsung sebagai akibat dari penggunaan media massa, juga sifat pesannya yang terbuka untuk semua orang. Dalam definisi Meletzke, komunikasi massa diartikan sebagai setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar (Komala dan Elvinaro, 2004: 4). Istilah tersebar menunjukkan bahwa komunikan sebagai pihak penerima pesan tidak berada di satu tempat, tetapi tersebar di berbagai tempat.
Menurut Freidson, definisi komunikasi massa dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk menyampaikan komunikasi agar komunikasi itu dapat mencapai pada saat yang sama semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat (Komala dan Elvinaro, 2004: 4).
Bagi Freidson, khalayak yang banyak dan tersebar itu dinyatakan dengan istilah sejumlah populasi, dan populasi tersebut merupakan representasi dari berbagai lapisan masyarakat. Artinya pesan tidak hanya ditujukan untuk sekelompok orang tertentu saja, melainkan diberikan untuk semua orang. Dalam hal ini Freidson dapat menunjukkan ciri komunikasi massa yang lain yaitu adanya unsur keserampakan penerimaan pesan oleh komunikan, pesan dapat mencapai pada saat yang sama kepada semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat, karena dalam proses komunikasi massa ada sifat keserampakan dalam penerimaan pesan.
Menyimak berbagai definisi komunikasi massa yang dikemukakan oleh para ahli komunikasi, nampaknya tidak ada perbedaan yang mendasar atau prinsip, bahkan definisi-definisi itu satu sama lain saling melengkapi. Hal ini telah memberikan gambaran yang jelas mengenai pengertian komunikasi massa. Bahkan, secara tidak langsung dari pengertian komunikasi massa dapat diketahui pula ciri-ciri komunikasi massa yang membedakannya dari bentuk komunikasi.
                                        
2.4.  Televisi.
Televisi berasal dari dua kata yaitu tele (bahasa yunani) yang berarti jauh, dan visi atau videre (bahasa latin) yang berarti penglihatan. Dengan demikian, televisi dengan bahasa inggrisnya television diartikan dengan melihat jauh. Melihat jauh disini diartikan dengna gambar dan suara yang diproduksi di suatu tempat (studio televisi) dapat dilihat dari tempat lain melalui sebuah perangkat penerima (televisi set). (Effendy, 2003:49).
Menurut Effendy (2002:21) yang dimaksud dengan televisi adalah siaran yang merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki komunikasi massa, yaitu berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, sasarannya menimbulkan keserempakan. Dan komunikasinya bersifat hiterogen. Televisi adalah sistem telekomunikasi untuk penyiaran dan penerimaan gambar dan suara dari jauh.
McQuail, (2000: 36), berusaha untuk melipatgandakan kapital pemiliknya. Selain menjual produk media dalam bentuk materi maupun jasa, televisi bertujuan untuk menjual para penontonnya. Pembelinya adalah agen iklan dan perusahan tertentu yang membutuhkan publikasi. Angka-angka hasil surve rating menjadi ukuran bagi kesuksesan pasar ganda televisi ini.
Maka dari itu, televisi dapat diartikan sebagai sebuah kotak yang menampilkan bentuk gambar gerak dan suara dengan berbagai macam kemasan yang disajikan untuk khalayak.

2.4.1.      Karakteristik Televisi.
Menurut Ardianto televisi (Ardianto, 2004:128-130) mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a.       Audiovisual.
Televisi memiliki kelebihan, yakni dapat di dengar sekaligus dapat dilihat. Khalayak televisi dapat melihat gambar yang bergerak. Kata-kata dan gambar harus ada kesesuaian secara harmonis. Karena sifatnya yang audiovisual, siaran berita harus selalu dilengkapi dengan gambar, bak gambar diam seperti foto, gambar peta, maupun film berita, yakni rekaman peristiwa yang menjadi topik berita.
b.      Berfikir dalam gambar.
Ada dua tahap yang dilakukan dalam proses berfikir dalam gambar. Pertama adalah visualisasi, yakni menerjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar secara individual.
Kedua adalah penggambaran, yakni kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa.
c.       Pengoperasian lebih kompleks
Pengoperasian televisi lebih kompleks dan lebih banyak melibatkan orang. Peralatan yang digunakanpun lebih banyak dan untuk mengoperasikannya lebih rumit dan harus dilakukan oleh orang-orang terampil dan terlatih.

2.4.2.      Format Acara Televisi
Format acara televisi adalah sebuah perencanaan dasar dari suatu konsep acara televisi yang akan menjadi landasan kreativitas dan desain produksi yang akan berbagi dalam berbagai criteria utama yang disesuaikan dengan tujuan dan target pemirsa acara tersebut (Rukmananda, 2004:63).
a.       Drama (fiksi): adalah sebuah format acara televisi yang diproduksi dan dicipta melalui proses imajinasi kreatif dan kisah-kisah drama atau fiksi yang direkayasa dan dikreasi ulang.
b.      Non drama (non fiksi) adalah sebuah format acara elevisi yang diproduksi dan dicipta melalui proses pengolahan imajinasi kreatif dan realitas kehidupan sehari-hari  tanpa harus menginterpretasi ulang dan tanpa harus menjadi dunia khayalan.
c.       Berita dan olahraga adalah sebuah format acara televisi yang diproduksi berdasarkan informasi dan fakta atas kejadian dan peristiwa yang berlangsung pada kehidupan masyarakat seharihari.

Tabel 2.1: Format Acara Televisi
Drama (fiksi)
Non Drama (non fiksi)
Berita
Tragedy
Music
features
Aksi
Magazine show
Spots
Komedi
Talk show
news
Cinta
Variety show

Legenda
Repackaging

horor
Game show


kuis

Rukmananda,Naratama. 2004:64 Menjadi Sutradara Televisi. Jakarta PTGrasindo

2.4.3.      Fungsi Televisi Sebagai Media Massa
Sebagai media, televisi berfungsi menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat. Informasi yang benar dapat memiliki fungsi sebagai pendidikan bagi masyarakat, bukan orientasi kepentingan komersial yang hanya diukur dengan rating. Menurut Haryatmoko (2007:19) informasi yang benar mencerahkan kehidupan. Televisi membantu menjernihkan pertimbangan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat. Informasi yang tepat menjadi sarana pendidikan yang efektif. Televisi membuka peluang untuk memperbaiki nasib seseorang atau kelompok. Informasi yang benar dapat mendidik masyarakat. Masyarakat memiliki tambahan pengetahuan dan mampu untuk menentukan pilihan yang tepat dan kritis berdasarkan informasi, bukan pencitraan.
Sebagai industri dan organ kapitalisme, televisi dituntut mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk tetap bertahan hidup dan memenangkan persaingan. Haryatmoko (2007: 1) menambahkan derap langkah realitas sangat diwarnai oleh struktur pemaknaan ekonomi yang dirasakan menghambat idealism itu. Dinamisme komersial seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan dan keindahan. Logika pasar mengarahkan pengorganisasian sistem informasi. Banyak pimpinan media yang berasal dari dunia perusahaan mau membenarkan logika pasar tersebut. Realitas pasar ini menggambarkan betapa media berada dibawah tekanan ekonomi persaingan yang keras dan ketat. Bertahan hidup dengan mencari pemasukan, pemasukan didapat jika media ditonton oleh banyak orang sehingga menarik pengiklan. Pengiklan datang karena mereka berfikir bahwa media ini efektif karena dapat ditonton oleh banyak orang. Disini televisi mulai tergoda untuk berfikir praktis. Salah satunya dengan membuat tayangan-tayangan yang disukai masyarakat.
Dedy Iskandar Muda (2003:7) mengatakan, stasiun televisi dapat memilih progam yang menarik dan memiliki nilai jual kepada pemasang iklan, sementara perusahaan produksi acara televisi dapat meraih keuntungan datri produksinya. Di Indonesia kecenderungan televisi swasta sudah mulai mengarah kepada sistem di Amerika. Ini dimulai dari gerapan-gerapan sinetron, kuis, dan beberapa acara hiburan lainnya. Cara seperti ini memang sangat menguntungkan bagi stasiun televisi tersebut karena semuanya dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis yaitu untung dan rugi. Terjadi disorientasi dari sifat mendasar dari televisi, dari medium untuk mencerahkan kehidupan masyarakat menjadi medium yang meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini melupakan esensi dari sifat tadi. sifat memberikan tayangan yang mendidik dilupakan dan diganti dengan tayangan-tayangan yang bersifat mendatangkan keuntungan. Ini berarti tidak ada media televisi yang merelakan dirinya sebagai media pendidikan bagi masyarakat. Seakan mereka lepas tangan dari tanggung jawab bersama untuk mencerdaskan bangsa. Ini berarti, tidak ada media televisi yang menjadi tumpuan untuk memberikan pencerahan masyarakat karena semua telah berubah orientasi menjaga Rating. Maka dalam hal ini dapat disimpulkan beberapa poin dari penjelasan diatas di antaranya yaitu:

a.      Media massa bertindak sebagai pengamat lingkungan dan selalu akan memberikan berbagai informasi atas hal-hal yang tidak dapat terjangkau khalayak.
b.      Media massa sebagai gate keeper artinya lebih menekankan kepada pemilihan, penilaian, penafsiran tentang apa yang patut di sampaikan kepada khalayak.
c.      Media massa berfungsi sebagai jembatan tata nilai dan budaya dari generasi satu ke generasi berikutnya, dan juga sebagai media pendidikan.

2.4.4.      Dampak Acara Televisi
Media televisi sebagaimana media massa lainnya berperan sebagai alat informasi, hiburan, kontrol sosial, dan penghubung wilayah secara strategis. Bersamaan dengan jalannya proses penyampaian isi pesan media televisi kepada pemirsa, maka isi pesan itu juga akan diinterpretasikan secara berbeda-beda menurut visi pemirsa serta dampak yang ditimbulkan juga beraneka ragam. Ada beberapa dampak yang dapat dilihat secara langsung yaitu:

a.       Dampak Dari Segi Kognitif
Televisi merupakan salah satu media komunikasi yang memiliki berbagai macam program variatif dan menarik. Suguhan program-program acara yang variatif dan menarik tersebut telah menjadikan televisi sebagai salah satu  benda yang sangat penting bahkan sangat sulit dipisahkan dari anak. Toriza (2010) menyatakan bahwa anak cenderung hanya menonton program siaran televisi yang menghibur seperti film kartun dan film anak lainnya. Jarang sekali anak yang suka menonton acara televisi yang bersifat informatif seperti berita.  
Selanjutnya Toriza (2010) kembali menyatakan bahwa televisi sedikitnya telah banyak mempengaruhi pola perilaku anak-anak, salah satunya adalah mempengaruhi perilaku belajar anak, salah satunya dalam hal kognitif. Perilaku anak menonton televisi kadang sangat menyita waktu mereka, membuat mereka lupa beraktivitas, dan pada akhirnya menghancurkan gairah belajar mereka. Anak-anak memiliki perilaku untuk menunda tugas-tugas sekolah mereka demi menonton sebuah film yang mereka tunggu. Frekuensi dan lama menonton televisi pada anak-anak pun kini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi mereka belajar atau mengaji. Sesuai dengan data pada tabel 1 mengenai dampak yang disadari anak akibat sering menonton televisi, sebanyak 80,1 % anak yang menjadi malas belajar.
Tabel 2.2: Dampak yang Disadari Anak Akibat Sering Menonton Televisi
Dampak
%
Malas belajar
80,1
Tidak suka membaca buku
66,3

Hal tersebut telah meresahkan banyak pihak karena dampak negatif dari televisi telah berpengaruh terhadap cara belajar anak yang tentunya dapat berpengaruh pula terhadap kualitas sumber daya manusia kedepannya apabila semakin dibiarkan. Namun selain itu, terdapat dampak lain yang ditimbulkan program televisi dalam hal postif yakni stasiun televisi saat ini telah mampu mengemas program-programnya semenarik mungkin, ilustratif, ringan dan tanpa membutuhkan pemikiran yang sulit, sehingga anak-anak mudah untuk menangkap pesan yang ingin disampaikan. Kelebihan televisi tersebut membuat program yang menyangkut hal-hal mengenai pendidikan akan lebih mudah diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah wawasan dan pengetahuan anak tersebut. Dampak positif lainnya yakni anak menjadi lebih cerdas sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Selanjutnya program-program televisi saat ini pun sangat membantu dalam mengembangkan keterampilan yang dimiliki anak itu sendiri.

b.      Dampak Dari Segi Psikomotorik
Seiring dengan maraknya stasiun televisi swasta yang hadir di Indonesia maka persaingan diantara stasiun televisi semakin tinggi sehingga mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan rating yang tinggi. Salah satu cara memperoleh rating tinggi yakni dengan menayangkan sinema elektronik atau lebih dikenal dengan istilah sinetron. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sinetron menjadi salah satu program yang digemari berbagai macam lapisan masyarakat dan salah satunya anak-anak. Banyaknya jumlah sinetron, komedia, dan masih banyak acara tayangan hiburan lainnya yang dapat menimbulkan kekhawatiran banyak pihak mengenai dampak yang timbul dan khususnya akan dialami anak-anak, karena di dalam sinetron, komedi dan tayangan tersebut cukup banyak sekali yang tidak bisa dijadikan suatu contoh yang baik yang banyak terkandung muatan negatif dan sering menampilkan adegan-adegan antisosial. (Yuritsa 2011)
Tayangan sinetron pun semakin hari semakin banyak dilirik anak-anak. Hal tersebut terlihat dari grafik program televisi yang tertera pada lampiran dan menjelaskan bahwa tayangan sinetron merupakan program televisi yang mendapatkan perhatian yang cukup tinggi diantara program-program televisi lainnya. Program-program yang cenderung mengandung muatan negatif dan ditayangkan televisi ini membuat berbagai kalangan khususnya orang tua menjadi resah.  Dari segi psikomotoriknya, anak-anak cenderung meniru dan melakukan apa yang mereka lihat. Prilaku negatif pun mulai muncul contohnya anak-anak menjadi kasar kepada orang-orang disekitarnya. Mereka sering mengeluarkan kata-kata kotor yang belum pantas dikatakan anak seusianya, bahkan mereka tidak segan-segan memukul orang lain.
Selanjutnya dampak lain dari program dalam media komunikasi televisi yang berpengaruh terhadap anak dari segi psikomotoriknya yakni moralitas anak menjadi negatif disebabkan mereka cenderung lebih meniru nilai-nilai negatif yang terkandung dalam program televisi yang sering mereka lihat. Ditambah lagi kebanyakan anak menjadi pasif dalam membangun hubungan sosial dengan lingkungannya akibat dari kecanduan menonton televisi sehingga mengurangi lingkup pergaulannya dengan masyarakat luas dan tidak heran lagi jikalau anak-anak kecil sekarang pun secara tidak langsung sedikit demi sedikit terdidik untuk berprilaku konsumtif.
2.5.  Program Televisi.
Program televisi diartikan sebagai penjadwalan atau perencanaan siaran televisi dari hari ke hari (horizontal programming) dan dari jam ke jam (vertical programming) setiap harinya. Media televisi hanya mengistilahkan programming atau pemograman (Soenarto, 2007:1). Sedangkan menurut Rukmananda (2004:213), programming adalah teknik penyusunan program acara televisi yang ditayangkan secara berurutan.
Berdasarkan isi, program televisi berbentuk berita dapat dibedakan antara lain berupa program hiburan, drama, olahraga, dan agama. Sedangkan untuk program televisi berbentuk berita secara garis besar dikategorikan ke dalam "hard news" atau berita-berita mengenai peristiwa penting yang baru saja terjadi dan "soft news" yang mengangkat berita bersifat ringan. Jenis program televisi dapat dibedakan berdasarkan bentukjadi (format) teknis atau berdasarkan isi. Bentuk dari teknis merupakan bentuk dari umum yang menjadi acuan terhadap bentuk program televisi seperti gelar wicara (talk show), dokumenter, film, kuis, musik, instruksional, dll.
Pengaturan penayangan program televisi di sebuah stasiun televisi biasanya diatur oleh bagian pemograman siaran atau bagian perencanaan siaran. Pada umumnya, pihak perencanaan siaran mengatur jadwal penayangan satu program televisi berdasarkan perkiraan kecenderungan menonton peminat program tersebut. Misalnya, pengaturan jadwal tayang siaran berita di pagi hari disesuaikan dengan kecenderungan peminat penonton siaran berita. Keberhasilan sebuah program TV saat ini diukur oleh tingkat konsumsi program tersebut oleh pemirsa atau biasa disebut pemeringkatan. Pengukuran peringkat dilakukan oleh lembaga riset yang menempatkan alat bernama "people meter" pada beberapa responden.

2.6.   Tayangan Opera Van Java (OVJ)
Opera Van Java (disingkat OVJ) adalah acara komedi di stasiun televisi Indonesia, Trans 7. Ide acaranya adalah pertunjukkan wayang orang versi modern. (http://id.wikipedia.org/wiki/Opera_Van_Java, diakses 26/09/2012). Opera Van Java pertama kali mengudara pada 12 Desember 2008. Konsepnya mirip pertunjukan wayang orang. Ada dalang, sinden, pemain musik, dan sekelompok pemain di atas panggung.
Opera Van Java pertunjukan wayang yang diperankan oleh manusia. Dalam Opera Van Java, Parto berperan sebagai seorang dalang yang mempunyai wewenang untuk mengatur alur cerita di setiap adegan. Sedangkan para pemain yang bertindak sebagai wayang, harus menuruti semua perintah yang diucapkan oleh dalang, oleh karena itu, para pemain dituntut untuk melakukan improvisasi adegan dan dialog dengan cepat. Selain itu, keunikan program ini adalah alur ceritanya yang hanya diketahui oleh sang dalang, sehingga reaksi dan aksi spontan para pemain Opera Van Java ini akan mengalir dengan sendirinya.
Yang lucu dan menarik dari program ini adalah para wayang dapat protes jika merasa gak sreg dengan perintah/petunjuk dalang. Parto Patrio yang memerankan tokoh dalang memang suka ngasih perintah yang aneh-aneh, misalnya nangis sampai berguling-guling atau marah sambil melotot ke kanan dan kiri yang notabene harus diikuti oleh wayang. Selama pertunjukan wayang manusia ini berlangsung, Parto akan ditemani oleh sinden yang akan memberikan komentar terhadap para pemain serta menyanyikan beberapa buah lagu dengan gaya khas seorang sinden, sedangkan Sule, Andre, Aziz ‘Gagap’ dan Nunung akan hadir di setiap episode OVJ sebagai pemain wayang tetap.
Acara komedi Opera Van Java (OVJ), aktor dan aktris yang mengisi acara diberi aba-aba untuk berimprovisasi tanpa menghafal naskah sebelumnya, dengan panduan seorang dalang. Para "wayang" diperankan oleh beberapa pelawak, seperti Nunung, Azis Gagap, Andre Taulany, Sule, Desta dan dalang diperankan Parto Patrio. Adapula para pemain musik tradisional lengkap dengan alat musik khas Sunda dan Jawa yang dimainkan oleh para lulusan STSI Bandung, tempat Sule kuliah dan sinden yang menyanyikan lagu pop, bintang tamu juga kerap ditampilkan pada tiap episodenya.
Lakon-lakon yang dimainkan biasanya tentang cerita rakyat Indonesia yang dimodifikasi, cerita tentang karir seseorang yang terkenal, cerita rekaan, cerita hantu, cerita dari negara lain, atau cerita dari hal-hal yang sedang populer. Keunikan OVJ adalah lawakan dilakukan dengan improvisasi dan mengandalkan panduan dalang, namun selalu berantakan karena para pelawak pasti melenceng dari garis besar yang dibacakan dalang. Kalau sudah seperti itu, sang dalang sendiri akan turun tangan dengan perasaan kesal karena diabaikan. Ia akhirnya ikut naik ke panggung dan mengawasi cerita, seringkali ikut campur atau bahkan malah dipermainkan.
Acara ini dianggap sukses karena telah mampu menyedot perhatian khalayak, terbukti dari penambahan jam tanyangnya, dari Senin-Jum’at pukul 20:00 Wib. Kesuksesan sebuah program TV saat ini diukur oleh tingkat konsumsi program tersebut oleh pemirsa atau biasa disebut rating. Pengukuran rating dilakukan oleh lembaga riset yang menempatkan alat bernama "people meter" pada beberapa responden. Dalam hal ini stasiun TV Trans 7 menjadikan program acara Overa Van Java (OVJ) menjadi program andalan mereka karena telah membawanya menempuh puncak rating tertinggi. (http://kabarinews.com.sukses-ovj/36064, diakses 28/09/2012).

2.7.            Prilaku Kekerasan
Prilaku kekerasan adalah suatu perilaku yang menunjukkan sikap bermusuhan terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan dan dapat membuat kerusakan. (http://digilib.unimus.ac.id/diakses 30/09/2012).
Menurut Huraerah (2006: 18) kekerasan adalah segala tindakan yang cenderung menyakiti orang lain, berbentuk agresi fisik, agresi verbal, kemarahan atau permusuhan. Menurut Carpenito (2000: 26), Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain. Menurut Maramis (2005: 94), Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan yang dapat timbul secara mendadak atau didahului tindakan ritualistik atau meditasi pada seseorang (pria) yang masuk dalam suatu kesadaran yang menurun atau perkabut (Trance Like State) tanpa dasar epilepsy.

perilaku kekerasan dapat disimpulkan dengan sebuah bentuk perilaku menyerang orang lain, baik fisik, psikis (emosi/marah dan lain-lain) dan perilaku lainnya yang membuat orang lain atau lingkungan merasa dirugikan. perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan ungkapan perasaan marah dan bermusuhan sebagai respon terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

2.7.1.       Jenis Perilaku Kekerasan
Disisi lain, menurut analisis ilmu psikologi, perilaku kekerasn dapat didefinisikan dalam bentuk atau jenis kekerasan fisik dan psikologis. Kekerasan fisik adalah kekerasan yang menyebabkan cedera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang atau menyebabkan kematian. Kekerasan jenis ini dalam prakteknya dapat diketahui dalam dua kategori yaitu kekerasan fisik ringan dan kekerasan fisik berat. (Nurhayati, 2000:29-30).
1.      Kekerasan dalam bentuk fisik:
a.       Kekerasan fisik ringan yaitu tindakan kekerasan yang tidak sampai membuat korban Knock Out berupa menampar, menjembak, mendorong, dan lainnya yang mengakibatkan cidera ringan. (Nurhayati, 2000:29).
b.      Kekerasan fisik berat yaitu segala tindakan kejahatan yang mengakibatkan korban semaput, Knock Out, berdarah-darah, luka berat-
hingga menimbulkan kematian. (Nurhayati, 2000:29).
2.      Kekerasan dalam bentuk psikologis:
a.       Kekerasan psikologis ringan yaitu tindakan pengendalian, manipujlasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan, dan penghinaan. Dalam bentuk pelanggaran, pemaksaan, dan isolasi social juga berupa ucapan kasar mengancam, menghina yang bukan inotasi saja mengesankan kasar, tapi maksud dan tujuan seperti menghina, merendahkan orang lain, memaksa orang lain, ancaman kekerasan ringan, fisik, seksual, psikis dan sebagainya.
b.      Kekerasan psikologis berat yaitu tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk planggaran, pemaksaan, dan isolasi social, seperti bunuh diri dan ketergantungan narkoba. (Nurhayati, 2000:31).

2.7.2.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Kekerasan
Menurut Rusmil (dalam Abu Hurairah, 2006: 47), faktor penyebab tindakan perilaku kekerasan dan penelantaran dapat dibagi menjadi tiga faktor, yaitu faktor anak itu sndiri, faktor orang tua atau keluarga dan faktor lingkungan social atau komunitas.
1.      Faktor Internal
a.       Penderita gangguan perkembangan, anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental terlalu bergantung pada orang tua.
b.      Perilaku menyimpang pada anak
c.       Ketidaktahuan tentang hak – haknya
d.      Frustasi
e.       Tipe kepribadian

2.      Faktor Orang Tua / Keluarga
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak. Faktor - faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan dan penelantaran terhadap anak diantaranya:
a.       Dibesarkan dengan penganiayaan
b.      Gangguan mental
c.       Belum mempunyai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia dua puluh tahun.
d.      Pecandu minuman keras dan obat.
e.       Keluarga pecah (broken home)
f.       Keluarga yang belum matang secara psikologis, anak yang tidak diinginkan.
g.      Penyakit parah pada salah satu atau kedua orang tua.

3.      Faktor Lingkungan Sosial / Komunitas
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan terhadap anak, diantaranya:
a.       Sejarah penelantaran anak
b.      Kondisi lingkungan sosial yang buruk
c.       Adanya nilai-nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua-
Adanya nilai - nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua yang bisa diberlakukan sekehendaknya.
d.      Sistem keluarga patriarchal
e.       Nilai masyarakat yang terlalu individualistis

Selain itu akibat dari faktor lainmjuga terlihat dari segi kemiskinan, rasial, penggunaan obat terlarang dan alkohol, paparan kekerasan usia dini dan kekerasan dari media masa. Ekonomi keluarga berpengaruh secara tidak langsung kepada perilaku kekerasan melalui gaya pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak remajanya tersebut.

2.8.  Perilaku kekerasan remaja.
2.8.1.      Remaja
Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. (http://www.Psikologi-zone.com, diakses 27/09/2012). Zakiah dalam (Abu Al-Ghifari, 2003:22) mendefinisikan remaja sebagai anak yang ada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju usia dewasa, usia 14-17 tahun.
Menurut Drs. Hasan Basri dalam (Abu Al-Ghifari, 2003:22) menilai remaja sebagai kelompok manusia yang tengah meninggalkan masa anak-anak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab. Masa remaja ditandai dengan pengalaman baru yang sebelumnya belum pernah dialami baik dalam bentuk fisik, biologis maupun psikis atau kejiwaan.
Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga.

2.8.2.      Jenis kekerasan remaja.
Beragam macam jenis kekerasan selalu terjadi di kalangan remaja yang sering kita lihat diberbagai media berita baik itu media cetak dan elektronik. Dibawah ini sebagian kecil jenis kekerasan remaja yang sering terjadi di kalangan remaja sekarang.
a.       Kata-kata kasar yaitu Bentuk kekerasan remaja lainnya yang juga merupakan hasil perkembangan globalisasi, yakni berbicara kasar dan kotor. Seperti kita ketahui salah satu kebudayaan barat yang negatif adalah kata-kata kasar, dalam hal apapun orang-orang barat bisa dengan mudahnya berkata kasar. Hal tersebut dimplementasikan oleh banyak remaja masa kini. Remaja-remaja masa kini seakan dengan mudah dan bebasnya berkata-kata kasar dalam konteks apapun dalam keseharian mereka, mereka bebas menyertakan kata-kata kasar tak hanya saat mereka marah, tapi juga bahkan saat senang maupun situasi normal dalam percakapan mereka.
b.      Tawuran merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh para remaja ini, tak hanya atas nama kemarahan saja mereka tawuran, bahkan untuk sesuatu yang senang, mereka menyerang sekolah lain untuk bertauran. Selain berkelahi para remaja ini juga sering kali bertindak vandalis seenaknya, mereka mencoret-coret sarana umum, merusak sarana umum dengan kasar, menghancurkan berbagai fasilitas umum selagi mereka tauran. (http://www-indopos.co.id/index.php/berita-indo rewiew/18399. diakses 06/10/2012).

2.8.3.      Gambaran Perilaku Kekerasan Remaja.
Di Indonesia Jakarta, Surabaya, dan Medan, kasus menunjukkan angka peningkatan. Tercatat selama 2005 terdapat 788 ribu kasus kekerasan terhadap anak. Sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan kwartal yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Data tahun lalu, menyebutkan kekerasan fisik 247 kasus (29 kasus di sekolah), kekerasan seksual 426 kasus (67 kasus di sekolah), dan kekerasan psikis 451 kasus (96 kasus di sekolah). Jumlah tersebut, hanya terbatas pada yang tercatat, sementara yang tidak terdeteksi mungkin jauh lebih banyak lagi. (http://mantri-siaga.blogspot.com/2011/01/faktor-penyebab-perilaku-kekerasan.diaka-ses 2/10/2012).
Dampak yang timbul dari perilaku ini ibarat pedang bermata dua, artinya, baik pelaku maupun masyarakat sekitar merasakan dampak dari perilaku tersebut. Setiap orang yang melakukan perilaku kekerasan oleh masyarakat akan dicap buruk. Hal ini dikarenakan setiap tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dianggap sebagai penyimpangan dan, harus ditolak. Individu pelaku tersebut akan dikucilkan dari masyarakat. Pengucilan kepada pelaku demikian dilakukan masyarakat supaya pelaku menyadari kesalahannya. Dan efek bagi pelaku yang jelas terlihat pula berkaitan dengan keharmonisan dengan lingkungan, keluarga, dan teman, begitu juga dengan pendidikan, terkadang terbengkalai total.

2.9.  Kerangka konsep
Kerangka konseptual penelitian menurut Sapto Haryoko dalam Iskandar (2008:54) menjelaskan secara teoritis model konseptual variabel-variabel penelitian, tentang bagaimana pertautan teori-teori yang berhubungan dengan variabel-variabel penelitian yang ingin diteliti, yaitu variabel bebas dengan variabel terikat.
Kerangka konsep juga bisa diartikan suatu hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat di deskripsikan sebagai berikut:
Tabel 2.3: Kerangka Konsep Penelitian
Tayangan Opera Van Java

Ramaja
Perhatian Pengertian Penerimaan
Perilaku kekerasan
Dalam kerangka konseptual di atas, dapat dilihat bagaimana tayangan Opera Van Java (OVJ) dapat mempengaruhi perilaku kekerasan remaja MAN. Perilaku kekerasan yang dimaksud disini terbagi dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengetahuan. Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan dan attitude (sikap). Sedangkan konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Kerangka ini di buat dengan mengacu pada teori kultivasi yang penulis gunakan dalam studi penelitian ilmiah ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar