Minggu, 09 Oktober 2011

BAGAIMANA MENULIS FEATURE?


ADA beberapa jenis berita. Yang paling pendek disebut straight news, yaitu berita singkat padat yang langsung mengabarkan inti berita, tapi tetap mengandung unsur 5-W 1-H [who (siapa), what (apa), when (kapan), where (di mana), why (mengapa), how (bagaimana)]. Jika berita tersebut sangat penting untuk segera diketahui oleh publik disebut stop press, sedangkan jika ditayangkan di layar televisi atau melalui corong radio disebut breaking news – karena disiarkan sebagai selingan mendadak di sela-sela acara yang sedang berlangsung.

      Misalnya, sekedar contoh, Mantan Presiden Soeharto telah wafat pada hari ini, 27 Januari 2008 jam 11:00 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dalam usia 87 tahun, setelah dirawat selama beberapa hari karena sakit usia tua. Jenasahnya kini disemayamkan di rumah duka Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, dan segera akan diterbangkan ke Solo untuk dikebumikan di makam keluarga Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah (disiarkan pada tanggal 27 Januari 2008 jam 11:05).
                 
          Selain harus mengandung unsur 5-W 1-H, penyusunan struktur sebuah berita lazim mengikuti apa yang disebut metode “piramida terbalik.” Maksudnya, yang pertama-tama ditulis ialah inti berita yang penting, kemudian data yang agak penting, lalu yang setengah penting dan akhirnya data pelengkap yang kurang penting. Walaupun singkat padat, susunan straight news tetap harus mengikuti metode “piramida terbalik.” Pada contoh di muka, yang paling penting ialah wafatnya mantan Presiden Soeharto, sedangkan makam keluarga Astana Giri Bangun merupakan data pelengkap.
         
          Meskipun pada contoh stop press tersebut, wafatnya mantan Presiden Soeharto dianggap sebagai fakta yang penting -- oleh karena itu ditulis di awal berita --, unsur paling penting dari sebuah news (berita) ialah when (kapan). Mendengar berita tentang wafatnya Pak Harto, orang biasanya kontan akan bertanya, “Kapan?” Dengan demikian, contoh berita tersebut bisa ditulis sebagai berikut: Hari ini, 27 Januari 2008 jam 11:00 WIB, mantan Presiden Soeharto telah wafat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dalam usia 87 tahun, setelah dirawat selama beberapa hari karena sakit usia tua. Dan seterusnya.

          Unsur when menjadi sangat penting, sebab tanpa unsur yang menyebutkan waktu, sebuah peristiwa atau kejadian tidak dapat disebut sebagai berita. Bahkan, berita mengenai apapun wajib mempunyai “cantolan” atau “gantungan”, mengapa atau atas dasar apa sebuah peristiwa atau kejadian ditulis menjadi berita. Yang dimaksud dengan “cantolan” atau “gantungan” itu lazim disebut sebagainews peg. Tidaklah mungkin kita ujug-ujug menulis berita atau artikel mengenai pemerintahan yang represif atau mengenai mega korupsi, misalnya, tanpa news peg berupa wafatnya Pak Harto.

          Selain karena adanya news peg, sebuah kasus menjadi penting diberitakan karena memang layak ditulis sebagai berita. Kelayakan itu berkaitan dengan magnitude (bobot) beritanya yang cukup besar. Bobot berita wafatnya Pak Harto sangat besar, dibanding bobot meninggalnya camat Pondokgede, misalnya. Bobot berita korupsi Tommy Soeharto yang milyaran sangat besar dibanding korupsi yang dilakukan seorang guru SMP Negeri di Kecamatan Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang hanya sekitar lima jutaan rupiah. Tommy bukan saja anak mantan presiden, kasus korupsinya juga sangat besar, sementara pak guru SMP selain tidak terkenal, bukanpublic figure, ia melakukan korupsi karena terpaksa, gara-gara gajinya tidak mencukupi.

          Wafatnya Pak Harto dan kasus korupsi Tommy Soeharto sangat layak diberitakan, karena selain mereka adalah public figure, kasusnya menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga bernilai “sangat penting”. Sebuah kasus perlu juga diberitakan, antara lain karena kejadiannya aneh, langka, atau unik. Dalam hal ini berlakulah kredo sejarawan Inggris, Charles A. Dana, yang pada 1882 mengatakan, When a dog bites a man, that is not a news. But when a man bites a dog, that is a news (Jika anjing menggigit orang, itu bukan berita. Tapi jika orang menggigit anjing, barulah itu berita). Maksudnya tentu saja bukanlah semata-mata faktor “menggigit”, melainkan faktor unicum, keunikan atau keistimewaan dalam suatu berita. Contoh, kasus Sumanto yang makan daging mayat, seorang ayah yang membantai isteri dan anak-anaknya, seorang legislator yang selingkuh dengan selebriti, dan sebagainya.

          Ada kriteria lain mengapa sebuah kasus diberitakan. Sesuai dengan keinginan tahu (curiousity) seseorang, pers biasanya memberitakan kejadian buruk ketimbang peristiwa yang baik-baik. Rumah tangga artis yang sakinah dan mawaddah (bahagia penuh kasih sayang) dianggap biasa-biasa saja, sedangkan konflik dalam rumah tangga seorang artis terkenal sehingga mereka bercerai, atau bangkrutnya seorang pengusaha terkenal, biasanya dianggap lebih menarik untuk diberitakan. Nah, berita buruk seperti itu biasnya dianggap lebih menarik, sehingga berlakulah teori – yang sesungguhnya tidak selalu tepat: a bad news is a good news (berita buruk adalah berita baik). Pengertian good news di sini bukan berarti “berita baik” melainkan berita yang (biasanya) diminati oleh kebanyakan publik. Padahal, rumah tangga bahagia seorang artis, atau sukses bisnis seorang tokoh, bisa ditulis sebagai success story, kisah sukses seseorang, yang jika ditulis dengan baik juga menarik untuk dibaca.

          Kelayakan sebuah berita juga ditentukan oleh akurasi datanya. Tingkat akurasi (ketelitian, kecermatan, kebenaran data) menentukan tingkat profesionalitas. Seorang wartawan yang menulis berita tidak akurat, bisa dinilai tidak profesional. Bahkan seorang wartawan yang tidak tepat dalam penggunaan bahasa Indonesia, juga bisa dinilai tidak profesional. Selain itu, berita yang baik haruslah berimbang, tidak berat sebelah. Dua pendapat yang saling bertentangan, dua-duanya harus dimuat secara adil. Istilah mengenai asas ini disebut cover both sides atau both sides coverage.

          Kembali pada straight news. Sebagai follow up lebih lanjut dari straight news tersebut, para wartawan menulis berita yang lebih panjang, karena straight news tentulah belum lengkap, dan hanya merupakan dasar dari sebuah berita yang lebih panjang dan lengkap. Beberapa data yang lazim dianggap sebagai pelengkap, misalnya, jenis penyakit Pak Harto (dengan mewawancarai para dokter kepresidenan), siapa saja yang melayat di rumah sakit dan acara tahlil di rumah duka (dengan melakukan reportase), bagaimana rencana pemberangkatan jenazah dan upacara pemakaman (dengan mewawancarai keluarga Cendana dan reportase di Astana Giri Bangun), dan sebagainya.
         
          Wafatnya Pak Harto jelas merupakan berita sangat penting, berita besar, big news. Oleh karena itu para redaktur cepat-cepat memberikan assignment (penugasan) kepada para reporter untuk menulis berita yang lebih lengkap. Bahkan beberapa artikel yang berkaitan dengan Pak Harto, dan perannya selama menjadi presiden (lengkap dengan foto dokumentasi yang diperlukan) sudah dipersiapkan, begitu Pak Harto dirawat karena sakit keras. Misalnya, pemerintahan Pak Harto yang represif, kasus korupsi bersama kroni-kroninya, dan sebagainya. Begitu Pak Harto wafat, artikel seperti itu sudah pressklaar, siap cetak.

***

ADA jenis berita lain yang disebut feature atau news feature, yaitu tulisan panjang, lengkap, komprehensif, berimbang, dengan kasus yang magnitude-nya cukup besar, tapi lebih mementingkan unsur why dan how. Yaitu “mengapa” atau sebab musabab sampai peristiwa itu terjadi, dan “bagaimana” proses terjadinya peristiwa tersebut. Selain itu, sebuah feature hendaknya ditulis dengan gaya bertutur, deskriptif, sedemikian rupa sehingga susunan kata dan kalimatnya mampu menggambarkan atau melukiskan suatu profil atau peristiwa tertentu. Oleh karena itu, feature sesungguhnya sebuah “cerita”, tapi bukan cerita mengenai fiksi melainkan mengenai fakta. A feature is a story about facts, not about fiction (feature ialah cerita tentang fakta, bukan tentang fiksi). Sedangkan karya tulis tentang fiksi disebut novel, cerita pendek.

          Sampai di sini kita diingatkan pada sebuah asas atau dalil klasik dalam dunia jurnalisme, yaitu mengenai fakta dan opini. Menurut dalil klasik tersebut, sebuah berita harus hanya memuat fakta tanpa mengikut sertakan opini, hanya memuat peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan sesungguhnya (facts), tanpa pendapat, komentar, ulasan atau tafsir (opinion) si wartawan. Dengan demikian diharapkan berita itu dapat tampil secara obyektif, seperti apa adanya, tanpa bumbu-bumbu lain, meskipun ditulis dengan deskripsi (penggambaran) yang persis setepat-tepatnya..

          Setelah memahami sedikit banyak tentang beberapa persyaratan berita yang harus kita ketahui,  maka sampailah kita pada pertanyaan, “bagaimana menulis feature (yang baik)?” Sebelum menulis, pertama-tama pilihlah kasus yang (sangat) menarik, yang menyangkut kepentingan banyak orang (publik), yang prestisius untuk ditulis. Seorang wartawan atau penulis yang baik dan berpengalaman biasanya memiliki nose of news (daya cium, daya endus berita), yang akan selalu bisa terasah jika ia memiliki ”jam terbang” cukup tinggi. Tapi, nose of news selalu bisa dilatih. Setelah menemukan obyek, kasus atau item tulisan, pikirkanlah apa kira-kira angle-nya. Yang dimaksud dengan angle ialah ”sudut pandang”, apa kira-kira masalah yang sangat penting dan relevan dari kasus tersebut. Untuk menentukan angle biasanya cukup sulit, sehingga diperlukan pemikiran, perenungan, bahkan diskusi dengan kawan-kawan.

          Sekedar contoh kasus, misalnya, TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah Bantargebang, Bekasi, yang sampahnya sempat menggunung lalu roboh dan menewaskan pemulung. Yang juga menarik, misalnya, banjir yang setiap tahun menggenangi Jakarta, yang disebabkan oleh penataan kota yang tidak disiplin, peruntukan lahan yang ngawur. Atau tentang Tanahabang Bongkaran, Jakarta Pusat, sebagai miniatur Indonesia. Di sana ada preman, pedagang kecil, pegawai negeri, pelacur. Pokoknya berbagai profesi dan etnis yang berbaur dalam kawasan kumuh sejak puluhan tahun. Kasus lain, Soetan Takdir Alisjahbana (STA) sebagai pendidik dan ”pemimpi” yang mengidam-idamkan pendidikan bermutu, sebagai pelopor dan pembina Bahasa Indonesia yang tak kenal lelah.

          Setelah cukup mantap dengan salah satu kasus tersebut, carilah kaitannya dengan news peg. Yang dimaksud dengan news pegialah ”gantungan cerita”, mengapa kita menulis feature mengenai sesuatu yang kita yakini sangat menarik minat pembaca. Mengapa menulis tentang banjir yang menenggelamkan Jakarta? Karena ada news peg musim hujan di bulan Desember. Kita menerbitkannya di awal bulan Desember, sesuai dengan news peg-nya, tapi pengerjaannya bisa dilakukan sejak dua atau tiga bulan sebelumnya. Mengapa kita menulis mengenai STA? Karena akan kita terbitkan pas pada hari ulang tahun STA, atau HUT Universitas Nasional, atau HUT terbitnya majalah Poedjangga Baroe. Dan seterusnya.

Setelah kita menemukan news peg, telitilah apakah kasus yang akan kita tulis tersebut memenuhi kriteria sebagai item yang sangat terkait dengan kepentingan publik dan magnitude-nya besar. Contoh-contoh yang kita paparkan di muka cukup memenuhi kriteria. Setelah itu, susunlah outline (kerangka tulisan), meliputi lead, body text, ending. Seorang penulis yang baik selalu membiasakan diri terlebih dahulu menyusun outline. Di kalangan para wartawan TEMPO di tahun 1980 dulu, dikenal semacam credo: “Mau selamat? Bikinlah outline!” Tapi ingat, cara menyusun outline tidak gampang. Diperlukan latihan tersendiri.

       Kemudian (inilah tugas yang cukup berat) kuasailah segenap bahan dengan selengkap dan seakurat mungkin. Lakukan reportase yang mendalam (indeph reporting), wawancara beberapa narasumber yang relevan, riset berbagai bahan, check and recheck. Lakukan pula verifikasi dengan mempertimbangkan both sides coverage. Lakukan semua itu dengan sepenuh semangat dan gairah, tanpa lelah, tanpa bosan, karena proses pengumpulan bahan itu mungkin akan berlangsung sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Namun, ketika kita tengah “berbelanja” bahan-bahan di lapangan, bisa jadi outline akan berubah. Dalam hal ini, yang sangat penting harus dilakukan ialah indeph reporting (reportase mendalam), ialah reportase dan wawancara dari berbagai aspek, sehingga mampu menggambarkan kasus, masalah, atau sosok yang akan kita tulis.
      
       Langkah berikut ini lebih sulit lagi, yaitu langkah menulis -- yang harus setia dengan outline, meskipun ada kemungkinan outlinebisa berubah di tengah jalan. Mula-mula, tulislah lead yang bagus. Lead adalah kalimat pertama sebagai pembuka, yang harus menarik (baik bahasa maupun materinya) agar supaya pembaca tertarik untuk terus membaca. Dan itulah fungsi lead yang sebenarnya. Selanjutnya melangkah ke body text, yang hendaknya ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar (tapi populer), deskriptif (bertutur, berkisah), dengan alur cerita yang setia pada outline, dan tetap selalu memperhatikan ”gerak pendulum” sehingga tulisan tetap terfokus pada angle.

          Pendulum ialah bandul yang menggantung pada seutas tali. Pendulum selalu bergerak dari arah kiri ke arah kanan, berganti-ganti, dan pasti selalu melewati bagian tengah yang searah dengan lurusnya tali tempat pendulum bergantung. Itulah yang dimaksud dengan “gerak pendulum.” Artinya, biarpun sang pendulum bergerak ke kanan atau ke kiri, pasti selalu kembali ke tengah, searah dengan tali gantungan pendulum. Pendulum melambangkan perkembangan cerita yang ditulis dalam sebuah feature, sedangkan tali penggantung melambangkan angle.
           
          Jika seluruh bahan cerita sudah ditulis dalam body text, tibalah saatnya kita menulis ending, akhir dari sebuah tulisan. Endingbisa berupa kesimpulan, bisa pula suatu kejadian lucu (atau tragis dramatis), yang setidak-tidaknya bisa dianggap sebagai suatu kesimpulan. Atau bisa pula berupa persoalan atau pertanyaan yang mengambang, yang tidak perlu dijawab. Sebagaimana lead ada yang menarik dan tidak, ending juga ada yang menarik dan tidak. Tentu saja kita harus memilih yang menarik. Untuk menulis lead danending yang menarik, memang dibutuhkan latihan dan “jam terbang” sebagai penulis yang cukup lama.

          Bagaimana feature yang bagus? Sebuah feature yang bagus ialah yang lengkap, komprehensif, akurat, dengan verifikasi yang memadai. Lebih hebat lagi jika feature tersebut merupakan hasil reportase investigasi (investigative reporting), sebuah tulisan yangexclusive (sangat khas, lain dari yang lain) dan ditulis dengan gaya literary journalism, jurnalisme literair. Apakah itu investigative reporting, karya jurnalisme yang exclusive, dan gaya literary journalism? Ketiga-tiganya – sebagai tingkat lebih lanjut dari penulisanfeature -- merupakan pembahasan dalam sebuah diskusi tersendiri.

Dec 2, '08 11:58 PM
untuk semuanya

Pengantar kuliah umum di depan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi Universitas Nasional, 18 November 2008.
/ Budiman S. Hartoyo
BANYAK mahasiswa, anak muda pada umumnya, yang ingin menjadi wartawan. Motifnya macam-macam. Ada yang beranggapan, menjadi wartawan itu keren, bergengsi, dapat masuk ke mana-mana, bisa ketemu dengan pejabat atau artis untuk wawancara, dan sebagainya. Persepsi seperti itu sesungguhnya salah, bahkan menyesatkan. Profesi wartawan bukan untuk ”gagah-gagahan”. Profesi ini sangat jauh dari persepsi yang sepele seperti itu. Dunia pers, dengan demikian juga wartawan, adalah kepanjangan tangan publik, penyambung lidah rakyat, terutama rakyat yang tertindas, the silence majority. Bahkan dalam negara yang demokratis, pers merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dari sistem demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, yudikatif. Luar biasa, bukan?
          Untuk dapat menjalani profesi wartawan yang benar, serius, sungguh-sungguh, Anda harus memenuhi tiga hal. Bolehlah kita sebut sebagai ”trilogi jurnalisme”. Pertama, Anda harus profesional. Bukan hanya wartawan, semua profesi, jabatan, pekerjaan, sesungguhnya harus dikerjakan secara profesional. Wartawan yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (ketrampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita ataufeature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika Anda tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bisa disebut tidak profesional.
          Tapi, profesional saja tidaklah cukup. Anda mesti mengenal apa yang disebut ”integritas,” kejujuran, dalam pengertian bahwa sebagai wartawan Anda mesti jujur (dan paham) terhadap profesi, menyadari jatidiri Anda sebagai kepanjangan tangan dari aspirasi publik, kepada siapa Anda semestinya bertanggungjawab secara moral. Profesional dan punya integritas belum lengkap jika Anda tidak memiliki sikap independen, sebagai bagian yang integral dari ”trilogi jurnalisme,” yaitu profesional, integritas dan independen, tidak berpihak, obyektif, dan hanya berpihak atau bertanggung jawab kepada publik.
Karena bertanggung jawab kepada publik, dan oleh karena itu harus independen, maka jadilah pers – dan dengan demikian juga wartawan – merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dalam negara yang menganut sistem demokrasi -- di samping eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jika pilar demokrasi ciptaan Jean Jacques Rousseau yang disebut ”trias politica” itu saling mengontrol satu sama lain, sehingga terjadi check and balance, maka pers sebagai pilar ke empat berperan sebagai ”anjing penjaga” (watch dog) agar check and balance dalam sistem demokrasi itu berjalan dengan semestinya.
         
Dalam konteks Indonesia, Anda harus memahami UU Nomor 40/1999 tentang Pers yang melindungi tugas wartawan sebagai profesi dan menjamin kebebasan pers. Namun harap diingat, dan jangan salah paham, bahwa kebebasan pers sesungguhnya bukanlah semata-mata merupakan kepentingan pers. Sebab, kebebasan pers (freedom of the press atau press freedom) merupakan konsekwensi logis dari sistem demokrasi, ketika pers menjadiwatch dog dalam rangka perannya sebagai the fourth estate.
         
Pengertian ”kebebasan pers” tentu saja bukanlah bebas sebebas-bebasnya, menulis semau gue, tak peduli pada aturan apapun, melainkan bebas dalam mengakses informasi yang dibutuhkan oleh publik. Sebab, pers sebagai ”pilar ke empat” dalam sistem demokrasi -- yang adalah juga ”kepanjangan tangan” dari aspirasi publik -- harus bebas dalam mengakses informasi publik. Mengapa? Sebab, kebebasan itu merupakan salah satu dari hak-hak sipil (hak untuk bebas berpikir, berpendapat, berbicara, menulis, berserikat, beragama, mencari nafkah) yang semuanya merupakan hak-hak manusia yang paling asasi.
Dengan mengemban hak untuk mengakses informasi publik secara bebas, dan dengan demikian sebagai ”kepanjangan tangan publik” atau ”penyambung lidah rakyat”, maka pers berkewajiban memperjuangkan hak-hak sipil, terutama the silence majority. Dengan melaksanakan tugas profesional sebagai social control, pers dapat menjaga agar kekuasaan tetap berjalan di jalur rel demokrasi, tidak terjebak pada penyalah gunaan kekuasaan. Sebab, sebagaimana ungkapan sejarawan Inggris Lord Acton (1834-1902), ”the power tends to corrupt; the absolute power tends to absolute corrupt” (kekuasaan cenderung menyalah gunakan kekuasaan; kekuasaan yang mutlak cenderung menyalah gunakan kekuasaan secara mutlak pula).
Oleh karena itu, pers harus bebas namun bertanggung jawab (kepada publik, kepada norma hukum, kepadacommon sense, bukan kepada kekuasaan). Namun, di lain pihak pers bukanlah can do no wrong (bukan tidak bisa salah). Sebab, jika pers can do no wong, bukan tak mungkin akan terjadi trial by the press (pengadilan sepihak oleh pers), bahkan tirani pers. Dalam kaitan ini, sangatlah benar sikap Thomas Jefferson, Presiden ke III Amerika Serikat (1743-1826): “Andai saya diminta memilih antara pemerintah tanpa pers atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah dia sering diperlakukan kurang baik oleh pers AS.