Rabu, 15 Februari 2012


i
MEMBANGUN CITRA POLISI
DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PELANGGARAN LALU – LINTAS
DI POLRES BATANG
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi
Persyaratan Tugas Akhir pada
Program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum UNDIP
Oleh :
Drs. Edi Suroso
NIM. B4A 005 263
PEMBIMBING
Prof. Dr.Paulus Hadisuprapto, SH. MH
Eko Soponyono,SH. MH
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008
ii
MEMBANGUN CITRA POLISI
DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PELANGGARAN LALU – LINTAS
DI POLRES BATANG
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi
Persyaratan Tugas Akhir pada
Program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum UNDIP
Oleh :
Drs. Edi Suroso
NIM. B4A 005 263
PEMBIMBING
Pertama Kedua
Prof. Dr.Paulus Hadisuprapto, SH. MH Eko Soponyono,SH. MH
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ,”MEMBANGUN CITRA
POLRI DALAM PENANGGULANGAN PINDAK PIDANA PELANGGARAN
LALU – LINTAS di POLRES BATANG”.
Tersusunnya Tesis ini tidak dapat dipisahkan dari dukungan istri tercinta,
anak – anak tercinta, orang tua, kerabat dan semua pihak yang tak dapat disebut satu
per satu.
Dalam kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada :
1. Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, SH. MH yang telah membimbing dan
membina serta mencerahkan pemahaman terhadap ilmu hukum selama penulis
menyususn Tesis ini.
2. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH yang banyak menambah pamahaman ilmu
hukum pidana bagi penulis.
3. Istri Tersayang Dra. Listiani Pakpahan dan anak – anakku tersayang : Sartika
Warasari dan Seno Prasetyo yang sangat mendukung selama penyusunan tesis
ini.
4. Eko Soponyono, SH. MH selaku pembimbing kedua yang banyak memberi
masukan selama penyusunan Tesis ini.
iv
5. Ibu Ani Purwanti, SH. MH, selaku sekretaris bidang Akademi S-2 Ilmu
Hukum Fakultas Hukum UNDIP yang selalu mendorong untuk menyelesaikan
Tesis ini.
6. Ibu Amalia, SH. MH, selaku sekretaris bidang keuangan S-2 Ilmu Hukum
Fakultas Hukum UNDIP yang memberi kemudahan administrasi selama
penyelesaian Tesis ini.
7. Seluruh personel sekretariat dan keuangan yang mendukung proses hingga
selesainya Tesis ini.
8. Kasat Lantas AKP Hery Purnomo beserta staf yang dengan ikhlas membantu
pemenuhan data untuk penyusunan Tesis ini.
Akhirnya segala saran dan kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
“kesempurnaan” Tesis ini dan langkah akademik ke depan bagi penulis.
Semoga Allah SWT membalas budi luhur semua pihak yang telah ikhlas
membantu selama penyusunan Tesis ini. Amin.
Semarang, 29 Maret 2008
Penulis
Edi Suroso
v
MOTTO :
“ Ingatlah, sesungguhnya wali–wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak ( pula ) mereka bersedih hati, yaitu orang – orang yang beriman
dan mereka selalu bertaqwa” ( Yunus : 62 –63 )
PERSEMBAHAN :
Tesis ini kupersembahkan khusus buat isteriku tersayang ; Dra. Listiana Pakpahan,
anak – anakku tersayang : Sartika Waraasari dan Seno Prasetyo.
Semoga Allah SWT senantiasa membuka RUH kita agar selalu mencari ilmu
(hukum) Nya.
vi
ABSTRAK
Kepolisian Negara Republik merupakan alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat menegakkan hukum serta
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Dalam posisi demikian adalah wajar
jika evaluasi kinerja Polri langsung diberikan oleh masyarakat yang amat
berpengaruh terhadap Citra Polri.
Permasalahan yang dikemukakan dalam Tesis ini meliputi ; Bagaimana
respon masyarakat terhadap tindakan polisi dalam menanggulangi Tindak Pidana
Pelanggaran Lalu – Lintas. Faktor – faktor apa sajakah yang mempengaruhi citra
polisi dalam penanggulangan tidak pidana pelanggaran lalu – lintas dan Bagaimana
strategi yang perlu diambil kepolisian untuk membangun citranya dalam
menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalu – lintas.
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Socio –
Legal” yang melihat hukum sebagai sebuah tatanan normatif yang
dioperasionalisasikan dalam kehidupan sosial tertentu.
Dari analisa dan pembahasan hasil penelitian didapat jawaban sebagai berikut
: Bahwa respon masyarakat terhadap tindakan polisi amat positif, sebab harmonisasi
kerja sama antara polisi dan masyarakat tampak nyata. Faktor yang mempengaruhi
citra polisi diantaranya ; profesionalisme / intelektualisme, keteladanan dan
ketaqwaan polisi. Strategi yang diambil polisi dalam rangka membangun citra polisi
diantaranya peningkatan “kemitraan” dengan masyarakat. Integritas ketiga
permasalahan diatas dipakai sebagai pijakan peningkatan membangun citra polisi
dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu – lintas.
Kata Kunci : Citra Polri, penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu –
lintas.
vii
ABSTRACT
The Police Department of Republic of Indonesia/ POLRI is the state instrument
that possesses a role upon the maintaining of the security and safety of the society, the
enforcing of the law and the providing of the protection, sheltering and service to the
society in order to maintain security of the state. Upon the recent position, it is normal if
the Police Department performance evaluation is directly given by the society that is very
influencing to the Police Department image.
The problems upon the thesis include; upon how the society response upon the
police action against the traffic violence criminal is, what factors influence the police
action against the traffic violence criminal are, and what strategy should be taken by the
Police in order to solve the traffic violence criminal is.
The research used socio-legal methodology that is considering law as the
normative arrangement operated upon the specific social life.
Upon the analysis and the discussion of the research result, it is knowledge that;
the society’s response upon the police action is considerably positive, since the
harmonization of the cooperation between the police and the society appears obviously.
The influencing factors to the police image are; professionalism/ intellectualism,
leadership and the belief of the police. The strategy taken by the police in order to
increase the police image is the increasing of the partnership with the society.
The integrity of the three problems above is used as the basis of the increase to
develop the police image upon the police action against the traffic violence criminal.
Key words: POLRI image, the police action against the traffic violence criminal
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ……………………………… v
ISI ABSTRAK ……………………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. viii
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG ……………………………………………. 1
PERUMUSAN MASALAH …………………………………….... 6
TUJUAN PENELITIAN …………………………………………. 6
KERANGKA PEMIKIRAN ……………………………………… 8
METODE PENELITIAN ………………………………………… 23
1. Metode Pendekatan ………………………………………… 24
2. Spesifikasi Penelitian ……………………………………… 24
3. Jenis Data …………………………………………….…… 25
4. Metode Pengumpulan Data ………………………………… 25
5. Metode Analisa Data ………………………………………… 26
ix
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Mengenai Citra Polri ……………….. 27
B. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana ……………. 32
C. Tindak Pidana / Pelanggaran Lalu Lintas ………………. 45
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Respon Masyarakat Terhadap Tindakan – Tindakan Polisi dalam
menanggulangi Tindak Pidana dan Pelanggaran Lalu Lintas
…………… 47
B. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Citra Polisi dalam
Penaggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Lalu –Lintas
……………………….. 59
C. Strategi yang Perlu Diambil Kepolisian untuk Membangun Citranya
dalam Menanggulangi tidak pidana pelanggaran lalu lintas …. 75
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………… 122
B. Saran …………………………………………………….. 123
Daftar Pustaka ……………………………………………….. 124
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Terdapat perbedaan yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertahanan dan
keamanan. Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggungjawab di bidang keamanan dan ketertiban
masyarakat, sedangkan bidang pertahanan negara dilakukan oleh Departemen Pertahanan Keamanan
Tentara Nasional Indonesia. Tujuan utamanya, menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara. Ketetapan MPR
RI No.VI/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan perannya masing-masing (dalam ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000).
Dua Tap MPR RI di atas merupakan landasan dibentuknya UU Kepolisian Negara Republik Indonesia
(UU RI No.2 Th 2002)
Tujuan dibentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4 UU No.2 Th 2002).
Dengan demikian Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 UU No.2
Th 2002).
Dalam melaksanakan tugas dan sebagai alat negara memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat, maka eksistensi Kepolisian Negara RI (Polri) selaku bersama dan menyatu
dengan masyarakat. Dalam posisi demikian adalah wajar jika evaluasi kinerja Polri langsung di berikan
oleh masyarakat. Evaluasi kinerja langsung oleh masyarakat terhadap Polri amat berpengaruh terhadap citra
Polri. Saat ini kualitas citra Polri dinilai para pengamat mengalami kemerosotan.
Kemerosotan citra Polri di mata masyarakat merupakan sebuah persoalan penting yang hingga saat ini
masih terus membelenggu Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai penjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, dan melakukan pengayoman, perlindungan serta
menciptakan keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dalam melayani masyarakat. Fenomena ini
xi
tampaknya tetap akan menjadi siklus yang abadi dalam tubuh Polri (Kepolisian Negara Republik
Indonesia), andaikata komitmen profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas tidak diwujudnyatakan
dalam sikap dan tindakan aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenang sehari-hari.1
Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian Kompas selama beberapa tahun terakhir ini, terutama
tahun 2003-2005, seolah membenarkan bahwa citra Polri di mata masyarakat memang belum begitu baik.
Sekalipun secara umum hasil jajak pendapat Kompas tahun 2005 memperlihatkan bahwa citra Polri pada
usianya yang ke-60 tahun menunjukkan peningkatan yang kian positif (51%) bila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang hanya mencapai 40%, namun dalam hal penegakan supremasi hukum tampaknya
citra Polri masih terpuruk di mata masyarakat. Dalam pengusutan kasus-kasus korupsi, misalnya, tercatat
sekitar 73,8% responden masih memendam kekecewaan terhadap kinerja Polri karena kekurangtegasannya
dalam mengungkap dan memproses kasus korupsi. Kemerosotan citra Polri itu juga tampak dalam
penanganan kasus-kasus HAM yang dinilai cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat.2
Pencitraan polisi yang bersifat negatif itu bukan hanya dilontarkan oleh masyarakat, melainkan juga
oleh para pejabat teras di tubuh Polri sendiri. KAPOLRI Jendral Polisi Drs. Sutanto sendiri secara
transparan menegaskan, bahwa kepercayaan masyarakat atas kinerja Polri belum sebagaimana yang
diharapkan. Hal ini disebabkan adanya kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa Polri lamban, tidak
tanggap, diskriminatif dan kurang profesional dalam menangani laporan pengaduan masayrakat, ditambah
lagi sikap perilaku anggota Polri yang belum santun dalam memberikan pelayanan.3
Sesepuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Koesparmono Irsan, juga secara terbuka
mengakui adanya praktik korupsi yang sistematis dalam lembaga kepolisian. Tindakan korupsi sedemikian
rupa menggerogoti institusi kepolisian hingga keropos. Keberadaan hak diskresi dengan memberi
kewenangan polisi dalam mengambil keputusan di lapangan, menurut Koesparno, membuka peluang bagi
polisi untuk melakukan korupsi berupa negosiasi atau tawar-menawar dengan pelanggar lalu lintas atau
1 Fenomena yang demikian itu sebagaimana pernah diungkapkan oleh Budayawan Jasa Suprana dalam
sebuah Seminar Nasional Polisi di Semarang, bahwa “Nyaris tidak ada Surat Kabar yang tidak memuat
artikel mengkritik polisi, mulai dari yang beralasan ilmiah sampai emosional pribadi. Tidak ada mulut yang
tidak mengomeli polisi” (Jaya Suprana, “Polisi dan Pelayanan Masyarakat”, Makalah Seminar Nasional
Polisi I, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian UNDIP, 1995, halaman 1).
2 Sultani, “Profesionalitas Polri di Tengah Membaiknya Pamor”, Artikel Harian Kompas, 03 Juli 2006.
3 KAPOLRI Jenderal Polisi Drs. Sutanto, “Membangun Polri untuk Menumbuh Kembangkan Kepercayaan
Masyarakat”, MABES Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta, 2006, halaman2.
xii
pelaku kejahatan untuk memberi imbalan kepada oknum petugas. Berikut ini beberapa contoh praktikpraktik
korupsi yang dilakukan oleh oknum pilisi:
Sebagai contoh.... penanganan kasus ecstasy. Seseorang yang tertangkap memiliki 100 butir ecstasy
seharusnya memenuhi kategori sebagai bandar. Namun, melalui negosiasi dengan petugas yang
menangkap, hal itu bisa diatur dengan tuduhan hanya sebagai pemakai. Caranya mudah saja, barang
bukti yang ditemukan hanya dikatakan sebanyak 10 butir. Satu butir dikonsumsi tersangka, sisanya
menjadi barang bukti.... Sementara sembilan puluh butir ecstasy raib entah ke mana. Ini merupakan
contoh kecil sebuah kebiasaan dalam penanganan kasus-kasus kejahatan.4
Bahkan, ketika Polri masih berada di dalam tubuh ABRI, mantan Pangab Jendral TNI Faisal Tanjung
juga sudah pernah mengingatkan, bahwa profesionalisme polisi – baik dalam pembinaan sumber daya
manusia (personil) maupun sumber data – masih perlu ditingkatkan.5 Demikian pula mantan Kapolri
Jendral (Pol) Banurusman juga secara jujur mengakui, bahwa profesionalisme polisi memang belum
optimal. Namun, bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya maka secara kualitas sudah semakin
meningkat.6 Bahkan, secara agak transparan Jenderal (Pol) Drs. Hugeng Imam Santoso – yang juga adalah
mantan Kapolri – mengatakan bahwa polisi sekarang payah, gampang disogok, banyak terlibat dengan
cukong-cukong dan kurang membantu masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan bantuan
keamanan.7
Cuplikan pendapat para sesepuh Polri tersebut menunjukkan, bahwa kemerosotan citra Polri tersebut
hampir merata di semua bidang tugas dan wewenangnya, termasuk dalam praktik penegakan hukum.
Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa selain kasus-kasus tersebut terdapat pula banyak hal positif dari
yang dihasilkan dan diperjuangkan oleh korps kepolisian, dan itu berarti masih banyak aparat kepolisian
yang berpredikat baik dan berkualitas. Namun, semua yang baik dan positif itu seolah tenggelam
berseiringan dengan munculnya kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut telah
4 Iwan Santosa, “Republik Ini Butuh Kepastian Hukum”, Artikel Harian Kompas, 06 Maret 2004 (kf.
Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0403/06/Fokus/894359.htm). Cerita-cerita tak sedap tentang
praktik-praktik penanganan kasus pelanggaran lalu lintas jalan raya dapat dicari juga dalam N.N., “Bila
Anda Ditilang Polantas” (Kf. Sumber: sumber: http://www.transparansi.or.id/kajian/kajian3_lalin.html).
5 Baca misalnya dalam Sarlito Wirawan Sarwono, “Citra Polisi dalam Teori Psikologi Sosial”, Artikel
Harian KOMPAS, 1 Juli 1995, halaman IV).
6 N.N., “Kapolri: Profesionalisme Polisi Belum Optimal”, Berita Harian KOMPAS, 1 Juli 1995.
7 Kf. Tabloid Mingguan Detik, 21 Agustus s/d 14 September 1993.
xiii
mencoreng wajah Polri, dan sekaligus menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap cara-cara kerja yang
dimainkan oleh Polri.
Fenomena seperti itu tampaknya terpola juga dalam praktik-praktik penanggulangan tindak pidana
pelanggaran lalu lintas. Secara khusus mengenai penanganan kasus pelanggaran lalu lintas jalan raya,
Koesparmono Irsan menegaskan bahwa “denda damai” dalam penanganan kasus pelanggaran lalu lintas
telah menjadi kebiasaan. Petugas cenderung bersepakat dengan pelanggar untuk membayar sejumlah uang
di bawah ketentuan hukum agar pelanggarannya tidak diproses, dan uang damai tersebut tentu saja tidak
masuk kas negara. Di pihak lain, citra polisi yng korup tersebut disebabkan pula oleh sikap khalayak yang
terlanjur tidak mau repot, karena selalu dibayangi oleh prosedur hukum yang berbeli-belit sehingga
mendorong khalayak untuk lebih memilih jalan pintas dengan membayar denda damai.8 Cerita-cerita
miring tentang sikap dan tindakan Polri yang demikian itu, dapat disimak dalam penanganan kasus-kasus
tilang (bukti pelanggaran) kendaraan bermotor selama ini.9
Kemerosotan citra Polri dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran lalu lintas tersebut membuat
kajian ilmiah guna menetapkan strategi yang tepat dalam meningkatkan citra Polri merupakan sesuatu yang
urgen dan relevan untuk dilakukan. Oleh karena itu, tema sentral yang diangkat dalam teses ini akan
diarahkan untuk membangun citra Polri dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di
Polres Batang.
B. PERUMUSAN MASALAH
Uraian yang dipaparkan dalam latar belakang tersebut telah menunjukkan gambaran yang relatif
lengkap mengenai kemerosotan citra Polri dalam penaggulangan tindak pidana, termasuk tindak pidana
pelanggaran lalu lintas jalan raya. Dengan demikian, fokus utama dari kajian ini adalah terletak pada
bagaimana membangun citra Polri di mata masyarakat. Bertolak dari fokus kajian yang demikian itu, maka
permasalahan pokok yang diangkat dalam studi adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana respon masyarakat terhadap tindakan-tindakan polisi dalam menanggulangi tindak pidana
pelanggaran lalu lintas?
8 Iwan Santosa, Op Cit., 2004.
9 N.N., “Bila Anda Ditilang Polantas” dalam http://www.transparansi.or.id/kajian/kajian3_lalin.html.
xiv
2) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi citra polisi dalam penanggulangan tindak pidana
pelanggaran lalu lintas?
3) Bagaimana strategi yang perlu diambil kepolisian untuk membangun citranya dalam menanggulangi
tindak pidana pelanggaran lalu lintas?
C. TUJUAN
Bertoleh dari fokus kajian dan perumusan masalah pokok tersebut, maka tujuan utama yang ingin
dicapai dalam studi ini, antara lain:
1) Untuk memahami dan menjelaskan secara lebih baik respon masyarakat terhadap tindakan-tindakan
Polri Polres Batang dalam menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalu lintas.
2) Untuk memahami dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi citra Polri dalam
penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas.
3) Untuk mengembangkan strategi yang tepat guna membangun citra Polri dalam penanggulangan tindak
pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Batang.
Apabila semua tujuan riset tersebut dapat tercapai, maka secara langsung maupun tidak langsung studi
ini akan memberikan sejumlah kontribusi, baik pada aras teoritik maupun praktis. Pada aras teoritik, hasil
temuan dari studi diharapkan dapat:
a) Menjadi wacana yang menarik bagi Polri dalam mengoreksi diri sendiri secara internal, terutama
berkaitan dengan sikap dan tindakan Polri Polres Batang dalam menanggulangi tindak pidana
pelanggaran lalu lintas.
b) Dipakai untuk merumuskan model-model strategi yang tepat dalam mewujudkan citra Polri Polres
Batang yang semakin dipercayai oleh masyarakat.
c) Menjadi bahan informasi yang sangat urgen dalam mengembangkan ilmu kepolisian dan sistem
peradilan pidana.
Sedangkan, pada aras praktis, studi ini diharapkan dapat menjadi bahan yang bermanfaat dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan praktis bagi Polri Polres Batang dalam menanggulangi tindak pidana
secara profesional, transparan dan akun-tabel. Secara khusus hasil temuan dalam studi ini diharapkan dapat
menjadi bahan permenungan bagi Polri Polres Batang yang ditugaskan khusus untuk menanggulangi tindak
xv
pidana pelanggaran lalu lintas, agar dapat menampilkan sikap dan tindakan yang dapat menaikkan citra
Polri Polres Batang.
D. KERANGKA PEMIKIRAN
Berikut ini akan dipaparkan hasil eksplorasi terhadap pemikiran-pemikiran teoritik maupun praktis
tentang tugas dan wewenang polri secara umum maupun secara khusus dalam bidang lalu lintas jalan raya.
Paparan tentang tugas dan wewenang Polri tersebut dimaksudkan sebagai “pintu masuk” untuk mengkaji
lebih jauh masalah keterpurukan citra Polri di mata masyarakat dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya, termasuk dalam praktik penanggulangan tindak pidana. Setelah itu, barulah dipaparkan
tentang pemikiran teoritik tentang aspek-aspek yang berhubungan erat citra Polri, yakni profesionalisme,
transparansi, dan akuntabilitas.
1. Gambaran Umum Tugas dan Wewenang Polri
Secara yuridis tugas dan wewenang Polri telah diatur dalam konstitusi dan berbagai produk peraturan
perundang-undangan. Arahan yuridis sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945, misalnya,
secara tegas mengatur bahwa “Polri sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Hal senada diatur pula dalam
Pasal 6 Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, “Polri merupakan alat Negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Arahan yuridis tentang peran Polri yang
demikian itu, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, terutama dalam
Pasal 5, Pasal 13 dan 14.
Dari arahan yuridis tersebut tampak, bahwa lembaga kepolisian di Indonesia tidak hanya berperang
sebagai bagian dari penegakan hukum yang terpola dalam sistem peradilan pidana (SPP), melainkan lebih
jauh dari itu berperan juga sebagai lembaga penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat.10 Karakteristik peran yang dimainkan oleh lembaga kepolisian itu
10 Menurut Paul M. Whisenand & James L. Cline sebagaimana dikutip oleh Erlyn Indarti, polisi bekerja
dalam tiga kategori fungsional peran, yakni: (1) penegakkan hukum (pemberantasan kejahatan); (2)
pemeliharaan ketertiban (penjaga ketenangan); dan (3) pelayanan masyarakat (bantuan masyarakat)
xvi
ternyata jauh lebih luas dalam melakukan kontrol sosial bagi masyarakat, baik yang bersifat pre-emprif,
preventif maupun represif.11 Ketika lembaga kepolisian menjadi bagian dari sistem peradilan pidana maka
tindakannyapun harus dapat dikembalikan ke dalam konteks sistem besar tersebut. Apa yang dapat
dilakukan dan seberapa jauh aparat kepolisian dapat bertindak selalu ditentukan oleh tempatnya di dalam
sistem tersebut. Singkat kata, aparat kepolisian harus bertanggung jawab terhadap proses bekerjanya
hukum melalui sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981).
Pada dasarnya tugas dan wewenang Polri sebagaimana ditetapkan secara yuridis dalam Undang-
Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 itu bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah pernah diatur
dalam produk hukum sebelumnya yang sudah tidak berlaku lagi, terutama Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1997.12 Tugas POLRI yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002
adalah sebagai berikut:
1) Tugas POLRI sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat antara lain : Melaksanakan
pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai
kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran
lalu lintas di jalan; membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.13
2) Tugas POLRI sebagai penegak hukum antara lain : Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan dan
pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk
keamanan swakarsa; melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; menyelenggarakan
identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk
kepentingan untuk kepentingan tugas kepolisian.14
[Erlyn Indarti, Diskresi Polisi. Semarang: Lembaga Penerbit Undip, 2000, halaman 46].
11 Dalam tradisi Perancis, peran lembaga kepolisian yang demikian itu kurang lebih sama dengan “Ia
police administration” (Satjipto Raharjo, Op Cit; 2002, halaman 26)
12 Kf. Pasal 13, 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997
13 Kf. Pasal 14 ayat 1 huruf a, b dan c Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002.
14 Kf. Pasal 14 ayat 1 huruf d, e, f, g dan h Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002
xvii
3) Tugas POLRI sebagai pengayom dan pelayan masyarakat antara lain : Melindungi keselamatan jiwa
raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau
pihak yang berwenang; memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian.15
Untuk dapat melaksanakan tugas sebagaimana diuraikan di atas (baik sebagai penjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, maupun perlindungan, pengayom dan pelayan masyarakat),
POLRI diberi wewenang sebagai berikut :
(a) menerima laporan dan/atau pengaduan; (b) membantu menyelesaikan perselisihan warga
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; (c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya
penyakit-penyakit masyarakat; (d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; (e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup
kewenangan administrative kepolisian; (f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; (g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; (h)
mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; (i) mencari keterangan dan
barang bukti; (j) menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional; (k) mengeluarkan surat izin
dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; (l) memberikan batuan
pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instasi lain, serta kegiatan
masyarakat; dan (m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.16
Secara khusus untuk menjalankan tugas dalam bidang proses pidana atau proses penegakan hukum,
POLRI diberi wewenang sebagai berikut:
(1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; melarang setiap orang
meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (2) membawa
dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; (3) menyuruh berhenti orang
yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; melakukan pemeriksaan dan
penyitaan surat; memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (4)
15 Kf. Pasal 14 ayat 1 huruf I, j dan k Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002
16 Kf. Pasal 15 Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002
xviii
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (5)
mengadakan penghentian penyidikan; (6) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat
pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang
yang disangka melakukan tindakan pidana; (7) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada
penyidik pegawai negeri sipil serta menerrima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepda penuntut umum; dan (8) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.17
Sedangkan untuk dapat melaksanakan tugas-tugas lain menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, POLRI diberi wewenang sebagai berikut:
(1) Memberi izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; (2)
menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; (3) memberikan surat izin
mengemudi kendaraan bermotor; (4) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; (5)
memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; (6)
memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa
pengamanan; (7) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas
pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; (8) melakukan kerja sama dengan kepolisian
negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; (9) melakukan pengawasan
fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instasi
terkait; (10) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; (11)
melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.18
17 Kewenangan POLRI dalam proses hukum atau proses penegakan hukum tersebut diatur dan dijabarkan
secara lebih komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), terutama dalam Pasal 8 ayat 1. Yang dimaksud dengan “penyakit
masyarakat” antara lain pengemisan, pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan
narkotika, pe-mabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar (kf.
Lihat penjelasan Pasal 15 ayat 1 huruf c Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002).
18 Kf. Pasal 14 ayat 1 huruf l yo Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002.
Kegiatan politik yang memerlukan pemberitahuan kepada POLRI adalah kegiatan politik sebagaimana
diatur dalam perundang-undangan di bidang politik, antara lain kegiatan kampanye pemilihan umum
(Pemilu), pawai politik, penyebaran pamphlet, dan penampilan gambar/lukisan bermuatan politik yang
disebarkan kepada umum [kf. Penjelasan Pasal 15 Ayat 2 huruf d Undang-Undang Kepolisian Nomor 2
Tahun 2002].
xix
Sekalipun sudah ada arahan yuridis yang mengatur secara tegas tentang peran-peran yang harus
dimainkan oleh kepolisian, namun tidak tertutup kemungkinan bagi mereka untuk bertindak di luar arahan
yuridis tersebut. Bahkan, Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Kepolisian justru memberikan peluang bagi
aparat kepolisian untuk bertindak seperti itu. Penegasan Pasal 18 Ayat (1) undang-undang Kepolisian
sebagai berikut: “Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.19 Namun, peluang
seperti itu “hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia” (kf. Pasal 18 Ayat 2
Undang-Undang Kepolisian).
Penegasan yang demikian itu hendak mengisyaratkan bahwa secara yuridis polisi diperbolehkan untuk
melakukan diskresi. Diskresi di sini dimaknakan sebagai “kemerdekaan dan/atau kewenagan dalam
membuat keputusan untuk mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapi secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang
memungkinkan”.20 Secara lebih spesifik, Thomas J. Aaron mendefinisikan “diskresi kepolisian” sebagai
“suatu wewenang bertindak yang diberikan kepada polisi untuk mengambil keputusan berdasarkan
pertimbangan sendiri dan dalam situasi tertentu mengenai masalah moral, serta terletak dalam garis batas
antara hukum dan moral”.21 Harus diakui bahwa sebenarnya diskresi terjadi pada ketiga peran yang
dimainkan oleh kepolisian, baik dalam pemeliharaan ketertiban dan keamanan, penegakan hukum maupun
dalam tugas pengayoman, perlindungan dan pelayanan masyarakat.
2. Tugas dan Wewenang Polri dalam Bidang Lalu Lintas
Sama seperti tugas dan wewenang Polri dalam bidang-bidang yang lain, tugas dan wewenang Polri
dalam bidang lalu lintas juga dapat dikelompokkan ke dalam tugas dan wewenang sebagai penjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, serta melakukan perlindungan,
19 Yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat
dilakukan oleh anggota Kepolisian dengan memper-timbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan
betul-betul untuk kepen-tingan umum [kf. Penjelasan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Kepolisian].
20 Untuk memahami lebih jauh pengertian diskresi, baca misalnya ulasan Erlyn Indarti, Op Cit., 2000,
halaman 11-17.
21 Pendapat Thomas J. Aaron tersebut sebagaimana dielaborasi oleh Erlyn Indarti, Diskresi Polisi,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000, halaman 15.
xx
pengayoman dan pertolongan kepada masyarakat. Dalam rangka menjaga Keamanan, Ketertiban, dan
Kelancaran Lalulintas, Polri (Polantas) diberi tugas dan wewenang menjaga keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas, seperti mengatur kelancaran arus lalu lintas dan lain sebagainya. Sedangkan dalam
bidang penegakan hukum, Polri (Polantas) diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana pelanggaran lalu lintas dan tindak pidana lain yang berhubungan lalu lintas dan
angkutan jalan. Sementara dalam hal pengayoman, perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat, Polri
diberi tugas dan wewenang untuk memberikan sertifikasi berupa SIM kepada pengemudi kendaraan
bermotor agar warga masyarakat, dalam menggunakan kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan untuk
melindungi masyarakat dari bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh pengendara yang tidak terampil, dalam
mengemudikan kendaraan Roda 2 (R2) dan kendaraan Roda Empat (R4).
Pada prinsipnya mengenai tugas dan wewenang Polri Polres Batang dalam bidang penyidikan tindak
pidana pelanggaran lalu lintas berbeda dengan penyidikan untuk tindak pidana yang lain, karena dasar
hukum yang digunakan adalah sama yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, terutama dalam Pasal 5 Ayat (1). Tugas dan wewenang Polri
yang demikian itu diatur juga Pasal 14, 15 dan 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia. Namun demikian, di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
tentang LLAJ ini diatur pula masalah penyidikan terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas dan
angkutan jalan.
Materi pengaturan penyidikan tindak pidana pelanggaran LLAJ, antara lain berkaitan dengan
pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan. Pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan tersebut
dimaksudkan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan.
Pemeriksaan kendaraan bermotor itu meliputi: (1) pemeriksaan persyaratan teknis dan laik jalan; (2)
pemeriksaan tanda bukti pendaftaran atau surat tanda bukti pendaftaran atau surat tanda coba kendaraan
bermotor, dan surat izin mengemudi (SIM).22 Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pemeriksaan
kendaraan bermotor itu antara lain:
(a) Ketentuan Pasal 13 UU-LLAJ mengharuskan agar setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan,
kereta tempelan dan kendaraan khusus yang dioperasikan di jalan wajib diuji, dan pengujian tersebut
22 Kf. Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU-LLAJ
xxi
meliputi pengujian tipe dan/atau uji berkala. Untuk itu pemeriksaan di sini berkaitan dengan buktibukti
lulus uji dari kendaraan yang diperiksa tersebut.
(b) Ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU-LLAJ mengharuskan agar setiap kendaraan bermotor yang
dioperasikan di jalan wajib didaftarkan, dan sebagai tanda bukti pendaftaran diberikan bukti
pendaftaran kendaraan bermotor. Untuk itu pemeriksaan di sini berkaitan dengan bukti-bukti yang
menunjukkan pendaftaran kendaraan yang dioperasikan di jalan tersebut.
(c) Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU-LLAJ mengharuskan setiap pengemudi kendaraan bermotor wajib
memiliki surat izin mengemudi. Untuk itu, pemeriksaan dalam hal ini berkaitan dengan surat izin
mengemudi (SIM) dari orang mengoperasikan kendaraan bermotor di jalan.
Sehubungan dengan kegiatan pemeriksaan kendaraan bermotor di atas, maka kegiatan penyidikan
terhadap pelanggaran di bidang LLAJ sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang LLAJ berkaitan
dengan tiga ketentuan pemeriksaan kendaraan bermotor sebagaimana diuraikan di atas. Kegiatan
pemeriksaan tersebut tidak disertai dengan penyitaan kendaraan bermotor dan/atau surat tanda nomor
kendaraab bermotor, kecuali dalam hal: (a) kendaraan bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana tau
digunakan untuk melakukan tindak pidana; (b) pelanggaran lalu lintas tersebut mengakibatkan
meninggalnya orang; (c) pengrmudi tidak dapat menunjukkan tanda bukti lulus uji kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (3);23 (d) pengemudi tidak dapat menunjukkan surat tanda
nomor kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2);24 dan (e) pengemudi tidak
dapat menunjukkan surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1).25
Kewenangan penyidik dalam pemeriksaan kendaraan bermotor tersebut, antara lain dapat dilihat dalam
Pasal 53 Ayat (2) UU-LLAJ;26
(a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkenaan dengan pemenuhan persyaratan teknis
dan laik jalan kendaraan bermotor;
(b) melarang atau menunda pengoperasian kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis
dan laik jalan;
23 Kf. Pasal 13 Ayat (1), (2) dan (3) UU-LLAJ
24 Kf. Pasal 14 Ayat (1) & (2) UU-LLAJ
25 Kf. Pasal 18 Ayat (1) UU-LLAJ
26 Yang melakukan penyidikan menurut ketentuan KUHAP adalah pejabat Polri, dan pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkup departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan
di bidang lalu lintas dan angkutan jalan [Kf. Pasal 53 ayat (1) UU-LLAJ]
xxii
(c) meminta keterangan dan barang bukti dari pengemudi, pemilik kendaraan, atau pengusaha angkutan
umum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan
bermotor;
(d) melakukan penyitaan tanda uji kendaraan yang tidak sah;
(e) melakukan pemeriksaan terhadap perizinan angkutan umum di terminal;
(f) melakukan pemeriksaan terhadap berat kendaraan beserta muatannya;
(g) membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
(h) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang
menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor serta perizinan angkutan umum.
3. Citra Polri dalam Menjalankan Tugas dan Wewenangnya
Gambaran tentang keterpurukan citra Polisi sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, seakan
membuka peluang terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
sehari-hari. Sebuah analisis dari seorang pakar kriminologi Amerika Serikat, Sutherland, dalam bukunya
berjudul “Criminal Homicide, A Study of Culture and Conflict” yang diterbitkan tahun1960 di California,
membahas berbagai kasus perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi.
Menurut Suttherland, tugas dan pekerjaan polisi sehari-hari terlampau sering bergaul dengan dunia
kejahatan dan pejahat, sehingga secara tidak disadari polisi menjadi sangat akrab dan tak asing lagi dengan
kejahatan. Dampak negatif yang sering tak mengerti adalah polisi telah berada dalam lintasan kritis,
seakan-akan ia tengah berdiri pada sebuah perbatasan yang sangat rawan antara tugasnya sebagai penegak
hukum dan terhadap kejahatan yang tengah ditanganinya.27
Perilaku menyimpang yang demikian itu secara tidak langsung menggambarkan bahwa administrasi
peradilan pidana serta perilaku para penyelenggaranya belum menunjukkan hasil yang maksimal yang
27 Sekurang-kurangnya ada empat hal menurut Suttherland yang mempengaruhi mengapa oknum penegak
hukum seperti polisi berperilaku menyimpang, yakni: (1) adanya tekanan mental yang tidak seimbang pada
dirinya; (2) kurangnya perasaan bersalah; (3) keberanian mengambil resiko; dan (4) sulitnya untuk
mendapatkan keteladanan dari lingkungannya (kf. Anton Tabah, Menatap dengan Mata Hati Polisi
Indonesia; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991, halaman 151-153).
xxiii
diharapkan. Bahkan, sebaliknya penyelenggaraan peradilan pidana secara potensila menampakkan aspekaspek
yang bersifat kriminogen. Steven Box dalam tulisannya yang berjudul Power, Crime and Mystication
mengidentifikasi bermacam-macam bentuk kebrutalan (kejahatan) polisi dalam proses penyelesaian perkara
pidana antara lain: (1) membunuh atau menyiksa tersangka; (2) mengancam, menahan, mengintimidasi dan
membuat “catatan hitam” bagi orang-orang yang tidak bersalah, dan (3) melakukan korupsi, antara lain
dengan cara menrima suap supaya tidak melakukan atau menjalankan hukum, dan memalsukan data atau
fakta atau keterangan dan menghentikan pengusutan perkara pidana baik secara langsung atau tidak
langsung guna mendapatkan sesuatu keuntungan.28
Senada dengan Steven Box, dalam buku pedoman pelatihan untuk anggota Polri disebutkan pula,
bahwa tindakan menutup-nutupi kejahatan dan melakukan korupsi dan menerima suap, tidak saja
merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius, tetapi juga berarti melakukan tindakan
melanggar hukum. Dengan demikian, ketika warga masyarakat mengetahui tindakan polisi yang melanggar
hukum tersebut akan melihat polisi sebagai pelanggar hukum dan bukan sebagai penegak hukum.29
Perilaku polisi yang mengarah kepada perbuatan jahat dalam menjalankan tugasnya itu setidaktidaknya
merupakan tindakan pengebrian etika jabatan. Menurut Abdul Wahid, tindakan yang demikian itu
sebagai akibat dari kondisi psikologis atau kepribadian yang sedang dikolonisasi oleh ideologi Machiavelis
yang dipopulerkan melalui prinsip “serba menghalalkan segala cara”. Prinsip ini mengandung pengertian
bahwa kebenaran yang berada di depan mata dan sebagai manifestasi kewajiban untuk ditegakkan,
direkayasa dan dianggap sebagai penghalang cita-cita. Sementara itu, kenaifan, kebejatan dan kejahatan
dianggap sebagai terobosan logis untuk memperkaya diri, membangun kejayaan atau menarik kedudukan
yang terhormat di mata publik.30
Orientasi penegakan hukum yang demikian itu, menurut Satjipto Rahardjo, dapat saja didorong masuk
jalur lambat, dan dalam keadaan yang serba lambat seperti itu memberikan ruang yang luas untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok dan sekaligus menjadi lahan bisnis yang subur bagi
kalangan tertentu. Keadaan seperti itu tak mustahil memunculkan pertanyaan dari masyarakat, bahwa
28 Stevan Box., “Police Crime” dalam Power, Crime and Mystification. London & New York: Tavistok
Publications, 1983, halaman 81-82.
29 Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Pelatihan untuk
Anggota Polri, Jakarta: 2006, halaman 71.
30 Abdul Wahid. Modus-Modus kejahatan Modern. Bandung: PT. Tarsito, 1993, halaman 34.
xxiv
apakah hukum kita ini memang diarahkan untuk menghasilkan keadilan ataukah sedang bekerja untuk
menutup-nutupi sesuatu (cover-up)?.31
Gambaran yang dikemukakan di atas bukan mau menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan yang
dijalankan oleh polisi adalah buruk, melainkan hanyalah sekedar mengingatkan bahwa praktik- praktik
“kotor” seperti itu selalu saja ada dalam lingkaran pekerjaan polisi. Oleh sebab itu, adalah suatu
kebohongan belaka bila Polri kemudian menilai dirinya sebagai institusi yang tak bercacat dan selalu
berhasil dalam segala gerak langkahnya. Begitu pula adalah tidak terlalu benar apabila kita menilai bahwa
tidak ada yang bisa diharapkan dan diandalkan oleh Polri, karena seakan-akan Polri selama ini hanya
berdiam diri saja.32
4. Transparansi dan Akuntabilitas Polri dalam Penegakan Hukum
Citra Polri di mata masyarakat juga dapat diperbaiki dengan melaksanakan praktik penegakan hukum
secara transparan dan akuntabilitas. Di dalam Rencana Strategis Polri (Renstra Polri) 2005-2009 secara
tegas dinyatakan, bahwa strategi yang dipandang tepat untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat
terhadap Polri adalah dengan mengupayakan trans-paransi dan akuntabilitas dalam melakukan penegakan
hukum. Transparansi penegakan hukum tersebut berorientasi pada masalah keterbukaan (openness),
kepercayaan (trust), menghargai keragaman dan perbedaan (diversity), serta tidak diskri-minatif.
Sedangkan, masalah akuntabilitas (accountable) Polri dalam melakukan penegakan hukum berorientasi
pada sistem yang dapat ditelusuri jalurnya secara logis (traceable), dan dapat diaudit dan diperbaiki
(auditable) mulai dari tingkat individu sampai institusi Polri.33
Berbagai upaya yang telah diprogramkan guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas Polri
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, antara lain: (1) menggalang komitmen Polri di semua
tingkatan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya secara transparan, akuntabel dan profesional.
Penegasan komitmen tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk kontrak sosial (social contract)
31 Satjipto Rahardjo dalam Karolus Medan dan Frans J. Rengka (Ed), Sisi-sisi Lain dari Hukum di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, halaman 173-177 & 168-172.
32 Pandangan yang demikian sebagaimana diungkapkan pula oleh AKBP. Drs. A. Kamil Razak, M.H.,
dalam artikelnya berjudul “Profesionalisme, Perwujudan Paradigma Baru Polri”, Harian Pikiran Rakyat, 3
Juli 2006.
33 Keputusan Kapolri No. Pol.: KEP/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana Strategis
Polri 2005-2009 (Renstra Polri), halaman 11.
xxv
antara Polri dengan publik; (2) membuat laporan kinerja (“rapor”) yang disampaikan secara rutin kepada
lembaga publik (DPRD); (3) membuat open house secara rutin agar warga masyarakat dapat memberikan
masukan demi perbaikan kinerja dan cara kerja Polri; (4) memenuhi laporan kekayaan pejabat Polri ke
KPKN; (5) membuat sistem pengaduan (complaint management) yang baik dapat diakses, menciptakan
sistem komunikasi secara efektif dengan warga, membuat komisi kepolisian di tingkat daerah dan lain
sebagainya.34
Persoalan krusial yang cenderung memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak
hukum pada umumnya (termasuk Polri) adalah adanya kesan seolah-olah Polri bertindak diskriminatif
dalam melakukan penegakan hukum. Salah satu indikator yang sering dipakai oleh warga masyarakat untuk
menilai tindakan diskriminatif aparat penegak hukum adalah tentang perlakuan terhadap warga masyarakat
biasa dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan (power) yang diduga melakukan tindak kriminal.
Warga masyarakat sering mempertanyakan, mengapa orang-orang yang memiliki power yang besar itu
begitu sulit dijamah oleh hukum, sementara orang-orang kecil yang melakukan tindak kejahatan akan
dengan mudah digelandang ke hadapan penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya?
Selain itu, adanya kewenangan yang demikian besar bagi Polri untuk melakukan diskresi juga dapat
menjadi bumerang bagi Polri untuk tidak dipercaya oleh masyarakat. Situasi ketidakpercayaan itu bisa
muncul andaikata tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pihak Polri itu sendiri.35 Apalagi kalau
kewenangan tersebut justru dimanfaatkan untuk menutup-nutupi kasus-kasus kriminal pelanggaran lalu
lintas tertentu demi melindungi orang atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, masyarakat juga berhak tahu
mengapa dalam kasus kriminal atau pelanggaran tersebut dilakukan diskresi dan kalau perlu masyarakat
juga diberikan kesempatan untuk menelusuri kebenaran dari diskresi tersebut.
Tidak bisa diingkari bahwa penggunaan kekuasaan secara diskresi seperti itu memiliki kecenderungan
yang sangat kuat dan peka dari penilaian-penilaian dan prasangka-prasangka yang negatif terhadap
kepolisian. Oleh karena diskresi yang dilakukan oleh Polri itu lebih mengandalkan pertimbangan dan
34 Surat Keputusan Kapolri No. Pol: SKEP/360/VI/2005 tanggal 10 Juni 2005 tentang Grand Strategis
Polri Menuju 2005-2025.
35 Koesparmono Irsan menilai, diskresi untuk memberikan kewenangan polisi dalam mengambil keputusan
di lapangan itu cenderung membuka peluang bagi terjadinya korupsi berupa negosiasi atau tawar-menawar
dengan pelanggar hukum atau pelaku kejahatan untuk memberi imbalan kepada oknum petugas (N.N.,
“Republik ini Butuh Kepastian Hukum”, Op Cit., 2004).
xxvi
keputusan pribadi, maka tak mustahil akan muncul pertanyaan tentang apakah diskresi yang diambil itu
tergolong “sah” atau “legitimate”, ataukah tergolong diskresi yang “tidak adil” dan “diskriminatif”.36
Sekalipun ada nada-nada sumbang yang meragukan praktik-praktik diskresi yang dilakukan oleh Polri,
namun Satjipto Rahardjo mengingatkan, bahwa oleh karena hukum itu dirumuskan secara umum dan
abstrak sementara pemolisian bukanlah pekerjaan yang abstrak, sehingga wajar bila Polri kemudian diberi
kewenangan untuk membuat penafsiran dan pilihan-pilihan hukum in optima forma. Salah satu institusi
untuk mewadahi perilaku memilih tersebut adalah kekuasaan untuk melakukan diskresi (discrecionary
power).37 Namun, langkah yang ditempuh oleh Polri tersebut harus ditunjang oleh adanya transparansi dan
akuntabilitas agar tidak menyimpang menjadi sesuatu yang “tidak adil” atau diskriminatif.
E. METODE PENELITIAN
Riset ini tergolong dalam ranah “socio-legal”, yang melihat hukum sebagai sebuah tatanan normatif
yang dioperasionalisasikan dalam kehidupan social tertentu. Tatanan normatif yang dimaksudkan di sini
adalah yang mengatur tugas dan wewenang Polri dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu
lintas. Tugas dan wewenang Polri (Polantas) yang terumus secara yuridis-formal itu kemudian coba diamati
dalam kehidupan sosial tertentu, terutama dalam menanggulangi pelanggaran lalu lintas.
Studi ini didisain dalam beberapa tahapan, yakni: (1) Metode Pendekatan, (2) Spesifikasi Penelitian,
(3) Jenis Data, (4) Metode Pengumpulan Data,38 dan (5) Metode Analisa Data. Untuk kepentingan riset ini,
berikut ini akan dijelaskan secara garis besar fase-fase riset tersebut.
1. Metode Pendekatan
Oleh karena fokus dan tujuan dari riset ini lebih berorientasi kepada upaya untuk memahami dan
menjelaskan efektivitas tugas dan wewenang yang dimainkan oleh Polri dalam menanggulangi pelanggaran
36 Erlyn Indarti, Ibid, 2000, halaman 61.
37 Satjipto Rahardjo, “Pertanggungjawaban Polisi Berkaitan dengan Tugasnya: Penjelajahan terhadap Peta
Permasalahan”, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia II, diselenggarakan oleh Pusat Studi
Kepolisian Fakultas Hukum Undip, 15 Juli 1995, halaman 9-10.
38 Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, “Introduction Entering the Field of Qualitative Research”,
dalam Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, Handbookof Qualitative Research. London: SAGE
Publications, 1994, halaman 12-15.
xxvii
lalu lintas, maka “tradisi riset kualitatif”39 yang akan menjadi landasan studi ini. Untuk memahami dan
menjelaskan tentang implementasi tugas dan wewenang Polri yang diformatkan dalam ranah studi “sociolegal”
secara lebih baik, maka peneliti harus memiliki pemahaman yang relatif memadai tentang tatanan
norma yang melandasi peran lembaga kepolisian tersebut. Bertolak dari landasan yuridis itu lalu peneliti
mencoba mengamati, memahami dan kemudian menjelaskan perilaku hukum yang ditampilkan oleh Polri
dalam menanggulangi pelanggaran lalu lintas.
2. Spesifikasi Penelitian
Untuk dapat memahami dan menjelaskan peran nyata yang dilaksanakan oleh Polri dalam
menanggulangi pelanggaran lalu lintas, maka strategi atau pendekatan yang dipakai adalah “pendekatan
tekstual” dan “pendekatan kasus” (case study). Pendekatan tekstual diperlukan untuk memahami maknamakna
atau nilai-nilai yang tersurat maupun tersirat dalam teks-teks peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang tugas dan wewenang Polri. Sedangkan, pendekatan kasus diperlukan untuk memahami
bagaimana tugas dan wewenang Polri itu diimplementasikan dalam penanggulangan kasus-kasus nyata
pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan. Untuk dapat melakukan studi kasus tersebut, maka tempat yang
akan dipilih adalah wilayah hukum Polres Batang Polda Jawa Tengah.
3. Jenis Data
Sumber utama yang memiliki data yang diperlukan dalam riset ini adalah “teks-teks normatif” yang
mengatur tentang tugas dan wewenang Polri, dan para pemegang peran (dalam hal ini aparat kepolisian)
yang menangani pelanggaran lalu lintas. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) metode
dokumentasi untuk mendapatkan teks-teks normatif yang mengatur tentang tugas dan wewenang Polri; (2)
metode wawancara secara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara yang memuat aspekaspek
penelitian secara rinci, dan (3) metode observasi merupakan metode tambahan untuk mendapatkan
data penunjang guna melengkapi data primer yang diperoleh melalui metode dokumentasi dan wawancara
secara mendalam.40
4. Metode Pengumpulan Data
39 Julia Brannen, Memadukan Metode Penelitian Kualitatif dengan Kuantitatif. Yogyakarta: diterbitkan atas
kerja sama Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda dengan Penerbit Pustaka Pelajar, 1997, halaman
11-12.
40 Norman K. Denzin dan Y.S. Lincoln. Op Cit, halaman 361-402
xxviii
Data yang telah dikumpulkan itu kemudian dianalisis dan diinterpretasi dengan mengartikulasikan dan
memproyeksikan pemahaman terhadap isi dari teks-teks normatif dengan tindakan atau perilaku aparat
kepolisian dalam penanggulangan pelanggaran lalu lintas di Polres Batang. Langkah-langkah yang
demikian itu akan membantu peneliti untuk menjernihkan pemahaman terhadap obyek yang dikaji.
Komponen-komponen riset yang perlu diinterpretasikan antara lain isi teks-teks normatif dan tindakan
atau perilaku nyata aparat Polri dalam penanggulangan pelanggaran lalu lintas di Polres Batang.
Interpretasi yang dilakukan itu tentunya akan diarahkan atau diorientasikan pada standart-standart penilaian
tertentu, yakni demokratisasi, keadilan dan kebenaran serta perlindungan hak asasi manusia.
5. Metode Analisa Data
Dalam Bab I sebagaimana telah diuraikan, meliputi ; Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Kerangka Pemikiran dan Metode Penelitian.
Bab II Tujuan Pustaka meliputi Gambaran Umum mengenai Citra Polri, Kebijakan Penanggulangan
Tindak Pidana, Tindak Pidana / Pelanggaran Lalu-Lintas.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan meliputi ; Respon Masyarakat Terhadap Tindakan –
Tindakan Polisi dalam menanggulangi Tindak Pidana dan Pelanggaran Lalu Lintas, Faktor – Faktor yang
Mempengaruhi Citra Polisi dalam Penaggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Lalu –Lintas, Strategi yang
Perlu Diambil Kepolisian untuk Membangun Citranya dalam Menanggulangi tidak pidana pelanggaran lalu
lintas.
Bab IV Penutup meliputi ; Kesimpulan, Saran dan Daftar Pustaka.
xxix
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Uraian dalam BAB II ini meliputi : Gambaran umum mengenai citra Polri, kebijakan penanggulangan
tindak pidana dan tindak pidana atau pelanggaran lalu lintas.
A. Gambaran Umum mengenai Citra Polri
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi makna kata “citra” sebagai, “gambaran yang dimiliki orang
banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk”. dikaitkan dengan “politik”, maka “citra
politik” diartikan sebagai gambaran diri yang ingin diciptakan oleh seorang tokoh masyarakat.41 Psikolog
Sarlito Wirawan Sarwono mengemukakan, bahwa dalam teori psikologi; citra yang merupakan bagian dari
persepsi (hasil pengamatan), mengandung banyak unsur subjektif.42 Unsur subjektif merupakan unsur lain
di samping unsur sarana dan prasarana yang mempengaruhi kualitas citra Polri.
Gambaran diri seorang tokoh masyarakat sebagai essensi dari citra, dapat berwujud; kinerja,
keteladanan, kedisiplinan, kejujuran, ketegasan dan bahkan tersangkut kualitas ketaqwaannya. Essensi
inilah yang menjadi pijakan membangun Citra Polri dari kondisinya saat ini.
Tugas Polri menyatu dengan masyarakat. Adalah hal yang wajar bila kinerja Polri dievaluasi oleh
masyarakat. Secara ilmu pengetahuan, menilai sesuatu memiliki ukuran penilaian atau standar penilaian.
Ukuran penilaian inilah yang belum tentu dimiliki oleh masyarakat dalam kuantitas dan kualitas majemuk.
Padahal ketetapan evaluasi ini amat mempengaruhi kualitas Citra Polri. Oleh karena itu sikap keteladanan,
disiplin, jujur, tegas dilandasi kualitas ketaqwaan menjadi syarat utama bagi Polri dalam membangun
Citranya.
Keteladanan menurut Djunaidi Maskat H merupakan sikap utama yang perlu ditonjolkan untuk
melaksanakan tugas, mengembangkan individu dan membangun kelompok.43 Keteladanan Polri dalam
kinerjanya mencakup: keteladanan dalam melakasanakan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
keteladanan dalam memberikan semangat dalam melaksanakan sistem keamanan swakarsa, keteladanan
41 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988,
halaman 169.
42 Sarlito Wirawan Sarwono, Citra Polisi dalam Teori Psikologi Sosial dalam Merenungi Kritik Terhadap
Polri oleh Kunarto, Cipta Manunggal, Jakarta, 1995, halaman 288.
43 Djunaidi Maskat H, Kepemimpinan Efektif di lingkungan Polri pada tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres
dan Polsek, Sanyata Sumanasa Wira Sespin Polri, Bandung, 1993, halaman 251.
xxx
dalam memberikan dorongan kerja, keteladanan dalam kewaspadaan terhadap lingkungan, keteladanan
dalam “Ambeg Parama Arta”, keteladanan dalam kesetiaan pada negara, pimpinan dan tugas, keteladanan
dalam berhemat, keteladanan dalam keterus-terangan dan keteladanan dalam meregenerasi dan menyiapkan
anggota maju.44
Dalam upaya pengembangan individu Djunaidi Maskat H menempuh jalan : memberikan pemahaman
mengenai pentingnya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas, menjelaskan sasaran yang hendak
dicapai serta harapan atau peran serta Polri dalam mensukseskan sasaran yang hendak dicapai,
memahamkan arti penting nilai keadilan, melaksanakan pengawasan, berperan serta dalam memecahkan
masalah.45
Dalam membangun kelompok hal-hal yang dikemukakan Djunaidi Maskat H mencakup : peran serta
Polri mengatasi perpecahan kelompok, perhatian pada kesejahteraan anggota, perhatian pada kelakuan
anggota, memperhatikan sarana membangun.46
Akhirnya Djunaidi Maskat H mengemukakan secara garis besar pelaksanaan tugas mencakup :
bertanggung jawab pada pelaksanaan tugasnya, menetapkan sasaran secara jelas, memastikan tugas yang
diberikan dan akhirnya mengevaluasi hasil kinerja Polri.47
Pelaksanaan tugas atau kinerja Polri dinilai oleh masyarakat sebagai komponen pengamat tertuju pada
wajah polisi di jalan. Meskipun penilaian ini tolok ukurnya amat bersifat subjektif, tetapi mengabaikan
penilaian masyarakat seperti itu, juga kurang bijaksana sebab bagaimanapun kinerja polisi di jalan-jalan
adalah semacam etalase Polri yang ada akhirnya membangun yang disebut “Citra Polri” itu.48 Penilaian
seperti di atas memberikan makna yang sebenarnya tentang apa yang secara faktual telah dilakukan Polisi,
tidak sekedar mengerti landasan normatif tugas mereka. Dengan demikian kualitas citra Polri amat
ditentukan oleh evaluasi masyarakat terhadap kinerja Polri di lapangan. Kualitas citra Polri sebagaimana
diuraikan di atas sangat dipengaruhi terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam melaksanakan tugas
dan wewenang sehari-hari. Sebuah analisis dari seorang pakar kriminologi Amerika Serikat, Sutherland,
dalam bukunya berjudul “Criminal Homicide, A Study of Culture and Conflict” yang diterbitkan
44 Ibid, disari dari halaman 252-254.
45 Ibid, disarikan dari halaman 254-255.
46 Ibid, disarikan dari halaman 256-257.
47 Ibid, disarikan dari halaman 257-258.
48 Satjipto Rahardjo, Pemberdayaan Polisi dalam Suara Pembaruan 1 Juli 1995 Halaman IX Kolom 1 dalam
Merenungi Kritik Terhadap Polri Buku 2 oleh Kunarto, Cipto Manunggal, Jakarta, 1995, halaman 45.
xxxi
tahun1960 di California, membahas berbagai kasus perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penegak
hukum, terutama polisi. Menurut Suttherland, tugas dan pekerjaan polisi sehari-hari terlampau sering
bergaul dengan dunia kejahatan dan pejahat, sehingga secara tidak disadari polisi menjadi sangat akrab dan
tak asing lagi dengan kejahatan. Dampak negatif yang sering tak mengerti adalah polisi telah berada dalam
lintasan kritis, seakan-akan ia tengah berdiri pada sebuah perbatasan yang sangat rawan antara tugasnya
sebagai penegak hukum dan terhadap kejahatan yang tengah ditanganinya.49
Perilaku menyimpang yang demikian itu secara tidak langsung menggambarkan bahwa administrasi
peradilan pidana serta perilaku para penyelenggaranya belum menunjukkan hasil yang maksimal yang
diharapkan. Bahkan, sebaliknya penyelenggaraan peradilan pidana secara potensila menampakkan aspekaspek
yang bersifat kriminogen. Steven Box dalam tulisannya yang berjudul Power, Crime and Mystication
mengidentifikasi bermacam-macam bentuk kebrutalan (kejahatan) polisi dalam proses penyelesaian perkara
pidana antara lain: (1) membunuh atau menyiksa tersangka; (2) mengancam, menahan, mengintimidasi dan
membuat “catatan hitam” bagi orang-orang yang tidak bersalah, dan (3) melakukan korupsi, antara lain
dengan cara menrima suap supaya tidak melakukan atau menjalankan hukum, dan memalsukan data atau
fakta atau keterangan dan menghentikan pengusutan perkara pidana baik secara langsung atau tidak
langsung guna mendapatkan sesuatu keuntungan.50
Senada dengan Steven Box, dalam buku pedoman pelatihan untuk anggota Polri disebutkan pula,
bahwa tindakan menutup-nutupi kejahatan dan melakukan korupsi dan menerima suap, tidak saja
merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius, tetapi juga berarti melakukan tindakan
melanggar hukum. Dengan demikian, ketika warga masyarakat mengetahui tindakan polisi yang melanggar
hukum tersebut akan melihat polisi sebagai pelanggar hukum dan bukan sebagai penegak hukum.51
Perilaku polisi yang mengarah kepada perbuatan jahat dalam menjalankan tugasnya itu setidaktidaknya
merupakan tindakan pengebrian etika jabatan. Menurut Abdul Wahid, tindakan yang demikian itu
49 Sekurang-kurangnya ada empat hal menurut Suttherland yang mempengaruhi mengapa oknum penegak
hukum seperti polisi berperilaku menyimpang, yakni: (1) adanya tekanan mental yang tidak seimbang pada
dirinya; (2) kurangnya perasaan bersalah; (3) keberanian mengambil resiko; dan (4) sulitnya untuk
mendapatkan keteladanan dari lingkungannya (kf. Anton Tabah, Menatap dengan Mata Hati Polisi
Indonesia; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991, halaman 151-153).
50 Stevan Box., “Police Crime” dalam Power, Crime and Mystification. London & New York: Tavistok
Publications, 1983, halaman 81-82.
51 Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Pelatihan untuk
Anggota Polri, Jakarta: 2006, halaman 71.
xxxii
sebagai akibat dari kondisi psikologis atau kepribadian yang sedang dikolonisasi oleh ideologi Machiavelis
yang dipopulerkan melalui prinsip “serba menghalalkan segala cara”. Prinsip ini mengandung pengertian
bahwa kebenaran yang berada di depan mata dan sebagai manifestasi kewajiban untuk ditegakkan,
direkayasa dan dianggap sebagai penghalang cita-cita. Sementara itu, kenaifan, kebejatan dan kejahatan
dianggap sebagai terobosan logis untuk memperkaya diri, membangun kejayaan atau menarik kedudukan
yang terhormat di mata publik.52
Orientasi penegakan hukum yang demikian itu, menurut Satjipto Rahardjo, dapat saja didorong masuk
jalur lambat, dan dalam keadaan yang serba lambat seperti itu memberikan ruang yang luas untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok dan sekaligus menjadi lahan bisnis yang subur bagi
kalangan tertentu. Keadaan seperti itu tak mustahil memunculkan pertanyaan dari masyarakat, bahwa
apakah hukum kita ini memang diarahkan untuk menghasilkan keadilan ataukah sedang bekerja untuk
menutup-nutupi sesuatu (cover-up)?.53
Gambaran yang dikemukakan di atas bukan mau menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan yang
dijalankan oleh polisi adalah buruk, melainkan hanyalah sekedar mengingatkan bahwa praktik- praktik
“kotor” seperti itu selalu saja ada dalam lingkaran pekerjaan polisi. Oleh sebab itu, adalah suatu
kebohongan belaka bila Polri kemudian menilai dirinya sebagai institusi yang tak bercacat dan selalu
berhasil dalam segala gerak langkahnya. Begitu pula adalah tidak terlalu benar apabila kita menilai bahwa
tidak ada yang bisa diharapkan dan diandalkan oleh Polri, karena seakan-akan Polri selama ini hanya
berdiam diri saja.54 Jend. Pol. (Purn) Kunarto mengingatkan pula, bahwa tindakan, perbuatan, karya, hasil
kerja polisi yang baik itu masih sangat besar ketimbang yang bernilai negatif. Bukti dari pernyataan itu
adalah bahwa pembangunan yang berhasil dijalankan dewasa ini mustahil dapat dicapai tanpa kondisi
aman, dan yang menjadi pilar utama dari kondisi aman tersebut adalah Polri.55
52 Abdul Wahid. Modus-Modus kejahatan Modern. Bandung: PT. Tarsito, 1993, halaman 34.
53 Satjipto Rahardjo dalam Karolus Medan dan Frans J. Rengka (Ed), Sisi-sisi Lain dari Hukum di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, halaman 173-177 & 168-172.
54 Pandangan yang demikian sebagaimana diungkapkan pula oleh AKBP. Drs. A. Kamil Razak, M.H.,
dalam artikelnya berjudul “Profesionalisme, Perwujudan Paradigma Baru Polri”, Harian Pikiran Rakyat, 3
Juli 2006.
55 Jend. Pol. (Purn) Kunarto, “Peran Serta Masyarakat dalam Menjaga Agar Tugas dan Tanggung Jawab
Polisi Tidak Menjurus Kepada Tindakan Negatip”, Makalah Seminar Nasional Polisi II tentang
Pertanggungjawaban Polisi, Diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum Undip di
Semarang pada 15 Juli 1996, halaman 7
xxxiii
B. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Kebijakan” dari akar kata “bijak” sebagai “rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak (tata pemerintahan, organisasi dan sebagainya)”. Kebijakan juga berarti;
“pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
mencapai sasaran”.56
Sebagai suatu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan
tindakan maka kebijakan merupakan suatu sistem. Sebagai sistem, kebijakan penanggulangan tindak pidana
merupakan sub sistemdari sistem Kebijakan Sosial (Social Policy). Kebijakan sosial dengan demikian dapat
diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas dalam pelaksanaan suatu rencana bertindak pemerintah untuk
mencapai suatu tujuan. Kebijakan sosial dalam berfungsinya mempunyai tujuan besar yakni “kesejahteraan
masyarakat” (social welfare) dan “perlindungan masyarakat” (social defence).
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat diberi arti lain dengan “Kebijakan penanggulangan
kejahatan (criminal policy). Dalam kerangka sistem policy, sub sistem criminal policy secara operasional
berupaya mewujudkan tujuan utama; social welfare dan social defence. Sebagai sarana penanggulangan
kejahatan, criminal policy dapat ditempuh melalui sarana penal (penal policy) dan sarana non penal (non
penal policy).
Barda Nawawi Arief dalam kajian social policy dan criminal policy ini memberikan bagan sistematis
mengenai kebijakan tersebut.57
56 Kamus Besar Bahasa Indonesia, opcit, halaman 115
57 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, halaman 78.
xxxiv
Tujuan social werfare (SW) dan social defence (SD) oleh Barda Nawawi Arief merupakan aspek
IMMATERIIL terutama nilai kepercayaan, kebenaran atau kejujuran atau keadilan.
Dalam pelaksanaan tugas Polri dalam masyarakat terutama sebagai penegak hukum yang berupaya
menanggulangi tindak pidana, maka skema yang dikemukakan Barda Nawawi Arief di atas dapat dipakai
sebagai acuan tugas, bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dalam pelaksanaannya perlu ditempuh
melalui kebijakan integral (integrated appoarch) dengan memadukan antara social policy dengan criminal
policy dan memadukan antara penal policy dan non penal policy.
Dalam menguraikan berbagai segi negatif dari perkembangan masyarakat, Sudarto menegaskan bahwa
upaya “minta bantuan” kepada hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana hendaknya
atau harus dipertimbangkan paling akhir. Hukum pidana mempunyai fungsi subsidier artinya baru
xxxv
digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang
sesuai. Akan tetapi kalau toh hukum pidana akan dilibatkan, maka hendaknya dilihat dalam hubungan
keseluruhan politik kriminal terutama pada tujuan “perlindungan masyarakat” (sebagai planning for social
defence). Renvcana perlindungan masyarakat ini harus merupakan bagian integral dari planning for
national development (rencana pembangunan basional).58
Sehubungan dengan integrasi antara rencana perlindungan masyarakat dengan rencana pembangunan
nasional, berikut ini disampaikan berbagai ketetapan internasional yang menunjang integrasi tersebut;
Kongres PBB ke-4 tentang “Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” tahun 1970
membicarakan masalah pokok “Crime and Development” juga pernah menegaskan :59
“any dictionary between a country’s policies for social defence and its planning for national
development was unreal by definitions”.
Penegasan Kongres di atas memberikan makna pentingnya integrasi antara kebijakan perlindungan
masyarakat dengan rencana pembangunan nasional, bahkan Kongres menegaskan hal tersebut jangan
didekotomikan.
Kongres PBB ke-5 tahun 1975 juga menegaskan60: “The many aspects of criminal policy should be
coordinated and the whole should be integrated into the general social policy of each country”.
Makna yang dapat diambil dari penegasan Kongres di atas adalah; banyak aspek dari kebijakan
kriminal yang harus dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam kebijakan social setiap Negara.
Penegasan Kongres di atas membuktikan perlunya integrasi antara kebijakan social (social policy) dengan
kebijakan kriminal (criminal policy).
Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa bertolak dari konsepsi kebijakan, integral sebagaimana
penegasan Kongres PBB di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan (tindak pidana = penulis) tidak
banyak artinya apabila kebijakan sosial kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktorfaktor
kriminogen dan victimogen.61
58 Sudarto, direformulasi oleh penyusun dari buku Hukum Pidana dan perkembangan masyarakat, Sinar
Baru, Bandung, 1983, halaman 34.
59 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,
halaman 5.
60 Ibid
61 Ibid, halaman 7.
xxxvi
Akhirnya Sudarto menegaskan bahwa dilibatkan hanya hukum pidana dalam social defence planning,
harus diingat atau harus diakui bahwa penggunaan hukum pidana ini merupakan penanggulangan sesuatu
gejala (“KURIEREN AM SYMPTOM”) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebabsebabnya.
62
Dilibatkannya hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana sebagaimana diuraikan di
atas, terutama ke masalah kemampuan hukum pidana sendiri, bahwa dia menduduki posisi subsidier,
kemampuannya hanya pada penanggulangan atas gejala, bukan menanggulangi penyebab, membuktikan
sifat terbatasnya kemampuan hukum pidana tersebut.Terlebih lagi jika dihubungkan dengan masalah biaya
yang harus dikeluarkan negara jika hukum pidana dilibatkan tentu teramat besar.
Sudarto mengingatkan, bahwa upaya melakukan kriminalisasi mencakup syarat; tujuan hukum pidana,
penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki, perbandingan antara sarana dan hasil dan kemampuan aparat
penegak hukum.63
Dalam kaitannya kinerja Polri, maka syarat “kemampuan aparat penegak hukum” layak menjadi
perhatian dalam pelaksanaan tugasnya. Makna kemampuan tidak sekedar diberi makna kuantitas atau
jumlah personil Polri, yang lebih utama justru pada kualitas personil Polri tersebut. Kualitas personil Polri
mencakup, tingkat intektualitasnya, moralnya, kinerjanya, kedisiplinannya, ketegasannya, keteladanannya
dan ketaqwaannya. Semua persyaratan itu amat berpengaruh pada citra Polri.
Dalam upaya kebijakan, penanggulangan tindak pidana (criminal policy), G. Peter Hoefnogels
menggambarkan ruang lingkupnya sebagaimana direferensikan oleh Barda Nawawi Arief dan dianalisa
oleh penulis sebagai berikut.64
G. Peter Hoefnagels menggambarkan, bahwa kebijakan criminal (criminal policy) mencakup; pertama,
mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pidana lewat media massa; kedua,
penerapan hukum pidana (kriminologi praktis) dan ketiga, pencegahan tanpa pidana yang meliputi: politik
social, rencana kesehatan mental masyarakat, dan lainnya.
Gambaran Hoefnagels mengenai “pencegahan tanpa pidana, menunjukkan sifat non penalnya dari
fungsionalisasi criminal policy yang berarti lebih menitik beratkan pada sifat preventif, sementara
62 Sudarto, opcit, halaman 35.
63 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, halaman 37.
64 Sudarto, opcit, halaman 41.
xxxvii
penggunaan sarana penal lebih bersifat represif”. Sudarto memberikan pemahaman, bahwa tindakan
represif, pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.65
Kebijakan penanggulangan tindak pidana melalui jalur non penal ini oleh Barda Nawawi Arief
dikatakan, bahwa jalur ini lebih bersifat pencegahan terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah
menangani faktor-faktor kondusif untuk penyebab terjadinya kejahatan.66 Dalam bidang lalu lintas, yang
pada esensinya adalah dinamika menggunakan sarana jalan raya, maka kemungkinan timbulnya
pelanggaran lalu lintas menjadi perhatian utama Polri. Perhatian utama oleh Polri terhadap tindak
pelanggaran lalu lintas merupakan keniscayaan, sebab tindak pelanggaran lalu lintas tersebut dapat menjadi
penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sebagaimana Barda Nawawi Arief katakana, bahwa faktorfaktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisikondisi
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
kejahatan.67 Masalah atau kondisi sosial tersebut kalau dikaitkan dengan bidang lalu lintas dapat berupa;
kualitas pemakai jalan dalam mengemudikan kendaraannya, kondisi prasarana (jalan), kondisi
kendaraannya dan perbedaan volume pemakai jalan dengan prasarana (jalan) yang tersedia dan yang tidak
kalah pentingnya adalah profesionalisme Polri dalam upaya penegakan hukum.
Profesionalisme Polisi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya merupakan dambaan semua
bangsa di dunia, termasuk Indonesia, karena peran yang dimainkannya sangat komprehensif mencakup
perannya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom dan pelayan masyarakat, dan
sebagai penegak hukum.68 Sebagai seorang profesional, Polri dipersyaratkan harus mempunyai keahlian
khusus yang diperoleh melalui “penngalaman latihan” sejalan dengan kompetensi intelektualnya.
Persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa seorang polisi profesional harus memiliki
kesadaran untuk mengabdikan segala kemampuan tersebut untuk pelayanan masyarakat.
Karakteristik yang menjadi ukuran profesionalisme sesungguhnya sangat banyak (puluhan), namun
menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.) sebagaimana dikutip oleh Muladi, terdapat beberapa karakteristik
dasar seperti: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) required educational and training; (3) testing of
65 Diambil dalam Barda Nawawi Arief, opcit, halaman 42.
66 Ibid
67 Ibid
68 Selain polisi, yang tercakup pula sebagai seorang profesional adalah dokter, notaries, wartawan, dosen,
insinyur, pengacara, psikolog dan lain sebagainya. Dari sekian profesi tersebut, ada yang memiliki klien
secara personal, tetapi ada pula yang tidak memiliki klien secara pribadi dan ditugasi di suatu korporasi.
xxxviii
competence (via exam, etc); (4) organization (into a professional association); (5) adherence to a code of
enduct; and (6) altruistic service.69
Secara lebih spesifik menurut M. Karyadi (Komisaris Besar Polisi Purnawirawan), bahwa dalam
pengabdiannya kepada masyarakat yang bercita-citakan kehidupan yang tertib, aman sentausa dan sejahtera
sesuai dengan amanat para leluhur untuk menciptakan masyarakat yang “tata-tentrem-kertaraharja”,
maka lahirlah dalam jiwa Polri yang insyaf akan pedoman hidup yang tertuang dalam “TRIBRATA”, yaitu
Satu Berbakti Kepada Nusa Dan Bangsa Dengan Penuh Ketakwaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
Dua Menjunjung Tinggi Kebenaran, Keadilan Dan Kemanusiaan Dalam Menegakkan Hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia Yang Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945; Tiga
Senantiasa Melindungi, Mengayomi Dan Melayani Masyarakat Dengan Keikhlasan Untuk Mewujudkan
Keamanan Dan Ketertiban. Ketiga asas tersebut dapat disimpulkan sebagai “bhakti-dharma-waspada”
diharapkan dapat diterapkan di dalam tugas profesional seorang anggota polisi.70
Menyadari akan prinsip-prinsip dasar profesionalisme polisi tersebut, maka Muladi berpendapat bahwa
kredo yang sebaiknya dikembangkan adalah “menjadikan polisi bukan sebagai pelanggar HAM, tetapi
berada di garis terdepan dalam memperjuangkan HAM”. Kredo ini merupakan kunci yang sangat
menentukan efektivitas lembaga kepolisian, yang dampak positifnya akan segera dapat diukur dan
dirasakan, seperti meningkatkan kepercayaan dan sikap kooperatif masyrakat, penyelesaian konflik secara
damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil dengan baik. Dengan demikian, citra positif dari
polisipun akan melekat di benak masyarakat, seperti polisi sebagai pengaman dan penertib yang bijaksana,
sebagai penegak hukum yang jujur dan adil, sebagai tokoh panutan dalan menghargai hukum, dan sebagai
aparat yang proaktif dalam menghadapi persoalan di masyarakat.71
69 Menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.) sebagaimana dikutip oleh Muladi, bahwa yang menjadi
karakteristik professional antara lain: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) required educational
and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization (into a professional association);
(5) adherence to a code of enduct; and (6) altruistic service (kf. Muladi, “Kejahatan Lingkungan
Profesional” dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Undip, 1995).
70 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1995, halaman 160-164.
71 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie
Center, 2002, halaman 276. Menurut Achmad Ali, citra polisi di mata masyarakat, sebenarnya juga tidak
terlepas dari persepsi keliru warga masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan polisi. Ketika polisi
melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya menghadapi penjahat misalnya, masyarakat dan pers
terlalu cepar mempersalahkan mereka, tanpa memahami bagaimana karakteristik pekerjaan polisi yang
xxxix
Menyadari akan prinsip-prinsip profesionalisme polisi sebagaimana diuraikan di atas, maka Polri
Polres Batang dalam menjalankan profesinya mau tidak mau harus mampu memadukan secara seimbang
dua doktrin polisi yang memiliki tekanan berbeda, yakni doktrin the strong hand of society (tangan yang
keras/kuat bagi masyarakat = pelayan yang keras bagi masyarakat) dan the soft hand of society (tangan
yang lembek/lembut = pelayan yang lembut bagi masyarakat). Doktrin the strong hand of society adalah
doktrin kekuasaan, yang menunjukkan polisi dalam jenjang vertical ketika berhadapan dengan rakyat,
karena ia diberi sejumlah kewenangan yang tidak diberikan kepada lembaga lain dalam masyarkat, seperti
menangkap, meggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan tempat, dan sebagainya.
Dalam konteks demikian itu, hubungan antara polisi dan rakyat bersifat “atas-bawah” atau hirarkhis, di
mana polisi ada pada kedudukan memaksa sedangkan rakyat wajib mematuhi”.72
Sementara doktrin the soft hand of society adalah “kemitraan” dan “kesejajaran”, di mana polisi dan
rakyat berada pada posisi yang sama dengan hubungan yang bersifat “horizontal”. Tugas yang diberikan
kepada polisi di sini adalah untuk mengayomi, melindungi, membimbing dan melayani rakyat. Contoh dari
tugas yang demikian itu antara lain: membantu menyelesaikan perselisihan antara warga masyarakat,
membina ketertiban, mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, memelihara
keamanan, ketertiban lalu lintas dan keselamatan jiwa raga, harta benda.
Dengan demikian, sesungguhnya peran yang dimainkan oleh kepolisian itu tidak hanya bersifat
represif. Dalam kenyataannya, secara prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika
dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan
pekerjaan yang bersifat pre-emptif.73 Perpaduan peran Polri yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara
kerja Polri bukan seperti “pemadam kebakaran” yang bekerja setelah kejadian, melainkan harus selalu
mendahului munculnya kejadian dengan mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emtif ketimbang
represif.
sebenarnya (Achmad Ali, “Polisi dan Efektivitas Hukum dalam Penanggulangan Kriminalitas” dalam
Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta: PT. Yasrif Watampone, 1998, halaman 221).
72 Satjipto Rahardjo, “Membangun Polisi Indonesia Baru: Polri dalam Era Pasca-ABRI”, Makalah Seminar
Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP
Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, halaman 5.
73 Satjipto Rahardjo, Ibid, 1998, halaman 5-6. Awaloedin Djamin dalam makalahnya berjudul “Beberapa
Masalah dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia” (1986) menggunaka istilah “pembinaan
masyarakat” (Bimnas) untuk menunjuk tugas-tugas kepolisian yang bersifat pre-emptif.
xl
Mengingat peran yang dimainkan oleh Polri secara komprehensif seperti itu (represif-preventif-preemtif),
maka model peradilan yang cocok dikembangkan oleh Polri (dan tentunya juga oleh perangkat
penegak hukum yang lain) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah Restorative Justice (peradilan
restoratife). Model peradilan yang demikian itu lebih mengutamakan upaya “pemulihan keadaan” sehingga
dapat meningkatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat pencari keadilan. Peran Polri dalam model
peradilan restoratif adalah sebagai “fasilitator” dan bukan semata sebagai “penghukum” (penegak hukum)
yang menjurus ke tindakan represif. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari proses peradilan
restoratif adalah menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak melalui upaya win-win
solution.74
Model peradilan restoratif yang semula dikembangkan pada masyarakat Jepang ini tampaknya cocok
untuk dikembangkan di Indonesia, karena dari kultur masyarakat Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi
oleh “budaya harmonisasi”. Budaya harmonisasi ini pulalah yang memiliki andil yang sangat besar dalam
penataan pola-pola penyelesaian kasus-kasus criminal (juga kasus-kasus sengketa yang lain) pada
masyarakat local di Indonesia. Masyarakat Batang Jawa Tengah, misalnya, berkembang sebuah tradisi
peradilan yang lebih populer disebut dengan “peradilan mela sareka” atau “peradilan tapan halo”
(peradilan rekonsiliatif), yakni peradilan yang lebih berupaya untuk membangun kembali relasi sosial para
pihak yang bertikai.75 Tradisi peradilan yang demikian itu pun identik dengan “peradilan padu” atau
“peradilan pepadun” yang berkembang cukup efektif pada jaman kerajaan maupun jaman pejajahan
Belanda.76
Selain strategi pemantapan cara pandang dan cara kerja Polri dalam melakukan penegakan hukum,
juga dikembangkan strategi pemantapan dan peningkatan kualitas sumber daya Polri melalui
penyelenggaraan pendidikan/pelatihan di lingkungan Polri yang terpogram secara baik. Program
pendidikan/pelatihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan wawasan dan pengembangan kemampuan
74 Kf. Naskah Akademik Grand Strategi Polri 2005-2025 point 1.2.2 tentang “Restorasi Sistem Keadilan:
Restorative Justice”. Uraian lebih lanjut mengenai Restorative Juctice yang semula digagas oleh John
Braitwite ini dapat dibaca dalam Paulus Hadisaputro, “Pemberian Malu Reintegratif sebagai Sarana
Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta)”.
Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum. Semarang: PDIH Undip, 2003, halaman 36-37 & 143-155.
75 Karolus Kopong Medan, “Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut
Tradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur”, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum,
Semarang: PDIH Undip, 2006.
76 Baca H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, Jakarta: CV. Miswar, 1989.
xli
umum/manajerial maupun spesialisasi bagi anggota Polri. Strategi yang demikian itu dapat dilakukan
melalui penyelenggaraan kerjasama pendidikan/pelatihan dalam dan luar negeri yang disesuaikan dengan
kebutuhan organisasi Polri, dan program berlatih sambil bekerja yang melekat pada setiap satuan
organisasi, maupun dengan memanfaatkan teknologi pendidikan.77
Sekalipun arah pengembangan SDM Polri yang demikian, tidak berarti bahwa Polri yang ideal tidak
hanya peduli pada persoalan kemampuan profesional teknis semata, tetapi juga menitikberatkan pada
rancang bangun komunikasi yang alamiah dengan masyarakat dalam upaya untuk menangani berbagai
kasus kriminal yang terjadi. Hanya dengan modal yang demikian itu, Polri dapat mengajak masyarakat
untuk peduli dan peka terhadap setiap bentuk perilaku menyimpang atau kejahatan yang terjadi dalam
lingkungannya. Pola pengembangan SDM Polri yang demikian itu akan mampu menopang model
perpolisian yang merupakan gabungan antara perpolisian reaktif (reactive police) dengan perpolisian yang
didasarkan pada kedekatan dengan masyarakat (community policing).78
Melengkapi upaya penanggulangan tindak pidana dengan sarana Non Penal, Kongres PBB ke 7 Tahun
1985 di Milan, Italia, dalam dokumen A/CONF.121/L/9 tentang “Crime Prevention in the Context of
Development” ditegaskan, bahwa upaya penghapusan sebab-akibat dan kondisi yang menimbulkan
kejahatan harus merupakan “strategi pencegahan kejahatan yang mendasar” (the basic crime prevention
strategies).
Dalam “Guiding Priciples” yang dihasilkan kongres ke 7 ditegaskan antara lain bahwa79
“Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan
sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana
kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom”.
(policies for crime preventions and criminal justice should take into account the structural causes,
including socio-economie causes of injustice, of which criminality is often but a symptom).
77 Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana Strategis
Polri 2005-2009 (Renstra Polri), halaman 26.
78 Kf. Suparmin, “Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di Kabupaten
Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung”, Tesis Program Magister Ilmu Hukum.
Semarang: Undip, 2000, halaman 138-139.
79 Ibid, halaman 44.
xlii
Dalam guiding principles di atas dampak keharusan penggunaan upaya non penal, seperti
mempertimbangkan faktor struktural dan faktor ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, dalam upaya
penanggulangan kejahatan/tindak pidana.
C. Tindak Pidana/Pelanggaran Lalu Lintas
Sudarto, dalam tulisan; “Perkembangan Masyarakat dan Pembentukan Hukum Pidana”, ditegaskan
bahwa pada rentetan jenis kejahatan (tindak pidana) yang berbarengan dengan berkembangnya masyarakat
(modern) itu dapat ditambahkan jenis tindak pidana yang tidak boleh dianggap enteng yang pada
hakikatnya sangat merugikan masyarakat, ialah pelanggaran lalu-lintas. Dalam tahun 1973 menurut
Komando Samapto Direktorat Lalu-Lintas Markas Besar Angkatan Kepolisian telah terjadi 32.214
kecelakaan yang menyebabkan 5123 orang meninggal dunia, 55.911 orang luka-luka, serta kerugian benda
lebih dari Rp. 2.000.000.000 (dua milyard rupiah).80
Data yang dikemukakan di atas menunjukkan adanya korelasi antara pelanggaran lalu-lintas dengan
kecelakaan lalu-lintas. Penyebabnya dapat diklasifikasi yaitu; faktor pengemudi/ketaatan mematuhi
peraturan lalu lintas, prasarana jalan dan juga faktor cuaca (misal jalan licin karena hujan).
Terhadap tindak pidana/pelanggarang lalu litas dilakukan upaya penanggulangan dilakukan baik secara
preventif melalui operasi rutin/razzia dan operasi khusus, maupun secara represif melalui sidang
pengadilan. Dari data pelaku pelanggaran dapat diklasifikasi dalam usia dan jenis pekerjaan. Berdasarkan
usia, maka usia antara 16 tahun hingga 30 tahun menempati urutan teratas dalam pelanggaran lalu lintas,
sementara dari jenis pekerjaan, swasta dan pelajar menempati urutan teratas dalam pelanggaran lalu lintas.
Keadaan di atas membuktikan kualitas kesadaran hukum masyarakat (pemakai jalan) belum memenuhi
himbauan disiplin nasional. Upaya Polri dalam penegakkan bidang lalu lintas juga dilakukan dengan
melakukan tindakan “menegur” pelaku atas “peringatan” oleh Polri di jalan.
MABES POLRI melalui Surat Keputusan Kapolri No. Pol. Skep/433/VII/2006 tanggal 1 Juli 2006
mengeluarkan “Panduan Pembentukan Dan Operasionalisasi Perpolisian Masyarakat (POLMAS) dalam
bab III tentang” Tugas dan Kemampuan Petugas Polmas huruf b. Uraian Tugas (1) Menyelenggarakan
80 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, opcit, halaman 95.
xliii
fungsi deteksi sebagaimana uraian sub lampiran 1 buku panduan ini, termasuk; (4) Peta lalu lintas, yaitu
peta yang melukiskan lokasi kecelakaan, kemacetan, pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas.
Dalam melaksanakan fungsi bimbingan dan penyuluhan masyarakat terutama yang berkaitan tindak
pidana/pelanggaran lalu lintas, Polri melakukan koordinasi dan arahan untuk pelaksanaan siskamling
termasuk pengamanan kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak dan pengaturan ketertiban lalu lintas.
Dalam pelaksanaan tugas kepolisian secara umum Polri melakukan patroli rutin pada seluruh wilayah
penugasan dan mengambil langkah-langkah pengaturan/pengamanan kegiatan publik termasuk menjamin
ketertiban lalu lintas.
xliv
BAB III
HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
A. Respon Masyarakat Terhadap Tindakan – Tindakan Polisi Dalam Menanggulangi Tindak
Pidana Pelanggaran Lalu Lintas.
Respon masyarakat terhadap tindakan polisi dalam menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalu
lintas merupakan hal yang wajar, karena tugas pokok Kepolisian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3
Undang – Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia huruf c dirumuskan ;
“Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Tugas pokok demikian lebih
ditegaskan, Satjipto Rahardjo dalam rincian tugas Kepolisian diantaranya ; “memelihara keselamatan
orang, benda dan masyarakat ; termasuk memberi perlindungan dan pertolongan”.81
Upaya penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas oleh polisi dapat diartikan, dia
berhadapan dengan masyarakat. Dalam menghadapi masyarakat, menurut Anton Tabah perlu sikap
keramahan, keluwesan dan kesabaran.82 Sikap polisi dalam menghadapi masyarakat sebagaimana diungkap
Anton Tabah di atas memicu respon positif terhadap masyarakat karena sikap demikian merupakan prestasi
kerja polisi. Prestasi kerja polisi dapat dipengaruhi oleh faktor keadaan sekelilingnya. Prestasi kerja polisi
berkaitan langsung dengan tugasnya, lingkungannya, masyarakat dan bangsanya. Wakler C. Recless dalam
buku “The Crime of Problem” diuraikan tentang situasi Kamtibnas suatu Negara sangat dipengaruhi oleh
partisipasi masyarakatnya.83 Terjadi hubungan yang erat antara masyarakat dan polisi.
Dalam kesempatan wawancara yang dilakukan pihak Kepolisian Batang dengan sebagian
masyarakat yang berhubungan langsung dengan polisi dalam urusan perkara pelanggaran lalu lintas,
maupun kecelakaan lalu lintas (wawancara secara acak) diperoleh gambaran bahwa masyarakat senantiasa
mengharapkan agar polisi mampu mewujudkan kondisi kekeluargaan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Lebih jauh masyarakat Batang berharap agar pelayanan Polisi lebih bersifat responsif, simpatik
dan tanpa membedakan siapapun yang berperkara atau berurusan dengan Polisi.
81 Diambil dari Ali Masyhar, Menggagas Adanya Lembaga Penyidikan : Sebuah Keritik Pada Lembaga
Kepolisian, Universitas Semarang, 2007, hal 3.
82 Anton Tabah, Sosok Polisi Masih dilihat dari Kulitnya, Cipta Manunggal, Jakarta, dalam Merenungi
Kritik terhadap Polri, Kunarto, hal 30.
83 Magandar Sianipar, Partisipasi Masyarakat dan Korelasinya, Merenungi Kritik Terhadap Polri, Cipta
Tunggal, Jakarta, 1995, hal 24.
xlv
Di sisi lain Polisi juga memiliki harapan pada masyarakat mengenai ketaatan masyarakat terhadap
hukum. Ketaatan terhadap hukum inilah yang menjadi wadah dasar bagi Polisi dalam bertugas agar lebih
mudah dan efektif. Dari hasil wawancara pula diketahui, bahwa bukan hanya respon positif masyarakat
yang didapat, tetapi cacian, makian masyarakat terhadap kinerja Polisi. Masyarakat mencap buruk kinerja
Polisi, korup dan bertindak diskriminatif. Inilah sebenarnya sosol Polisi dalam posisinya yang unik. Dia
dipuja sekaligus dicerca. Dalam menegakkan hukum, Polisi dituntut melakukan kearifan, tetapi saat hukum
benar-benar ditegakkan sebagian masyarakat lebih memilih penyelesaian tanpa hukum. Masyarakat
menginginkan penyelesaian praktis, tak perlu sampai ke proses pengadilan. Dari tugasnya pelayan
masyarakat bisa saja mengambil sikap diskresi dan tentu demi kepentingan lembaga bukan pribadi.
Data berikut ini menggambarkan jumlah Kecelakaan Lalu Lintas dan Pelanggaran Lalu Lintas
Kabupaten Batang selama tahun 2006 dan 2007
JUMLAH LAKA LANTAS
DAN SAIKARA TAHUN 2006 DAN 2007
TAHUN
JML
LAKA
KORBAN
MATERIAL SAIKARA TUNGGAKAN KET
MD LB LR
2006 156 54 27 99 Rp. 897.700.000 KIRIM PU : 13
SPPP : 16
BAPC : 42
TILANG : 85
JUMLAH : 156
2007 255 52 72 152 Rp. 1.539.250.000 KIRIM PU : 14
SPPP : 19.
BAPC : 50
TILANG : 172
xlvi
JUMLAH : 255
Data Kecelakaan Lalu Lintas (seterusnya digunakan LAKA) kota Batang terjadi kenaikan jumlah
yang berarti dari tahun 2006 ke tahun 2007. Jumlah 156 kasus LAKA di tahun 2006, meninggal dunia
(MD) ada 54 orang, luka berat (LB) ada 27 orang dan luka ringan (LR) ada 99 orang dengan total kerugian
material sebesar Rp. 897.700.000,- (delapan ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus ribu rupiah). Yang
menarik perhatian dari data tersebut adalah jumlah perkara yang dikirim ke Penuntut umum ada 13 kasus,
kasusnya dihentikan (SPPP) ada 16 kasus, yang masuk berita acara penyidikan cepat (BAPC) ada 42 kasus
dan masuk proses tilang ada 85 kasus.
Demikian halnya kasus LAKA di tahun 2007 sejumlah 255 kasus, berarti ada kenaikan yang cukup
tinggi dengan korban meninggal dunia (MD) ada 52 orang, luka berat 72 orang dan luka ringan 152 orang
serta kerugian material sebesar Rp.1.539.250.000,- (Satu milyar lima ratus tiga puluh sembilan juta dua
ratus lima puluh ribu rupiah). Proses penyelesaian kasus sejumlah itu (SAIKARA) ; dikirim ke penuntut
umum sejumlah 14 kasus, dihentikan (SPPP) sejumlah 19 kasus, BPAC ada sejumlah 50 kasus dan proses
tilang ada 172 kasus.
Melihat data LAKA 2 (dua) tahun di atas dan menghubungkannya dengan respon masyarakat
terhadap penanganan oleh Polisi Batang atas kasus tersebut dapat dianalisa seperti berikut.
Respon masyarakat dalam pengertian menilai kinerja Polisi ataupun keterlibatannya secara langsung
terhadap kasus LAKA paling tampak dalam penyelesaian perkara hingga munculnya SPPP (Surat Perintah
Penghentian Penyidikan).
Terhadap Proses Penyelesaian Perkara, baik pada tahap penyusunan perkara ke Jaksa Penuntut,
Penghentian Penyidikan, Berita Acara Penyidikan Cepat maupun Tilang., masyarakat Batang
mengemukakan respon positif terhadap kinerja Polisi, karena semua kasus LAKA dapat diproses dengan
tepat dan sesuai dengan kualitas kasusnya, Polisi telah tepat dalam memilah-milah setiap perkara, perkara
mana yang harus masuk ke Jaksa Penuntut Umum, SPPP, BPAC dan Tilang.
Khusus yang berkaitan dengan SPPP, peran Polisi sebagai mediator dalam penyelesaian perkara
LAKA menjadi menarik untuk dianalisa. Landasan hukum bagi Polisi dalam menetapkan suatu perkara
masuk kategori SPPP adalah Pasal 16 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
xlvii
Indonesia, bahwa “Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14
di bidang proses Pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk…. “h” mengadakan
penghentian penyidikan.
Landasan hukum, Kepolisian dalam upaya penyelesaian perkara melalui Mediasi Penal ada dalam
Pasal 18 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa “Untuk kepentingan
umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Tugas utama Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut
Pasal 13 huruf C UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa
“Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Dalam Pasal 14 huruf “k”
UU No. 2 Tahun 2002 lebih ditegaskan, bahwa “memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian”. Mediasi penal oleh Kepolisian merupakan implementasi
seluruh aturan yang dikemukakan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Pasal-pasalnya dikemukakan di atas).
Mediasi penal oleh Kepolisian tersirat respon masyarakat terhadap kinerja Polisi dalam menangani
kasus LAKA, karena lembaga mediasi penal ini justru merupakan upaya positif Polisi dalam
menyelesaikan kasus LAKA melalui jalur di luar pengadilan / Alternatif Dispute Resolution (ADR).
Dalam proses mediasi, Polisi berperan sebagai mediator antara pelaku dengan korban / anggota
keluarga korban LAKA. Mediator menyediakan formulir pernyataan kepada korban / wakilnya untuk tidak
melakukan upaya penuntutan perkara karena segala sesuatu yang disepakati dalam formulir tersebut telah
dipenuhi. Kesepakatan antara lain mengenai, uang ganti rugi / santunan korban, uang untuk proses
pemakaman, selamatan dan sebagainya. Disaksikan oleh mediator (Polisi) sebagai pihak ke tiga, formulir
pernyataan tersebut menjadi dasar mediator untuk menerbitkan SPPP.
Mediator penal dalam proses penyelesaian perkara ini berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik
dan pemulihan keseimbangan. Penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan bahkan lebih lagi ke
tujuan, terjadinya perdamaian merupakan tujuan yang hendak dicapai dengan penjatuhan pidana
sebagaimana Konsep KUHP Baru 2006 Pasal 54 :
1) Pemidanaan bertujuan :
xlviii
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik
dan berguna.
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Integritas / keterpaduan upaya Kepolisian dalam mediasi penal kasus LAKA dengan tujuan
pemidanaan dalam Konsep KUHP 2006 merupakan fenomena baru bahkan paradigma baru dalam wacana
sistem pemidanaan. Sistem pemidanaan secara sederhana diartikan sebagai proses penjatuhan pidana
kepada pelaku tindak pidana.
Dalam makna luas sistem pemidanaan merupakan proses dijatuhkannya pidana kepada pelaku tindak
pidana dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan dari Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), sebagai manifestasi dari Hukum Pidana Formil, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) sebagai manifestasi dari Hukum Pidana Materiil dan Peraturan Perundang-Undangan
Permasyarakatan sebagai manifestasi Hukum Pelaksanaan Pidana. Penggunaan konsep berpikir demikian,
dapat menjadi pemahaman, bahwa dioperasionalisasikannya KUHP dikaitkan dengan UU Kepolisian
Negara Republik Indonesia (UU No. 2 Tahun 2002) merupakan aplikasi sub sistem pemidanaan untuk
tujuan pemidanaan yang dicanangkan oleh sub sistem pemidanaan (Hukum Pidana Materiil) / Konsep
KUHP 2006.
Pencapaian tujuan pemidanaan yang demikian merupakan hal yang wajar karena KUHP sendiri
sebagai sub sistem pemidanaan tidak ada perumusan mengenai tujuan pemidanaan. Keberadaan KUHAP,
KUHP maupun Konsep KUHP dan Hukum Pelaksanaan Pidana merupakan sub-sub sistem pemidanaan
yang tidak pernah hilang dalam kerangka sistemnya. Aparat penegak hukum sendiri yang tidak pernah mau
mengakui dan mengaplikasikan eksistensi sistem pemidanaan yang di dalamnya ada tujuan pemidanaan.
Respon masyarakat terhadap sarana mediasi penal dalam menyelesaikan kasus LAKA sangat positif.
Budaya masyarakat seperti masyarakat kota Batang menurut pengamatan penulis selaku pejabat Kepolisian
xlix
Resort Batang dikaitkan dengan keyakinan agama masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat Batang
adalah masyarakat agamis, taat beragama. Sifat mudah memaafkan, menyelesaikan kasus secara
kekeluargaan, menyadari bahwa segala kejadian tidak lepas dari pengetahuan ALLAH SWT, merupakan
cirri masyarakat agamis seperti masyarakat Batang. Dengan kondisi seperti tersebut, sarana mediasi penal
yang dilakukan oleh pihak Kepolisian mendapat respon positif dari masyarakat Batang. Sebaliknya dari
data kasus LAKA meskipun jumlahnya relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah kasus LAKA yang
terjadi dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Kepolisian Resort Batang juga memproses perkara LAKA yang
disampaikan ke Penuntut Umum.
Dari segi kuantitas kasus LAKA ada yang berskala berat dalam pengertian korban nyawa, harta
benda besar. Kasus LAKA yang berskala besar itu, menjadikan perbedaan pendapat masing-masing korban
untuk menerima penyelesaian perkara melalui mediasi penal. Pihak Kepolisian Resort Batang sebagaimana
biasa menyidik perkara tersebut dan meneruskannya ke Jaksa Penuntut umum untuk proses peradilan
seterusnya.
Terhadap ketetapan Kepolisian Resort Batang demikian, respon masyarakat tetap saja positif, karena
pihak kepolisian dinilai disiplin dalam menangani kasus LAKA yang berkualifikasi berat dan besar.
Kesimpulan ini diperoleh dari hasil wawancara sat Lantas Polres Batang dengan tokoh masyarakat dan para
korban LAKA yang berkualitas besar dan berat.
Berikut disampaikan data Pelanggaran Lalu Lintas Kepolisian Resort Batang dalam skala
perbandingan tahun 2006 dan tahun 2007 dikelompokkan dalam usia pelanggar dan pekerjaan pelanggar
PERBANDINGAN PELANGGARAN LALU LINTAS TAHUN 2006 DAN 2007
NO BULAN 2006 2007 KETERANGAN
1 JANUARI 654 335 TURUN
2 PEBRUARI 255 217 TURUN
3 MARET 149 257 NAIK
4 APRIL 118 412 NAIK
l
5 MEI 181 412 NAIK
6 JUNI 595 1,275 NAIK
7 JULI 282 1,199 NAIK
8 AGUSTUS 256 1,180 NAIK
9 SEPTEMBER 383 1,179 NAIK
10 OKTOBER 197 284 NAIK
11 NOVEMBER 445 487 NAIK
12 DESEMBER 395 2,391 NAIK
JUMLAH 3,910 9,628 NAIK
PERBANDINGAN PELANGGARAN LALU LINTAS TAHUN 2006 DAN 2007
DILIHAT DARI USIA PELANGGAR
NO USIA 2006 2007 KETERANGAN
1 0-15 187 569 NAIK
2 16-21 1405 3251 NAIK
3 22-30 1778 4472 NAIK
4 31-40 424 871 NAIK
5 40-50 83 368 NAIK
6 51-KEATAS 33 97 NAIK
JUMLAH 3,910 9,628 NAIK
PERBANDINGAN PELANGGARAN LALU LINTAS TAHUN 2006 DAN 2007
DILIHAT DARI PEKERJAAN PELANGGAR
li
NO PEKERJAAN 2006 2007 KETERANGAN
1 PNS 143 122 TURUN
2 SWASTA 1774 4571 NAIK
3 TNI 0 3 NAIK
4 MAHASISWA 78 142 NAIK
5 PELAJAR 1316 2388 NAIK
6 PENGEMUDI UMUM 130 1052 NAIK
7 PEDAGANG 183 221 NAIK
8 TANI/NELAYAN 206 626 NAIK
9 BURUH 68 491 NAIK
10 LAIN-LAIN 12 12 TETAP
JUMLAH 3,910 9,628
Dari data perbandingan pelanggaran Lalu Lintas tahun 2006 dan 2007 dapat dianalisa bahwa pada
bulan Januari 2006 tercatat kasus pelanggaran Lalu Lintas sejumlah 654 mengalami penurunan di bulan
yang sama pada tahun 2007 sejumlah 335, demikian halnya untuk bulan Pebruari 2006 ke bulan Pebruari
2007. Pada bulan Maret 2006 sampai dengan Desember 2006 ke tahun 2007 bulan-bulan sama, terjadi
kenaikan yang amat berarti. Contoh jumlah pelanggaran Lalu Lintas bulan Juni sampai dengan Agustus
2006 bergerak naik di bulan yang sama di tahun 2007. Bahkan bulan Desember 2006 naik drastis pada
bulan yang sama tahun 2007.
Kenaikan yang signifikan ini menurut Kasat Lantas Polresta Batang amat dipengaruhi oleh faktorfaktor
; meningkatnya jumlah kendaraan bermotor (90% lebih pelanggaran Lalu Lintas ini dilakukan oleh
pengemudi kendaraan bermotor), kesadaran hukum berlalu lintas pengemudi rendah. Kesadaran hukum
berlalu lintas mencakup kecakapan mengemudi, pemahaman dan kesadaran akan aturan lalu lintas,
termasuk kelengkapan surat-surat kendaraan bermotor.
Kasat Lantas Polres Batang juga menegaskan bahwa tidak semua kasus pelanggaran Lalu Lintas
diselesaikan dengan memberi bukti pelanggaran (TILANG) kepada pelaku. Banyak kasus pelanggaran Lalu
lii
Lintas yang diselesaikan oleh Sat Lantas Polres Batang dengan memberikan teguran pada pelaku dan
memberikan kesadaran dalam berlalu lintas. Pelanggaran lalu-lintas ini senantiasa ada, meskipun
Kepolisian secara periodik melakukan operasi TILANG.
Respon masyarakat terhadap Kepolisian dalam penanganan kasus pelanggaran lalu lintas Resort
Batang menurut Kasat Lantas beraneka ragam. Dalam kualitas positif dan negatif, respon masyarakat
Batang terhadap kinerja Kepolisian lebih besar respon positif. Proses pencegahan da penyelesaian kasus
pelanggaran lalu-lintas yang diterapkan Kepolisian Resort Batang dengab pendekatan humanisme
kemanusiaan menyangkut respon positif dari masyarakat Batang.
Respon masyarakat amat apresiatif terhadap upaya Kepolisian menangani kasus pelanggaran Lalulintas
yang berdampak LAKA ini. Upaya lanjut pihak Kepolisian Resort Batang dalam membangkitkan
kesadaran berlalu-lintas masyarakat Batang, bekerjasama dengan pihak ketiga dalam satu meja melakukan
penyuluhan masyarakat dengan materi pokok “Kenyamanan Berlalu Lintas”. Upaya ini sampai saat ini
terus diprogramkan. Respon masyarakat terhadap upaya ini sangat positif, menurut Kasat Lantas Polres
Batang.
Respon masyarakat terhadap Kepolisian Resort Batang terhadap kinerjanya menangani kasus
pelanggaran Lalu-Lintas tertutama terhadap pelaku remaja positif, bahkan di samping program yang sudah
dibuat Kepolisian seperti telah diuraikan di atas, masyarakat menginginkan volume patroli lantas dinaikkan
pelaksanaannya, terutama patroli lantas pada malam minggu atau hari libur nasional.
Pengakuan Kasat Lantas Polres Batang mengenai respon masyarakat terhadap kinerja Polisi dalam
menangani kasus pelanggaran lalu-lintas sebagaimana di atas lebih dikuatkan dengan data “Perbandingan
Pelanggaran Lalu-lintas tahun 2006 dan 2007 dilihat dari pekerjaan pelanggar” yang menunjukkan
“pelajar” merupakan subjek pelanggar tertinggi dibanding dengan lainnya pada tahun 2006 dan naik di
tahun 2007. Memahami dan menganalisa data demikian, Kasat Lantas mengatakan bahwa program yang
ada senantiasa ditingkatkan dan senantiasa memadukan program tersebut dengan respon masyarakat agar
terjadi kerespodenan dalam program menangani kasus pelanggaran lalu-lintas. Program terpadu itulah yang
diharapkan dapat mengatasi kasus pelanggaran lalu-lintas, terutama kepada pelaku kalangan remaja.
Masyarakat bahkan menghendaki tindakan tegas Polisi dalam menangani kasus pelanggaran lalu-lintas ini,
mensekors pelajar yang melanggar lalu-lintas untuk waktu tertentu misalkan satu minggu. Respon demikian
liii
ditanggapi positif oleh pihak kepolisian Polres Batang (Hasil wawancara dengan Kasat Lantas Polres
Batang).
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Citra Polisi dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Pelanggaran Lalu-Lintas
Dalam mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi citra Polisi dalam penanggulangan tindak
pidana pelanggaran lalu-lintas, perlu diperkenalkan terlebih dahulu, bahwa kualitas citra Polisi amat
bergantung pada profesionalisme, intelektualisme dan moral/keyakinan yang ada pada diri Polisi sendiri.
Profesionalisme, intelektualisme Polisi merupakan sumber daya pribadi, modal dasar dalam
pelaksanaan tugasnya. Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjalankan tugasnya pernak
menjalani pelatihan dan pendidikan yang mengarah pada “Tindakan Polisi yang berorientasi pada
kemasyarakatan”.
Tindakan Polisi yang berorientasi kepada permasalahan (problem oriental Policing) pernah
dilakukan dalam 4 (empat) tahap.84
Tahap pertama : Scanning
Pada tahap ini Polisi mengidentifikasikan masalah-masalah besar seperti, pencurian dengan
pemberatan pencurian kendaraan di pusat kota.
Tahap kedua : Analisis
Pada tahap ini Polisi dalam tindakannya berupa pengumpulan dan evaluasi informasi tidak hanya
dari sumber umum tetapi juga sumber perorangan.
Tahap ketiga : Respon
Pada tahap ini Polisi menjalin kerjasama dengan badan-badan Negara lainnya agar dapat mengambil
tindakan tepat terhadap masalah yang dihadapi.
Tahap keempat : Prediksi
Pada tahap ini Polisi mengevaluasi efektifitas tindakan-tindakan yang telah dilakukannya, dianalisa
dan diprediksikan bagaimana upaya yang seharusnya dilakukan agar masalah yang dihadapi dapat
ditanggulangi.
84 Edward A Thibault, Lawrence M. Lynch dan R. Bruce Mc. Bride, Proactive Police Management, Cipta
Tunggal, Jakarta, 2001, hal 283.
liv
Keempat tahapan di atas membuktikan profesionalisme / intelektualisme Polisi dalam mengatasi
masalah yang timbul. Kemampuan Polisi dalam menjalankan tugasnya, termasuk bidang penanggulangan
Pelanggaran lalu-lintas sangat ditentukan oleh kemampuan dia dalam mengaplikasikan tahapan tersebut
dalam bidang tugasnya. Kemampuan mengaplikasikan tahapan tersebut amat berpengaruh, merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi citra Polisi dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalulintas.
Data yang telah tersaji dalam analisa permasalahan pertama (a.l : jumlah LAKA LANTAS DAN
JAIKARA tahun 2006 dan 2007) menjadi bukti aplikasi profesionalisme / intelektualisme Polisi dalam
menangani masalah LAKA dan pelanggaran lalu-lintas yang dilandasi kemampuan ; Scanning, Analisis,
Respon dan Prediksi. Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi citra Polisi dalam penanggulangan
tindak pidana pelanggaran lalu-lintas yang pertama adalah faktor profesionalisme, intelektualisme Polisi
dilandasi kemampuan ; Scanning, Analisis, Respond an Prediksi.
Implementasi kemampuan profesionalisme, intelektualisme Polisi dalam mengatasi masalah
masyarakat dengan melakukan survey ke lokasi munculnya permasalahan, misalkan ; kasus pembunuhan,
perkosaan, penyerangan kepada petugas Kepolisian, mengemudikan kendaraan (ngebut) dalam kondisi
mabuk, masalah tawuran remaja antar sekolah. Tindakan seterusnya Polisi melakukan scanning, analisis,
respond an akhirnya memprediksi pemecahan masalahnya.
Sebagai pelengkap kemampuan profesionalisme, intelektualisme Polisi dalam penanggulangan
tindak pidana pelanggaran lalu-lintas yang melekat di dalam citra Polisi, berikut disampaikan dengan
“pendekatan permasalahan dalam Tindakan Polisi” / “Problem Oriented Policing System Flowchart”.
lv
Pemeliharaan Ketertiban
Departemen Kepolisian
Pelayanan Umum
Pertukaran
Informasi
Interaksi
Proaktif
SOLUSI
ORGANISASI
SWASTA
INSTITUSI
AGAMA
PEMERINTAH
LOKAL
INSTITUSI
PENDIDIKAN
KOMUNITAS
Sumber : Bureau For Municipal Police, Albany N.Y. 1990, diambil dari Proaktive Police
Management (Manajemen Kepolisian Proaktif)
Dalam bagan, tampak bagaimana Kepolisian dalam menangani suatu masalah (solusi), sebagai
public services melakukan pertukaran informasi, interaksi dan proaksi kepada komunitas seperti organisasi
swasta, lembaga agama, pemerintah daerah dan lembaga pendidikan. Penanganan masalah dengan model
demikian pernah dan masih dilakukan oleh Polresta Batang dalam menangani masalah tindak pidana
pelanggaran lalu-lintas terutama pelaku remaja. Kepolisian Resort Batang bekerjasama dengan tokoh
agama, sekolah-sekolah menengah, lembaga swadaya masyarakat dan juga pemerintah Daerah Kabupaten
Batang.
Profesionalisme / intelektualisme Polisi yang mempengaruhi citranya dalam penanggulangan tindak
pidana pelanggaran lalu-lintas dapat diungkap juga dari bagaimana Polisi dalam melakukan tugasnya
berorientasi pada masyarakat. Masyarakat merupakan institusi tempat bertemunya segala kepentingan
individu dengan ikatan peraturan yang mengatur perilaku para individu agar terjadi satu-kesatuan tertib
hidup bermasyarakat. Pendekatan kemasyarakatan (dengan sasaran masyarakat) menjadikan tindakan Polisi
lvi
lebih bersifat proaktif. Kerjasama dengan anggota masyarakat (perseorangan maupun lembaga). Polisi
dapat mengantisipasi dan mencegah terjadinya tindak pidana. Dalam upaya penanggulangan tindak pidana
pelanggaran lalu-lintas di jalan raya, peran polisi sebagai penegak hukum harus memiliki kemampuan
dalam memahami apa yang harus dilegalkan. Apa yang dilakukan polisi sebenarnya tidak sekedar
menegakkan hukum, tetapi lebih dari itu dan bahkan lebih luhur yakni membina moral bangsa di jalan raya.
Upaya demikian jelas berpengaruh terhadap citra polisi yang sampai saat ini masih dan selalu diupayakan
kualitasnya.
Agus Raharjo85 mengatakan bahwa hukum itu mempunyai tiga sifat ; menggonggong, menggigit dan
mencekam. Ketiga hal tersebut harus dimiliki oleh polisi dalam menjalankan tugasnya. Penguasaan
terhadap ketiga sifat hukum tersebut akan memudahkan polisi dalam menerapkan hukum yang tepat pada
moment tertentu. Penguasaan yang baik terhadap materi dan hakekat hukum akan membantu polisi dalam
meningkatkan disiplin para pengendara kendaraan bermotor di jalan raya. Meningkatnya kesadaran dan
disiplin masyarakat dalam berlalu-lintas tidak hanya didasarkan pengetahuan mereka pada “hukum yang
menguasi jalan raya” tetapi masyarakatpun ingin memperoleh contoh yang baik dari polisi di jalan raya.
Dengan demikian polisi merupakan cermin dan teladan bagi masyarakat dalam menjalankan peraturan lalulintas
dan peran yang demikian harus disadari betul oleh polisi. Dalam setiap operasi TILANG secara tidak
langsung selalu dipertaruhkan citra polisi, karena masyarakat terutama pemakai jalan langsung menilai
kinerja polisi. Juga menarik dan senantiasa menjadi bahan pembicaraan masyarakat adalah mudahnya kasus
diselesaikan antara polisi dan pelanggar lalu-lintas. Dalam kuantitas apapun pelanggaran itu (misal,
kelengkapan surat kendaraan tidak terpenuhi, melanggar rambu lalu-lintas atau lainnya) masyarakat sudah
terbiasa menempuh cara praktis dalam menyelesaikan kasusnya dan terjadilah “perdamaian” antara polisi
dan pelaku. Upaya ini untuk menghindari prosedur hukum seterusnya sampai sidang pengadilan. Polres
Batang berketetapan, perdamaian hanya terjadi jika kasus pelanggarannya cukup diberikan teguran oleh
polisi kepada pelaku. Kasus pelanggaran lalu-lintas yang pasti berproses ke TILANG apabila kualitas
pelanggarannya mengarah timbulnya kerugian pihak lain, misalkan menyerobot rambu lalu-lintas (traffict
light) di perempatan jalan yang padat lalu lintas.
85 Agus Raharjo, Strategi Penegakan hukum di jalan raya, Cipta Manunggal, Jakarta, 1995, hal 128.
lvii
Apriori masyarakat mengenai mudahnya polisi diajak damai sangat mempengaruhi citra polisi dalam
upaya penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu-lintas. Peran mediator ini dapat dijadikan faktor
kedua setelah profesionalisme, intelektualisme sebagai faktor pertama yang mempengaruhi citra polisi
dalam upaya penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu-lintas di jalan raya.
Faktor ketiga yang tak kalah pentingnya dari dua faktor terdahulunya yang amat berpengaruh pada
citra polisi dalam kinerjanya adalah moral dan keyakinan (ketaatan)nya dalam menjalankan agamanya.
Ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya berbuah pada moral mereka. Setiap agama memberikan
tuntutan hidup saat ini di dunia sampai menyongsong kehidupan kelak di akhirat.
Polresta Batang memprogram kegiatan “taat beragama” sesuai dengan agama yang dianut masingmasing
personel Polisi. Program tersebut pelaksananya di awasi langsung oleh Kapolres Batang. Program
kegiatan “taat beragama” bagi personel yang beragama Islam, misalkan sholat Jum’at bersama di masjid
yang didirikan di komplek Polresta Batang. Pengajian rutin setiap malam Jum’at dengan pembicara ulama
yang ada di kota Batang. Personel yang beragama selain Islam, kegiatan “taat beragama”nya juga terawasi
langsung oleh Kapolres Batang. Faktor ketiga ini dapat juga disebut dengan faktor ketaqwaan Polisi dalam
kinerjanya menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalu-lintas dan sangat mempengaruhi citranya.
Faktor keempat yang tidak bisa dipisahkan dengan faktor ketiga / ketaqwaan adalah faktor
“keteladanan”. Masyarakat Indonesia bersifat religius yang menempatkan pada porsi tertinggi terhadap
pelaksanaan ketaatan beragama. Bagi pejabat setingkat Polresta (Batang) perhatian serius terhadap
pelaksanaan ketaatan beragama setiap personel dapat menunjang kepemimpinan dan keteladanan dalam
kepemimpinannya. Keteladanan pemimpin berguna bagi setiap personel dengan agama yang diyakininya.
Keteladanan pemimpin ada pada derajat “ketaqwaan” yang dimilikinya dan kondisi demikian amat
berpengaruh terhadap ketenangan dan ketentraman personel polisi dalam melaksanakan setiap tugasnya.
Djunaidi Maskat H86 menegaskan bahwa personel polisi yang memiliki kualitas ketaqwaan,
berdampak pada keteladanan kepemimpinannya dan pada gilirannya para personel akan berkurang dalam
melakukan pelanggaran, penyalahgunaan wewenang dan akhirnya mengangkat citra polisi di mata
masyarakat. Keteladanan pemimpin ditunjukkan oleh perilakunya dalam menjalankan perintah agamanya,
maupun dalam kebersamaannya melaksanakan kegiatan dengan personelnya.
86 Djunaidi Maskat H, opcit, hal 199.
lviii
Keteladanan seorang pemimpin dapat memberikan semangat personel dalam melaksanakan
tugasnya. Keteladanan pemimpin berupa ; semangat, keinginan, nafsu kerja. Semangat demikian bisa
terjadi bila pemimpin yang memiliki keteladanan tepat dalam memberikan motivasi kepada personel yang
sedang menjalankan tugasnya.
Keteladanan pemimpin terhadap personelnya dapat ditempuh melalui upaya :
a) Memperhatikan langsung ketika personel melakukan atau menjalankan tugasnya.
Pemimpin dikatakan memiliki keteladanan, bila dia setiap saat melakukan inspeksi mendadak ke lokasi
personel bertugas. Bukan mencari kesalahan, tetapi memberi arahan bagaimana sebaiknya tugas
dikembangkan dan bagaimana menjalin kerjasama dengan masyarakat.
b) Memahami kebutuhan personel.
Keteladanan pemimpin terwujud kalau pemimpin memahami benar kebutuhan personelnya meskipun
kebutuhan tersebut amat kecil nilainya. Contoh nyata, pemimpin dalam waktu terprogram secara pribadi
bersilaturahmi ke rumah personel anggota polres. Kepada istri atau keluarga personel anggota sang
pemimpin menanyakan kebutuhan apa yang belum dapat memenuhi keperluan selama satu bulan. Bagi
anggota baru atau pegawai sipil di lingkungan Polres biasanya pemenuhan kebutuhan satu bulan cukup
sulit terpenuhi. Kedatangan pemimpin ke rumah personel anggota disamping membuat kebahagiaan
tersendiri apalagi ditambah pemenuhan kebutuhan juga, diperhatikan inilah keteladanan. Masyarakat juga
memiliki keperluan yang tidak selalu terpenuhi, apalagi kalau kenutuhan itu menyangkut soal keadilan
dalam berurusan dengan polisi dan pemimpin dengan keteladannya mengerti aspirasi masyarakatnya, yang
bakal terjadi adalah suasana harmonis kehidupan dalam masyarakat dan kinerja Polisi.
c) Mencukupi kebutuhan tugas.
Terpenuhinya sarana kelancaran pelaksanaan tugas sering menjadi masalah yang banyak dibacarakan
masyarakat. Misal mengenai pemenuhan bahan bakar kendaraan dinas yang jauh dari kurang jika
dibandingkan dengan volume tugas rutin.
Keteladanan pemimpin paham akan kesulitan itu dan dia buktikan dengan memenuhinya. Terhadap
personel anggota polisi yang prestasi kerjanya bagus, pemimpin tak segan-segan memberikan tambahan
peringkat agar prestasi selalu ditingkatkan. Bagi personel anggota yang berperilaku menyimpang,
pemimpin juga tak segan-segan memberikan sanksi meskipun teguran keras sampai ke sanksi pemecatan.
lix
Berbagai keteladanan lainnya yang amat berpengaruh pada citra polisi meliputi ; keteladanan dalam
memberikan dorongan kerja, dapat melalui surat, pengiriman barang ; keteladanan dalam kewaspadaan
terhadap lingkungan baik dalam Polres maupun di luar Polres ; keteladanan dalam kesederhanaan dan
keteladanan dalam kesetiaan kepada Negara, pimpinan dan tugas yang diembannya ; keteladanan dalam
kejujuran ; keteladanan dalam membentuk generasi penerus.
Faktor kelima yang berhubungan dengan kinerja polisi dan berpengaruh kepada citranya dalam
penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu-lintas adalah “pengembangan individu / personel polisi
oleh pejabat tertinggi di Polres (Batang)”. Upaya pengembangan individu personel polisi ini dapat
ditempuh melalui berbagai cara, yaitu :
a. Menetapkan tanggung jawab dan wewenang kepada anggota
Dalam tingkatan Polres, dapat disusun wewenang dan tanggung jawab setiap pejabat dan dilengkapi
dengan prosedur penjabarannya. Konsultasi dengan jajaran yang lebih tinggi seperti Polwiltabes bahkan
Polda amat diperlukan dalam upaya menjabarkan tugas dan wewenang setiap pejabat kepolisian
b. Memberikan catatan target yang ingin dicapai
Sasaran yang akan dicapai disusun secara periodik misalkan untuk kurun waktu satu tahun. Sasaran
tahunan ini bisa dibreakdown dan sasaran triwulan dan dijabarkan lebih lanjut dalam sasaran target setiap
bulan.
Dalam upaya penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu-lintas Polres Batang telah menetapkan
sasaran tiap bulan, seperti operasi tilang setiap minggu pada daerah rawan kecelakaan lalu-lintas. Operasi
mingguan juga dilakukan terutama pada malam minggu di jalur cepat untuk mencegah acara kebut-kebutan
yang dilakukan para remaja.
c. Menyelenggarakan latihan untuk meningkatkan kemampuan
Pelatih yang langsung dipegang oleh Kapolres amat berpengaruh pada kualitas kinerja personel
anggota polisi. Polres Batang dibawah asuhan pelatih Kapolres langsung memimpin pelatihan seperti ;
penangkalan huru-hara, pelatihan menangani korban kecelakaan lalu-lintas, pelatihan bela diri untuk segala
jenis. Semua bentuk pelatihan dilakukan oleh Polres Batang dan hasilnya sangat efektif meningkatkan
kualitas personil polisi dalam melakukan tugasnya, terutama tugas bidang lalu-lintas.
d. Menegakkan keadilan
lx
Keadilan dapat diartikan sebagai memberikan sesuatu apa yang menjadi hak personel anggota polisi.
Penghargaan atas prestasi kerja personel anggota merupakan hak dan harus diberikan oleh pejabat Polres.
Tindakan berupa sanksi atas pelanggaran personel anggota polisi juga harus diberikan tanpa pandang bulu
siapa dan berpangkat apa dia.
Untuk berbuat adil sangatlah sulit karena setiap anggota ditentukan juga oleh persepsi masing-masing
terhadap apa yang dilihat dan dialaminya. Persepsi anggota terhadap suatu masalah sangat dipengaruhi oleh
pengalaman, pengetahuan dan interes dirinya. Untuk itulah upaya menghindari persepsi yang kurang tepat
terhadap suatu masalah diperlukan informasi sebanyak mungkin karena setiap informasi mempunyai nilai
kebenaran dan ketepatan sendiri. Untuk mendapat informasi yang benar, tepat dan banyak diperlukan
“sistem manajemen informasi”. Di Polres Batang sistem manajemen informasi diserahkan koordinasinya
kepada Wakapolres dan dirinya menugaskan Kasat Intel / Serse sebagai pejabat pelaksananya.
e. Berperan serta dalam pengambilan keputusan
Kapolres sebagai figur the last decision maker dalam memutuskan harus mempunyai bobot cepat, tepat
dan memiliki nilai managerial dan teknik seimbang terhadap permasalahan yang dihadapi, maka peran serta
anggota berupa saran, masukan amat diperlukan. Bagi anggota yang dimintai saran, merupakan kebanggaan
pada dirinya karena hal itu merupakan “esteen needs” (merupakan kebutuhan untuk dihargai). Dampaknya
mendorong pemberi saran untuk bekerja lebih baik, karena dia merasa dimanusiakan oleh pimpinannya.
Polres Batang senantiasa menerapkan sikap demokratis meskipun tetap dalam kedisiplinan dalam hal
penghormatan kepada atasan / senior. Contoh nyata, Kapolres mencari solusi pengalihan arus lalu-lintas
dalam menghadapi mudik lebaran. Saran dimintakan kepada Kabag, Kasat Lantas dalam mengambil
keputusan yang hendak dibuat tentang pengalihan jalur lalu-lintas. Bagi Kapolres manfaat yang diperoleh
dalam menyertakan saran bawahan adalah dukungan positif semua staf akan diperoleh.
f. Mengetahui prestasi anggota
Kapolres dan sinergi kerjasama dengan seluruh staf dan jajaran Polres lebih mengutamakan prestasi
anggota daripada kekurangan anggotanya. Tidak berarti Kapolres mengabaikan kelemahan anggota, tetapi
penghargaan terhadap anggota berprestasi dapat berdampak peningkatan prestasi kerja anggota.
g. Tepat dalam “The Right man on the Right Job”
lxi
Kualitas anggota yang diwujudkan pada prestasi yang dicapai anggota memudahkan Kapolres
menempatkan pada jabatan tertentu yang tepat dengan prestasinya. Keputusan demikian menjadi motivator
anggota untuk lebih maju lagi.
h. Memahami kebutuhan anggota
Kapolres selaku pimpinan berupaya keras untuk mengetahui kebutuhan anggota dan pemenuhan
kebutuhannya akan memacu dirinya untuk bekerja yang lebih baik. Polres Batang berupaya memenuhi
kebutuhan anggota meskipun nilainya kecil, misal soal kebutuhan menyambut Hari Raya Idul Fitri dapat
meningkatkan antusias anggota pada pimpinannya.
Faktor kelima yang mempengaruhi citra polisi dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran
lalu-lintas adalah menegakkan disiplin dan Ketaatan Masyarakat bersama Polisi.
Ada sebuah ungkapan ; “Kemitraan masyarakat dan Polri akan mewujudkan disiplin pribadi, disiplin
masyarakat dan disiplin nasional”. Aparat penegak hukum ; polisi, jaksa, hakim dan juga pengacara,
ternyata polisi menduduki posisi yang populer. Jaksa, hakim dan pengacara dapat dikatakan sebagai
penegak hukum gedongan, sedang polisi adalah penegak hukum jalanan. Predikat demikian karena polisi
dalam kinerjanya selalu berinteraksi langsung dengan masyarakat, sehingga sulit mengatakan bahwa ada
jarak antara polisi dan masyarakat. Dengan demikian kinerja polisi lebih cepat direspon masyarakat dan
yang paling mudah terjadi adalah munculnya kritik pada polisi. Kinerja buruk lebih tampak oleh
masyarakat, kinerja baik sering dianggap biasa oleh masyarakat. Posisi yang tidak nyaman ini akan menjadi
suatu kenikmatan apabila polisi dengan bijak mensikapi kritik masyarakat. Kritik ini amat berpengaruh
pada kualitas citra polisi. Penegakan hukum lalu-lintas diperlukan tingkat kedisiplinan tinggi bagi
masyarakat dan polisi yang seimbang, disamping sama-sama mentaati peraturan.
Peraturan disusun dialamatkan bukan saja kepada masyarakat tetapi termasuk juga polisi sebagai
aparat penegak hukum. Tidak mungkin sebuah rambu yang bertanda “semua kendaraan dilarang masuk”
hanya berlaku untuk pemakai jalan berkendaraan bermotor oleh masyarakat, tetapi rambu demikian juga
harus ditaati oleh polisi. Disiplin dan taat pada peraturan oleh masyarakat dan polisi merupakan sikap
terpuji bagi kedua pihak.
Penegakan hukum berlandaskan sikap disiplin dan taat pada peraturan selalu diprioritaskan oleh
Polres Batang. Disiplin dan taat peraturan di jalan raya dimulai dari hal-hal tampak sepele sekali seperti ;
lxii
menyeberang jalan lewat zebra cross bagi pejalan kaki atau lewat jembatan penyeberangan, berhenti
ditempat yang rawan macet, mengangkut penumpang berlebihan merupakan contoh yang diprioritaskan
penegakannnya oleh Polres Batang.
Disiplin dan taat peraturan inilah yang amat berpengaruh pada citra polisi dalam upaya
penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu-lintas. Penegakan disiplin dan taat peraturan menimbulkan
sikap konsisten, konsekuen dan berkesinambungan berdasar nilai kaidah tertentu.
Semua persyaratan penegakan disiplin dan taat peraturan adalah melalui pengabdian terbaik, polisi
perlu memiliki tingkah laku penuh hormat dan respek, bertindak dengan pikiran sehat, selalu sopan tetapi
tegas dan mampu menciptakan keselarasan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi menegakkan disiplin.
Citra polisi akan baik jika masyarakat dan polisi terjalin saling pengertian dan saling memahami.
Faktor terakhir (keenam) merupakan kumulasi kelima faktor terdahulu yang kemudian mengkristal
dalam diri seorang polisi. Faktor profesionalisme / intelektualisme, faktor keteladanan, faktor ketaqwaan
dan faktor disiplin dan taat peraturan, kecuali faktor kedua “mediator”, membentuk sikap kewibawaan pada
diri seorang polisi. Inilah faktor keenam, “kewibawaan” yang melandasi segala tindakan polisi dalam upaya
penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu-lintas. Kewibawaan ini pula yang amat menentukan citra
polisi, bahkan kualitas citra polisi. Bagaimana seorang mediator (faktor kedua) dapat dipercaya para pihak
antara pelaku dan korban kecelakaan lalu-lintas kalau sang mediator tidak memiliki kewibawaan.
Kewibawaan ada pada diri polisi bukan karena dia ditakuti masyarakat karena dia lambang kekerasan,
tetapi dia disegani masyarakat karena smart, jujur, teladan dan disiplin. Jujur merupakan buah dari derajat
ketaqwaan polisi. Bagaimana kewibawaan polisi tidak menjadi faktor penting dalam menjalankan
fungsinya di bidang pemerintahan Negara, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak
hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat (Pasal 2 UU No 2 Tahun 2002). Akhirnya,
faktor keenam (kewibawaan) inilah yang sangat memungkinkan suksesnya tugas dan wewenang polisi
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 13, 14 dan 15 serta Pasal 16 UU No 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 13 :
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
lxiii
Pasal 14 :
1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan
pemerintah sesuai kebutuhan.
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalulintas
di jalan.
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat
serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik
pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengawasan swakarsa.
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan
psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan
ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi
dan/atau pihak yang berwenang.
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas
kepolisian.
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15 :
1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam rangka pasal 13 dan 14
Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :
a. Menerima laporan dan/atau pengaduan.
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban
umum.
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa.
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian.
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan.
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang
i. Mencari keterangan dan barang bukti.
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional.
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan
masyarakat.
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan
instansi lain, serta kegiatan masyarakat.
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya
berwenang :
a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya.
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor.
c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor.
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik.
e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam.
lxiv
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa
pengamanan.
g. Memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengawasan
swakarsa dalam bidang teknis kepolisian.
h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian Negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan
internasional.
i. Melakukan pengawasan fungsional Kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah
Indonesia dengan koordinasi instansi terkait.
j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional.
k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16 :
1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 dibidang proses
pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan
penyidikan.
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangkan penyidikan.
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi.
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
h. Mengadakan penghentian penyidikan.
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat
pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal
orang yang disangka melakukan tindak pidana.
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima
hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan
penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan.
c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.
e. Menghormati hak asasi manusia.
C. Strategi yang perlu diambil kepolisian untuk membangun citranya dalam menanggulangi tindak
pidana pelanggaran lalu-lintas.
Strategi membangun citra polisi sama dengan upaya kepolisian mengembalikan citra baiknya dalam
pandangan masyarakat. Korry87 dalam salah satu tulisan dalam “Analisa Medan 22 Juni 1995 Halaman IV
Kolom 19 tentang Memacu Kemitraan Polri dan Masyarakat Menangkal Gangguan Kamtibnas” dapat
87 Korry, Memacu Kemitraan POLRI dan Masyarakat Menangkal Gangguan Kamtibnas dalam Merenungi
Kritik terhadap POLRI, Kunarto, Cipta Manunggal, Jakarta, 1995, hal 42.
lxv
dijadikan startegi Kepolisian (termasuk Polres Batang) untuk membangun citranya dalam menanggulangi
tindak pidana pelanggaran lalu-lintas.
Uraian berikut ini merupakan analisis tulisan Korry, sebagai berikut :
Membangun citra baik kepolisian merupakan persoalan penting yang dapat menimbulkan partisipasi
masyarakat. Partisipasi / peran serta masyarakat dalam tugas polisi menanggulangi tindak pidana
pelanggaran lalu-lintas tidak cukup hanya dengan himbauan semata. Himbauan akan berubah hanya nyata
bila diimbangi dengan presensi untuk mengaktualisasikan himbauan tersebut. Karya nyata inilah yang
dapat meringankan beban penderitaan masyarakat.
Polres Batang senantiasa menghimbau warga masyarakat agar para orang tua, guru, tokoh agama
senantiasa mengingatkan para remajanya untuk “mewujudkan keselamata” di jalan. Pakailah kelengkapan
berkendaraan (seperti helm untuk sepeda motor, sabuk keselamatan untuk mobil), patuhi semua peraturan
lalu-lintas, hormati semua pemakai jalan dan lainnya. Himbauan ini oleh Polres Batang disikapi dengan
tindakan nyata berupa patroli periodic terprogram.
Inilah upaya pemecahan terpadu dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu-lintas.
Integrated prevention effort antara warga masyarakat (termasuk remaja) dan Polres Batang sangat
berdampak pada turunnya volume pelanggaran lalu-lintas. Data tersaji terdahulu dapat dijadikan ukuran
keberhasilan upaya pencegahan terpadu ini. Data pelanggaran lalu-lintas bulan Januari Februari 2007 yang
mengalami penurunan. Program terpadu terus hingga kini berjalan dan ada faktor lain yang menjadi salah
satu penyebab naiknya volume pelanggaran. Salah satunya adalah kesadaran berlalu-lintas sangat rendah,
terbukti ketaatan berlalu-lintas terjadi ketika petugas Kepolisian ada. Peluang pelanggaran terjadi saat polisi
sedang tidak siaga dan polisi hanya bersiaga di tempat tertentu dengan waktu tertentu pula ; misal di Pos
Polisi. Mengantisipasi kemungkinan timbulnya pelanggaran lalu-lintas, polisi mampu menampilkan
kewibawaan, simpatik dan rela mengesampingkan kepentingan pribadi demi untuk kepentingan warga
masyarakat.
Korry dalam tulisannya, bahwa polisi harus menentukan posisinya apakah sebagai tokoh protagonis
ataukah tokoh antagonis. Sebagai tokoh protagonis berarti polisi harus mengambil posisi dalam masyarakat
atau melebur ke dalam aktivitas masyarakat, sehingga lebih mudah melakukan pendekatan dengan
masyarakat, melakukan introspeksi diri dan mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam
lxvi
dinamika masyarakat. Kemampuan beradaptasi dan menyatu dengan masyarakat akan memudahkan
pekerjaan polisi. Keakraban terjadi karena bersatunya polisi dan masyarakat. Kondisi demikian membuat
masyarakat menilai polisi sebagai sosok pengayom, pelindung, pencipta keamanan dan penegak keadilan.
Penilaian masyarakat terhadap polisi yang demikian itulah yang dapat membangun citra baik polisi di mata
masyarakat. Tokoh antagonis polisi hanya dilakukan saat dia harus menyamar sebagai preman karena tugas
mengharuskan dia menangkap seorang preman yang buron. Wajah angker dan rambut tak teratur
merupakan sosok antagonis yang harus dijalani seorang polisi untuk suatu tugas yang berresiko tinggi.
Banyaknya kasus kriminalitas yang terjadi membuat polisi semakin meningkatkan kewaspadaan dan
tergugah untuk menjadi “polisi” bagi diri sendiri. Hal ini sesuai dengan strategi yang sedang digulirkan
oleh Polri melalui kemitraan antara polisi dengan masyarakat (Polmas). Polisi sedang mereformasi diri,
baik struktural, instrumental, maupun kultural. Reformasi yang dicanangkan ini tidak serta merta dapat
berjalan dengan mudah, karena di dalam tubuh Polri sendiri masih belum secara optimal beradaptasi
menerima reformasi yang terjadi, khususnya reformasi kultural. Kapolwiltabes Semarang Kombes Polisi
Guritno Sigit W.88 berharap agar reformasi berjalan secara bertahap tapi pasti. Kemampuan menjadi
pelindung serta pengayom masyarakat (serve and protect) yang beretika serta menjalankan tugas
berdasarkan hati nurani akan mampu merubah citra polisi. Reformasi yang digulirkan Polri dengan
melakukan berbagai pembenahan untuk membangun citra yang pada ujungnya polisi akan menjadi teladan
riil bagi masyarakat. Reformasi struktural dengan melakukan perombakan organisasi, reformasi
instrumental berkaitan dengan penegakan peraturan perundang-undangan dan reformasi kultural dengan
melakukan perubahan budaya dan yang terakhir ini merupakan reformasi yang tidak mudah dilakukan
dalam waktu dekat. Perubahan kultur dari militer ke sipil tidak serta merta merubah kultur yang ada
sebelumnya. Oleh karena itu perubahan itu akan bertahap.
Polisi harus menyadari dirinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat yang beretika karena
dia merupakan bagian dari masyarakat. Polisi saat ini tidak mungkin lagi menerapkan prinsip militer “Kill
or to be Killed” namun polisi harus fight crime yang pada intinya memerangi kejahatan dengan tetap
mempertahankan hak asasi manusia termasuk memberikan jaminan perlindungan bagi korban maupun
saksi.
88 Mitra Polmas, Membangun Citra Polisi, Semarang, 2007, hal 1.
lxvii
Paradigma arogansi yang kadang masih muncul harus dihilangkan. Untuk itu semboyan “to serve
and protect” benar-benar dilaksanakan di awal secara universal. Proses rekruitmen yang lebih terbuka dari
transparan bagi masyarakat (dapat diawasi), perkiraan karir yang baik dalam masa dinas, sehingga
penerapan reward and punishment dapat sesuai dengan peraturan yang ada.
Kiat reformasi yang digulirkan tidak bisa dipisahkan dari keteladanan personel polisi sendiri
disamping kedisiplinannya. Kedisiplinan harus menjadi sikap dasar dalam kehidupan kedinasan, keluarga
dan masyarakat. Pembentukan lingkungan sosial yang menyadari pentingnya disiplin dalam kontribusinya
pada kamtibnas sangat vital dalam memberikan andil pada makna disiplin itu sendiri. Keterikatan antara
polisi dan masyarakat berdampak pada citra polisi di masa depan. Menggunakan konsep berpikir demikian
dengan tujuan mewujudkan kondisi kondusif, maka upaya pembenahan secara berkelanjutan menjadi
bagian tak terpisahkan dari upaya reformasi. Upaya lainnya melalui pembinaan rohani secara periodik
dalam rangka meningkatkan keimanan dan moral anggota sehingga dalam segala aktifitas selalu dilandasi
sikap jujur, adil dan bijaksana, disiplin dengan kesadaran sendiri tanpa harus diawasi sehingga memiliki
etos kerja yang baik sehingga terbentuk sikap mental terpuji. Inilah yang dituju reformasi utamanya
budaya, yaitu keteladanan polisi bagi warga masyarakat yang berujung pada terbentuknya citra polisi yang
terpuji.
Strategi membangun citra dalam menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalu-lintas dapat juga
dilakukan dengan melakukan berbagai pembenahan terhadap polisi yang berkaitan dengan ; keteladanan
polisi, profesionalisme polisi.
Polisi merupakan cermin hukum yang hidup dalam masyarakat. Polisi tidak pernah terpisah dengan
masyarakatnya, karenanya wajar kalau masyarakat senantiasa menaruh perhatian pada kinerja polisi. Oleh
karenanya keteladanan polisi menjadi faktor penentu dibangunnya citra polisi. Profesionalisme polisi dapat
dikaitkan dengan hak penyidikan yang menurut Pasal 2 PP No. 27 tahun 1983 ; pejabat polri yang berhak
menjadi penyidik adalah Pembantu Letnan Dua Polisi / AIPDA, bila dalam institusi kepolisian pangkat
tersebut tidak ada, maka ditetapkan yang berpangkat bintara. Pembenahan yang perlu dilakukan tentang
kepangkatan penyidik Polri dikaitkan dengan profesionalisme / intelektulisme yaitu penyidik sarjana
hukum. Alasannya sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, disamping jaksa dan hakim, hanya polisi
yang tidak mensyaratkan kualitas pendidikan / intelektualisme.
lxviii
Jaksa sebagai pejabat penuntut umum bergelar sarjana hukum, demikian juga hakim. Jadi merupakan
hal yang wajar bila sebagai upaya pembenahan polisi untuk membangun citra polisi disarankan bagi
penyidik polri juga bergelar sarjana hukum. Polisi merupakan ujung tombak sistem peradilan pidana, tentu
masalah profesionalisme / intelektualisme menjadi perhatian utama.
Persepsi polisi mengenai hukum pidana juga perlu pembenahan, sebab polisi harus paham benar
bahwa hukum pidana bukan satu-satunya sarana penanggulangan tindak pidana. Hukum pidana bagaikan
pedang bermata dua (pidana) di satu melindungi kepentingan hukum, di sisi lain melukai kepentingan
hukum. Karenanya harus ekstra hati-hati menggunakan hukum pidana. Perlu dipahamkan, bahwa
penggunaan hukum pidana hanya bersifat symptomatik / menanggulangi gejala bukan menanggulangi
penyebab terjadinya tindak pidana. Penyebab terjadinya tindak pidana di luar jangkauan hukum pidana.
Strategi membangun citra polisi tidak dapat dipisahkan dengan bidang lalu-lintas. Analisa berikut ini
dapat menjadi pertimbangan dalam membangun citra polisi. Penegakan lalu-lintas selalu merupakan salah
satu fungsi Kepolisian karena terkait dengan peran polisi untuk menlindungi jiwa dan harta. Peningkatan
produksi kendaraan bermotor setelah PD I, yang diikuti dengan kenaikan angka kematian dan luka-luka
akibat penggunaan kendaraan yang tidak semestinya, mendorong banyak Negara bagian untuk
memberlakukan undang-undang tentang penggunaan kendaraan yang akan ditegakkan oleh pihak
kepolisian. Pada saat ini walaupun ada peraturan polisi, tetapi angka kematian dan luka-luka akibat
kecelakaan lalu-lintas terus meningkat setiap tahun.
Melihat latar belakang ini, peranan Kepolisian dalam fungsi ini beragam, termasuk:
1. Pengurangan sebab-sebab kecelakaan dan kemacetan.
2. Identifikasi masalah dan ancaman potensial berlalu lintas.
3. Peraturan perparkiran di jalan dan fasilitas kota.
4. Penyidikan kerusakan harta dan kecelakaan yang menyebabkan luka-luka dan kematian.
5. Penyuluhan kepada masyarakat tentang kesadaran penggunaan sepeda dan kendaraan bermotor secara
benar.
6. Penahanan pelaku.
lxix
Dari seluruh fungsi polisi, penegakan berlalu lintas dianggap oleh banyak petugas merupakan hal
yang paling menimbulkan frustasi. Dalam pandangan masyarakat, pelaku pelanggaran lalu lintas bukan
merupakan pelaku kejahatan sama sekali. Oleh karena itu, orang yang mendapat surat tilang tidak
menganggap dirinya sebagai pelaku kejahatan dan sebaliknya acapkali kemarahan tertuju ke petugas dan
pihak Kepolisian pada umumnya. Penegakan undang-undang lalu lintas yang kompleks itu menyebabkan
timbulnya banyak alas an dari pelanggar lalu lintas.
Polisi lalu lintas akan tetap merupakan penegak utama undang-undang lalu lintas dan kendaraan
bahkan di masa depan. Masalah yang terkait dengan lalu lintas akan tetap menjadi hal yang paling umum
yang diproses oleh seluruh Instansi Kepolisian. Banyak petugas juga menganggap bahwa kejahatan
terungkap dan bahkan terpecahkan melalui proses penegakan lalu lintas sehari-hari dab traffic stop.
Jumlah sumber daya dan personil yang diperlukan untuk penegakan peraturan lalu lintas akan
ditentukan oleh kebutuhan masyarakat. Petunjuk berikut ini perlu dipedomani :
1) Penegakan peraturan perparkiran seharusnya dilakukan oleh warga sipil atau tukang parkir. Kebutuhan
akan petugas polisi yang terlatih tidak terlalu besar karena keterlibatan mereka hanya terkait dengan
mengeluarkan surat tilang dan mengarahkan arus lalu lintas. Fungsi ini, sebagian besar, bersifat
mekanis dan tidak membutuhkan keahlian yang tinggi.
2) Petugas patroli seharusnya dilatih pada seluruh bidang penegakan peraturan disiplin lalu lintas,
termasuk penyidikan kecelakaan pendahuluan, penggunaan alat deteksi alkohol dan kecepatan,
pengetahuan tentang undang-undang kendaraan dan lalu lintas. Aspek pelatihan polisi ini sangat
penting karena tingginya jumlah kasus lalu lintas yang diajukan ke depan pengadilan pidana dan
perdata yang menghendaki evaluasi tindakan petugas penyidik dan kebijakan Departemen Kepolisian.
3) Petugas tertentu, menurut minatnya, seharusnya dilatih dalam topik khusus seperti perencanaan lalu
lintas, penyidikan kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan program penyuluhan masyarakat.
Lalu lintas pada dasarnya merupakan fungsi patroli karena petugas di jalan dan unit jalan raya
mempunyai kedudukan yang paling tepat untuk mengawasi dan menanggulangi pelanggaran serta bahaya
berlalu lintas. Petugas menggunakan ketrampilan penyidikannya dalam tugas yang terkait dengan sebabsebab
kecelakaan, pelanggaran undang-undang lalu lintas dan identifikasi korban/ tersangka. Penegakan
lxx
peraturan lalu lintas acapkali mengungkapkan aktifitas pidana lainnya. Penegakan peraturan lalu lintas
acapkali mengungkap kendaraan curian, buronan dan penyeludupan.
Sebelum menutup analisa “strategi yang perlu diambil kepolisian untuk membangun citranya dalam
menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalu-lintas”, dikemukakan hasil “Seminar Nasional mengenai
Peningkatan Wibawa Penegakan Hukum” oleh Universitas Lampung bekerjasama dengan POLDA
SUMBAGSEL pada tahun 1987. Hasil seminar ini sengaja diangkat dalam tesis ini karena berkaitan
langsung dengan upaya Polri membangun Citranya ditengah gejolak masyarakat. Hasil seminar yang
dikemukakan di bawah ini meliputi berbagai pandangan Guru Besar Hukum (Pidana) yaitu ; Barda Nawawi
Arief, Muladi, Soerjano Soekamto dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Urutan penyajian hasil Seminar Nasional tersebut disusun sebagai berikut :
1) Tujuan dan Sasaran Seminar
a) Tujuan Seminar
1. Untuk mengetahui sejauhmana kedudukan dan kaitannya sub sistem dalam peningkatan
wibawa penegakan hukum, mengingat masalah peningkatan wibawa penegakan hukum
merupakan suatu sistem yang pendekatannya tidak bersifat kompartementalis.
2. Menjadikan sarana ilmiah bagi upaya peran serta praktisi dan theoritisi hukum dalam
menyumbangkan pemikirannya bagi peningkatan wibawa penegakan hukum.
3. Mencari alternatif-alternatif usaha peningkatan wibawa penegakan hukum guna tercapainya
keamanan dan ketertraman masyarakat.
b) Sasaran Seminar
1. Menginformasikan pada masyarakat, bahwa tugas penegakan hukum dalam menciptakan
Kamtibnas adalah kewajiban penegak hukum dan masyarakat.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajibannya untuk turut serta dalam
penegakan hukum.
3. Meningkatkan peranan masyarakat kampus dalam rangka usaha mempercepat proses
peningkatan kamtibnas.
4. Meningkatkan kesatuan pandang aparat penegak hukum sesuai dengan fungsinya dalam
rangka penegakan hukum.
2) Pandangan Kapolri mengenai kejahatan dan upaya penanggulangan
Dari sudut pandangan Polri, kejahatan dewasa ini yang sangat perlu diwaspadai dengan
memperhatikan faktor-faktor potensialnya (faktor korelatif kriminogen), adalah :
1) Kejahatan yang terorganisir.
2) Kejahatan yang berskala Internasional, seperti pemalsuan/peredaran uang palsu, peredaran gelap
narkotik, penyelundupan, sabotase dan terorisme.
3) Kejahatan dengan penerapan teknologi canggih.
4) Kejahatan dengan penggunaan peranan massa dalam melancarkan aksinya.
5) Kejahatan dengan kekerasan seperti pencurian ranmor, pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain.
6) Kekerasan dengan penggunaan teror atau pemerasan (black mail).
7) Kebakaran/pembakaran.
8) Penyalahgunaan senjata api.
9) Kenakalan remaja.
Untuk menghadapi/menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut maka diperlukan upaya-upaya
penanggulangan.
Upaya penanggulangan kriminalitas pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari strategi Binkamtibnas
Polri yang pada garis besarnya mengutamakan fungsi bimbingan masyarakat sebagai senjata terdepan.
lxxi
Tugas fungsi Bimnas ini antara lain membimbing dan membina masyarakat agar terwujudnya kesadaran
hukum dan keputusan hukum untuk mencapai tertib hukum.
Apabila fungsi Bimnas ini telah berjalan dan ternyata masih terdapat gejala-gejala terjadinya
kriminalitas, maka diterjunkan kemudian fungsi Samapta, yang bertugas menjaga, mengamati agar tidak
terjadi kriminalitas. Berperannya fungsi Samapta ini telah menunjukkan bahwa faktor korelatif kriminogen
yang ada, telah berubah menjadi hazard kepolisian.
Apabila ternyata dengan berperannya kedua fungsi tersebut, masih juga terjadi kriminalitas, maka
fungsi reserse akan beroperasi dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana
yang terjadi, hingga kasus tersebut tuntas sampai di Pengadilan.
Dalam hal kriminalitas yang terjadi gelagat perkembangan cukup tinggi dari segi kwantitas dan
kwalitas, maka strategi Polri yang harus dilaksanakan adalah :
1) Mengembangkan pola kemampuan Polri (khususnya reserse) yang kwatitatip cukup dan kwalitatif
tinggi.
2) Mengembangkan daya tangkal masyarakat antara lain melalui sistem keamanan swakarsa.
3) Melakukan penindakan cepat, tepat dan tuntas terhadap setiap kejahatan agar diperoleh deterent
effect (efek jera) bagi pelakunya.
Adapun strategi tersebut dilaksanakan kemungkinan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1) Melaksanakan deteksi dini tehadap kemungkinan munculnya faktor-faktor korelatif kriminogen.
2) Meningkatkan bimbingan masyarakat dalam rangka menggarap faktor-faktor korelatif kriminogen
agar tidak muncul menjadi kriminalitas yang nyata, serta meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam menangkal setiap tuntutan kriminalitas.
3) Meningkatkan proses penyelesaian perkara secara cepat, tepat dan tuntas.
4) Pengendalian dan penekanan kriminalitas melalui pengelaran kekuatan Reserse dalam Kring-kring
Reserse, disamping untuk menindak secara tegas tuntas, efektif dan efisien segenap bentuk
kriminalitas yang muncul sebagai akibat belum berhasilnya upaya preventif.
5) Khusus untuk kriminalitas yang menjadi sasaran selektip dengan prioritas, dihadapi dengan
melaksanakan operasi khusus kepolisian baik oleh kesatuan ke wilayahan maupun dilaksanakan
secara terpusat.
Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut dibutuhkan kemampuan-kemampuan Polri yang
disesuaikan dengan kadar ancaman kriminalitas yang dihadapi yaitu :
a) Kemampuan pengindraan dini untuk mendeteksi setiap gejala-gejala yang dapat menimbulkan
kriminalitas.
b) Kemampuan penertiban masyarakat yang meliputi tindakan preventif, pemeliharaan keamanan
umum dan ketertiban masyarakat.
c) Kemampuan penegakan hukum yang meliputi pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya
kriminalitas, kemampuan penindakan serta kemampuan pembuktian kriminalitas.
d) Kemampuan bimbingan masyarakat guna terwujudnya kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan
terbinanya peran serta masyarakat dalam sistem keamanan swakarsa.
e) Kemampuan pelayanan masyarakat yang meliputi kemampuan untuk menanggapi, memberikan
bantuan, perlindungan, memberi petunjuk atas laporan, pengaduan dan permintaan yang
disampaikan oleh warga masyarakat.
Dengan strategi, pembinaan kemampuan dan pola pelaksanaan sebagaimana diuraikan di atas,
diharapkan setiap bentuk dan jenis kriminal yang terjadi atau akan terjadi, dapat ditanggulangi secara
efektif dan efisien.
Khusus untuk jenis-jenis kejahatan yang menggunakan aspek teknologi, maka Polri pun telah siap
pula dengan laboratorium kriminalnya, yang memang bertugas dibidang pembuktian kejahatan secara
ilmiah. Dengan berfungsinya Laboratorium kriminal maka deteksi laboratoris terhadap setiap kejahatan
yang menggunakan aspek teknologi, akan diperoleh derajat kepastian yang tinggi (high degree of certainty)
guna kepentingan pembuktian.
3) Pandangan Barda Nawawi Arief
1. Aspek Kepercayaan
lxxii
Hukum merupakan tumpuan harapan dan kepercayaan masyarakat untuk mengatur pergaulan
hidup bersama. Hukum merupakan wujud atau manifestasi dari nilai kepercayaan. Oleh karena itu
wajar apabila penegak hukum diharapkan sebagai orang yang sepatutnya dipercaya, dan menegakkan
wibawa hukum berarti menegakkan nilai kepercayaan di dalam masyarakat.
Nilai kepercayaan merupakan salah satu nilai atau kepentingan masyarakat yang perlu dipelihara,
ditegakkan dan dilindungi. Masyarakat yang aman, tertib dan damai hanya dapat tercapai apabila ada
“Saling Kepercayaan” di dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai kepercayaan inilah yang justru
menjalin hubungan harmonis kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan sebaliknya akan timbul
kekacauan, ketidak tentraman dan ketidak damaian apabila nilai kepercayaan itu telah hilang atau
mengalami erosi dalam kehidupan bermasyarakat.
Dapat dibayangkan, betapa kacau dan tidak tentramnya kehidupan bermasyarakat, apabila
masyarakat tidak lagi mempercayakan penyelesaian masalah-masalah mereka kepada aparataparat/
badan-badan penegak hukum tetapi justru mencari penyelesaian lai kepada orang-orang atau
pihak “di luar hukum” yang merela percayai.
Gejala “erosi kepercayaan” semacam inilah yang justru harus dicegah. Dengan perkataan lain
menegakkan wibawa penegakan hukum berarti meneggakkan kembali wibawa kepercayaan, sehingga
warga masyarakat tidak menghindari/menjauhi aparat-aparat penegak hukum tetapi justru
mempercayakan masalahnya kepada aparat-aparat/badan-badan penegak hukum. Dalam hubungan
inilah kiranya Kongres PBB ke V di Geneva pernah menghimbau Polisi tidak menjadikan dirinya
sebagai “Cold and distant representatives of authority” (anggota penguasa yang acuh dan tidak ramah),
tetapi justru harus menjadikan dirinya sebagai “friends, partners and defenders of citizens”. Dan pada
Kongres ke VI di Caracas sewaktu membicarakan masalah “recruitmen and training” aparat penegak
hukum, antara lain dinyatakan perlunya meningkatkan “mutual trust between police and the pubic”.
2. Aspek Dukungan Masyarakat
Hampir dalam setiap pertemuan ilmiah mengenai penegakan hukum, baik secara nasional maupun
internasional, selalu dikemukakan bahwa keberhasilan usaha penegakan hukumm samgat tergantung
pada kondisi dan dukungan partisipas masyarakat secara luas. Demikian pentingnya masalah ini
sehinnga dari berbagai pertemuan itu dapat disimpulkan, bahwa keberhasilan strategi penegakan
lxxiii
hukum dan strategi penanggulangan kejahatan justru terletak pada keberhasilan menangani kondisi dan
dukungan masyarakat ini.
Sehubungan dengan sangat sentral dan strategisnya masalah ini, tdaklah berlebihan kiranya
apabila dalam kesempatan ini kami mengungkapkan dan menekankan kmebali hal-hal yang pernah
dikemukakan dalam berbagai Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatment oh
Offenders, khususnya yang berkaitan dengan tugas Polisi, sebagai berikut :
a. Pertama-tama ditegaskan oleh Kongres, bahwa dukungan masyarakat sangat diperlukan
untuk keberhasilan tugas-tugas Polisi; ketidak pahaman masyarakat akan tujuan dan fungsi
Polisi disebabkan oleh adanya pengaruh atau hubungan negatif antara Polisi dan
Masyarakat.
b. Sehubungan dengan hal itu perlu dikembangkan program-program dialog yang lebih luas
anatar polisi dengan anggota masyarakat, mulai dari penyebarluasan polisi ke jalan-jalan
(ke tengah-tengah masyarakat) sampai pada usaha-usaha pendidikan masyarakat dengan
penekanan pada misi, bahwa “Polisi merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan
bahwa sebagian besar polisi digunakan untuk tugas-tugas yang berorientasi pada pelayanan
daripada tugas-tugas penegakan hukum”. (the police were a part of and not separate from
the community and that the majority of a policeman’s time was spent on “service-oriented”
task rather than on law enforcement duties) : perlunya dkembangkan panel bersama antara
polisi dengan berbagai lapisan masyarakat mengenai usaha-usaha pencegahan kejahatan, di
samping adanya suatu badan/lembaga bersama yang mendiskusikan masalah-masalah yang
berhubungan dengan kepentingan bersama antara polisi dan warga masyarakat;
c. Usaha-usaha khusus hendaknya juga dilakukan untuk membuat peka masyarakat akan
keberadaan organ-organ penegak hukum dan sejauh mungkin dilakukan usaha untuk
mengurangi atau meringani prosedur penegak hukum bagi warga masyarakat dengan
melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau tempat-tempat mereka bekerja daripada
memanggil atau meminta mereka untuk datang melapor ke Kantor Polisi;
d. Dalam membina hubungan baik antara Polisi dan Masyarakat, kongres juga menekankan
pentingnya hubungan kerja sama antara polisi dan media komunikasi; namun Kongres juga
lxxiv
menyoroti kelemahan media komunikasi yang dalam pemberitaannya lebih dramatis, dan
aspek kekerasan dari fungsi polisi, daripada menekankan pada tugas-tugas yang
berorientasi pada pelayan (“the service-oriented duties”) yang dilakukan oleh polisi.
Ditegaskan pula oleh Kongres, Bahwa pendekatan repressif semata-mata akan
mengasingkan atau menjauhkan masyarakat dan menyebabkan si pelanggar hukum
melawan usaha-usaha persuasif dan perubahan.
e. Mengingat sangat sentralnya kedudukan dan peranan masyarakat, Kongres juga
menekankan bahwa “the oval all organzation of society should be considered as anti
criminogenic” dan menegaskan bahwa “community relations were the basis for crime
prevention programmes”. Oleh karena itu dipandang perlu untuk membina dan
meningkatkan efektivitas “extra legal system” atau “informal system” yang ada di
masyarakat dalam usaha-usaha penegakan hukum dan pecegahan kejahatan, antara lain
dengan organisasi (lembaga/yayasan-yayasan) sosial dan keagamaan lembaga-lembaga
pendidikan dan organisasi-organisasi volunteer yang ada di dalam masyarakat. Jadi
diperlukan usaha-usaha untuk mendorong dan menumbuhkan kesadaran dan tanggung
jawab masyarakat akan tujuan penegakan hukum dan pencegahan kejahatan.
f. Di samping itu Kongres juga memandang perlu untuk meneliti, memaksimumkan dan
mengefektifkan bentuk-bentuk tradisional yang dapat digunakan sebagai sarana
pengendalian sosial dan khususnya sebagai sarana pencegahan kejahatan. Ditegaskan oleh
Kongres, bahwa “Crime prevention and Criminal Justice” jangan dipandang sebagai suatu
masalah yang terisolir (isolated problems) yang ditangani dengan cara-cara atau metode
penanggulangan yang simplistis dan fragmenter, tetapi hendaknya dilihat sebagai
serangkaian kegiatan yang kompleks dan sangat luas (complex and wide-ranging activities).
g. Selain masyarakat harus dipandang sebagai “anti criminogenic”, Kongres juga mengakui
bahwa kecepatan perubahan masyarakat saat ini dapat menjadi faktor kriminogen (“the
current rate of social chane might be in itself criminogenic”). Artinya, timbul dan
berubahnya bentuk-bentuk kriminalitas baru sering terjadi karena cepatnya perubahanperubahan
sosial, dan inilah yang diharapkan oleh polisi saat ini. Sehubungan dengan hal
lxxv
ini, dalam laporan Kongres dinyatakan bahwa pada umumnya polisi menangani masalah itu
sebagaimana terjadi (apa adanya) dan pada saat terjadi, jadi lebih merupakan tindakan
sesaat. Menurut Kongres, adalah lebih baik apabila dilakukan penilaian yang lebih luas
terhadap problem semacam itu dan usaha-usaha yang diambil untuk menangani masalah itu
hendaknya dalam skala dan ruang lingkup yang lebih luas. Jadi startegi yang diambil atau
direncanakan, tidak untuk situasi sesaat atau jangka waktu dekat tetapi untuk situasi sesaat
atau jangka waktu dekat tetapi untuk program pemecahan jangka panjang.
3. Aspek Sasaran Perlindungan Penegakan Hukum
Dari thema seminar terlihat, bahwa sasaran dari peningkatan wibawa hukum ialah “keamanan dan
perlindungan masyarakat dari kejahatan”.
Beberapa catatan yang dapat dikemukakan mengenai sasaran perlindungan dari penegakan hukum
itu, ialah :
a. Dikaitkannya penegakan hukum dengan perlindungan masyarakat terhadap kejahatan, hal ini jelas
berkaitan dengan penegakan hukum pidana. Memang sering dikemukakan, bahwa tujuan
ditetapkannya hukum pidana sebagai salah satu sarana dari politik kriminal ialah “perlindungan
masyarakat” yang sering pula dikenal dengan istilah “social defence”. Istilah ini sangat umum dan
luas, sehingga menurut Marc Ancel tidak semua orang memberikan arti yang sama. Malahan
menurut Mariano Ruiz Funes, istilah “social defence” ini sangat samar dan kurang tegas karena
sering kali mengabaikan batas-batas yang ditetapkan oleh hak-hak asasi manusia. Kekaburan
pengertian inilah yang sering memberi kesan, bahwa tindakan-tindakan atau langkah-langkah
kebijakan yang berdalih “demi perlindungan masyarakat” sebenarnya hanya merupakan
kamuflase.
b. Sehubungan dengan hal di atas, perlu kiranya ditekankan makna perlindungan masyarkat seperti
yang pernh ditegaskan dalam Seminar Kriminologi ke III tahun 1976, bahwa : “Hukum Pidana
hendaknya diperhatikan sebagai salah satu sarana untuk “social defence” dalam arti melindungi
masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitas)
sipembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat”.
lxxvi
Atau seperti yang pernah dirumuskan dalam Seminar Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun
1980, yang menyatakan :
“Sesuai dengan Politik Hukum Pidana, maka tujuan pemidanaan (dapat dibaca “tujuan
penegakan hukum pidana” pen.) harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari
kejahatan serta keseimbangan dan kelarasan hidup dalam masyarakat dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku”.
Sehubungan dengan tujuan tersebut, dalam Seminar tahun 1980 itu ditegaskan pula agar
pemidanaan (baca: “penegakan hukum pidana”, pen.) harus mengandung unsur-unsur
kemanusiaan, edukatif dan keadilan. Bersifat kemanusiaan dalam arti menjunjung tinggi harkat
dan martabat seseorang; bersifat edukatif dalam arti mampu menimbulkan kesadaran, jiwa yang
pisitif dan konstruktif pada diri sipelanggar hukum; dan bersifat keadilan dalam arti dirasakan adil
baik oleh sipelaku maupun oleh korban atau masyarakat.
c. Penegasan makna perlindungan masyarakat seperti dikemukakan diatas sangatlah perlu agar
pengertian perlindungan masyarakat dari kejahatan tidak dilihat semata-mata dari aspek formalnya
saja, yaitu sekedar bertujuan menekan atau mengurangi jumlah (frekuensi) kejahatan, tetapi harus
pula mengutamakan aspek materiil at au aspek kualitasnya. Penekanan pada aspek formal saja
akan cenderung pada konsepsi atau interprestasi tradisional mengenai perlindungan masyarakat
(meminjam istilah Marc Ancel: "the old/traditional conception or interpretation of social
defence"), yang membatasi pengertiannya pada "the protection of society against crime".
Disamping pengertian tradisional itu, menurut Marc Ancel ada pula konsepsi modern (the
new/modern conception or interpretation of social defence) yang menafsirkan perlindungan
masyarakat dalam arti "the prevention of crime and the treatment of offenders". Pandangan
modern ini didasarkan pada premis, bahwa kejahatan merupaka.n "a social fact and human act"
dan oleh karena itu harus dipahami sebagai "a social and individual phenomenon".
d. Dari uraian di atas dapatlah ditegaskan, bahwa sekurang-kurangnya ada empat
aspek dari perlindungan masyarakat yang harus juga mendapat perhatian dalam
penegakan hukum pidana.
lxxvii
Keempat aspek itu, ialah :
1. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan-perbuatan anti
sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat.
Bertolak dari aspek ini maka wajar apabila penegakan hukum pidana
bertujuan untuk unpenanggulangan kejahatan.
2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang.
Oleh karena itu, wajar pulalah apabila penegakan hukum pidana bertujuan
memperbaiki sipelaku kejahatan atau berusaha merubah dan mempengaruhi
tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukurn dan menjadi warga
masyarakat yang baik dan berguna.
3. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalah gunaan sanksi
atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada
umumnya. Oleh karena. itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus
mencegah terjadinya tindakan atau perlakuan yang sewenang-wenang di luar
hukum.
4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan at au
keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari
adanya kejahatan. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum
pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat.
e. Khususnya mengenai perlindungan masyarakat dari kejahatan, usaha penegakan
hukum hendaknya tidak hanya ditujukan pada kejahatan-kejahatan tradisional,
lxxviii
tetapi juga memperhatikan perkembangan kejahatan yang terus tumbuh sesuai
dengan perkembangan masyarakat industri dan kemajuan IPTEK (Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi). Dalam hubungan ini Kongres PBB ke VII tahun
1985 di Milan, memohonkan perhatian dan perlindungan khusus terhadap
"Industrial Crime", yaitu perlindungan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan
kesehatan masyarakat (Public Health), kondisi para buruh (Labour Conditions),
eksploitasi terhadap sumber-sumber alam dan lingkungan (Exploitation of Natural
Resources and Environment), persyaratan kualitas barang (The provision of
goods) dan pelayanan terhadap konsumen (Services of Consumers). Terhadap
kejahatan-kejahatan seperti itu yang sering pula disebut sebagai "Economic
Crimes" atau “Economic Abuses", khususnya di Indonesia dimohonkan perhatian
pula akan adanya "penyalahgunaan komputer" atau kejahatan-kejahatan ekonomi
yang berhubungan dengan komputer (computer-related economic crimes) atau
yang dikenal pula dengan "Hi-tech Crime".
f. Perlindungan terhadap korban termasuk juga salah satu penegakan hukum yang
patut mendapat perhatian, karena hak-hak korban harus dilihat sebagai bagian
yang integral dari keseluruhan sistem penegakan hukum pidana (menurut istilah
Kongres PBB ke VII di Milan disebut sebagai "an integral aspect of the total
criminal justice system").
Pengertian korban hendaknya tidak dilihat semata-mata dari sudut individual atau
menurut perumusan abstrak dalam perundang-undangan. yang berlaku, tetapi
dilihat juga dalam konteks yang lebih luas. Dalam Kongres PBB ke VII
dlmohbnkan perhatian terhadap korban dari adanya perubahan perundanglxxix
undangan, korban dari penyalah gunaan kekuasaan (termasuk penyalah gunaan
kekuasaan ekinomi dan penyalah gunaan kewenangan hukum) dan korban dari
pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar yang diakui secara
internasional. Secara khusus, Kongres memohon pula perhatian terhadap wanita
sebagai korban dari kejahatan karena mereka mudah menjadi korban eksploitasi,
korban perampasan hak dan tindakan-tindakan kekerasan khususnya dalam
masalah seksual (sexsual assault), dan dalam rumah tangga (domestik veolence).
Ditegaskan dalam Kongres itu, bahwa kekerasan terhadap wanita baik secara
nyata maupun tersembunyi akan membahayakan secara serius perkembangan
sosial dari wanita. Oleh karena itu ditegaskan pula, bahwa menanggulangi
masalah ini merupakan "the best interest of society generally".
4) Pandangan Muladi
Masalah penegakan hukum, wibawa penegakan hukum menjadi semakin
menarik perhatian sehubungan dengan perbagai perkembangan, baik yang terjadi
dalam praktek penegakan hukum yang diamati oleh kalangan akademis maupun
perkembangan llmu yang menyangkut ekses penegakan hukum dapat dikemukakan
disini apa yang disebut : "Now offenders/Now Crimes" di negara-negara maju, yakni
pelanggaran hukum oleh oknum-oknum aparatur pemerintah (Govermental official
law breaking).
Dari perkembangan ilmu dapat dicatat disini munculnya "Now Victimologi"
yang obyek studinya adalah korban penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hakhak
azasi manusia.
Hal-hal diatas akan menyadarkan kita terhadap hakekat siapa sebenarnya yang
lxxx
disebut "adresat hukum", yang daJam hal ini tidak hanya anggota masyarakat, tetapi
juga para penegak hukum. Justru dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tugas yuridis
hukum pidana tidak hanya mengontrol masyarakat, tetapi mengontrol tindakan aparat
penegak hukum, apakah bertindak sesuai dengan hukum atau justru bertentangan
dengan hukum.
Dari pemahaman ini tampak bahwa, wibawa penegakan hukum pada
hakekatnya merupakan hasil proses "interface" (unsurnya : interaksi, interkoneksi
dan interdependensi) antar adresat hukum. Yakni para penegak hukum dan
masyarakat, disamping fast or hukumnya sendiri dan sarana penunjangnya. Dalam
hal ini ruang lingkup penegakan hukum harus dilihat secara luas yang mencakup baik
"onrecht in actu"onrecht in potentie". Mencakup tindakan prefentif; Represif dan
kuratif.
Dari sisi lain uraian dibawah ini mencoba untuk mengamati ruang lingkup
penegakan hukum, baik yang bersifat "in abstracto maupun penegak hukum "in
concreto, yakni penegakan hukum yang senyatanya terjadi secara kontekstual, dengan
segala kompleksitasnya.
Dalam hal ini penegakan hukum akan dibatasi ruang lingkupnya yakni
penegakan hukum pidana (criminal law enforcement), dalam konteks tidak terbatas
pada sub sistem kepolisian saja, tetapi mencakup juga sub sistem lain sistem peradilan
pidana.
Dari sekian banyak variable bebas yang mempengaruhi peningkatan wibawa
penegakan hukum, analisis akan dibatasi pada hal-hal sebagai berikut :
1. Penegakan hukum aktual.
lxxxi
2. Moralitas dalam menggunakan hukum pidana.
3. Model penegakan hukum pidana yang berprikemanusiaan.
Sebagai konsekwensi terjadinya proses kriminalisasi (menetapkan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana), maka para penegak hukum (penguasa) dituntut
untuk melindungi segala kepentingan; hukum yang berada dalam ruang lingkup
hukum pidana substantif. Dalam hal ini kita berada dalam kerangka yang disebut
penegakan hukum yang menyeluruh (total enforcement). Tuntutan untuk melakukan
"total enforcement" ini tidak mungkin terlaksana, sehubungan dengan adanya "noenforcement
area. Didalam area ini tindakan para penegak hukum dibatasi oleh baik
hukum pidana materiil (misalnya, syarat pengaduan pada delik aduan), maupun
hukum pidana formil (misalnya, syarat-syarat penahanan, penggeledahan, penyitaan,
interogasi dan sebagainya).
Sesudah total enforcement dikurangi dengan "no-enforcement area, maka yang
tinggal adalah ruang lingkup penegakan hukum secara penuh (area of full
enforcement). Dalam ruang lingkup ini polisi dituntut untuk melakukan secara
sungguh-sungguh investigasi, menemukan pelaku tindak pidana dan memberikan
informasi selengkap-lengkapnya pada jaksa untuk mengajukan perkara tertentu
keproses pengadilan.
Namun demikian, pengkajian secara empiris membuktikan bahwa apa yang
dinamakan "full enforcement" pada hakekatnya merupakan harapan yang tidak
realitas (non realistic expectation. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa,
para penegak hukum dihadapkan pada kenyataan-kenyataan dilapangan terpaksa
melakukan diskresi berupa "decisions not to enforce". Faktor penyebab
lxxxii
dilakukannya diskresi antara lain adalah keterbatasan personil dan alat-alat
penyidikan, keterbatasan budget yang memaksa dilakukannya skala prioritas dan
sebagainya.
Dengan demikian nampak bahwa, ''area of full enforcement" menjadi
menyusut karena dikurangi oleh "area of decision not to enforce", sehingga yang
tinggal adalah "area of actual enforcement".
Hal ini diakibatkan oleh kondisi-kondisi nyata yang terdapat dilapangan,
yang seringkali menimbulkan posisi yang sulit bagi para penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya. Tindakan-tindakan diskresi menjadi "under covered",
karena polisi dan penegak hukum lain dituntut untuk melakukan "full
enforcement". Hal ini apabila berlanjut akan menimbulkan bahaya bagi
penegakan hukum itu sendiri, khususnya terhadap administrasi peradilan pidana.
Namun harus diakui, sekalipun para penegak hukum dilapangan tidak
diberi wewenang yang luas untuk melakukan diskresi dalam bentuk tidak
menerapkan hukum pidana, akan tetapi selama hal itu melibatkan manusia
dengan sifat-sifat kemanusiaanya, diskresi ini tidak dapat dihindarkan. Dalam
kondisi-kondisi keterbatasan, maka pemaksaan para penegak hukum untuk
melakukan full enforcement akan menimbulkan penderitaan-penderitaan dan
kesulitan baik bagi para penegak hukum maupun bagi warga masyarakat.
Diberbagai negara dikatakan, bahwa apa yang dinamakan "full
enforcement" pada hakekatnya adalah "The program for the future", dan untuk
itu yang dibutuhkan adalah pemantauan yang teliti, terkoordinasikan, sehingga
menumbuhkan usaha efektif untuk melakukan tindakan legislatif.
lxxxiii
Bahaya terhadap wibawa penegakan hukum akan terjadi apabila tindakan
diskresi tersebut berkembang menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, dan
pelanggaran terhadap azas-azas hukum. Sebagai contoh antara lain dapat
dikemukakan penyampingan perkara psl. 359 KUHP dalam bidang lalu lintas,
karena perdamaian, padahal psl 359 adalah kejahatan yang tidak termasuk delik
aduan.
Contoh yang lain adalah penggunaan lembaga kepailitan dalam hukum perdata,
untuk menghindarkan penuntutan atas dasar psl 379 a KUHP (tindak pidana
ngemplang) dll.
Nilai-nilai profesionalisme yang harus difahami dan dihayati oleh para penegak
hukum, antara lain adalah nilai-nilai philosofis yang merupakan "benang merah"
yang menghubungkan para penegak hukum dalam suatu sistem, yakni sistem peradilan
pidana. "Benang merah" yang merupakan bagian aspek moralitas hukum
pidana ini harus dihayati karena sistem peradilan pidana pada dasarnya tidak hanya
merupakan suatu sistern phisik berupa kerjasama antar sub-sistem struktural secara
terpadu untuk meneapai satu tujuan tertentu, namun juga merupakan sistem abstrak,
yakni rangkaian pemikiran-pemikiran, nilai-nilai dan falsafah yang konsisten untuk
mencapai satu tujuan tertentu.
Benang merah pertama adalah penghayatan bahwa hukum pidana mempunyai
fungsi subsidiair, yakni jangan menggunakan hukum pidana kalau masih ada sarana
lain yang lebih effektif, mengingat bahwa penggunaan hukum pidana akan menimbulkan
proses stigmatisasi dan proses prisonisasi, yang mematikan hak-hak
seseorang yang dikenai pidana.
lxxxiv
Yang kedua adalah berupa azas-azas pembatas (limiting principle) dalam
penggunaan hukum pidana baik dalam tindakan legislatip maupun penegakan hukum.
Azas-azas tersebut antara lain :
(a). Hukum pidana sebaiknya digunakan untuk tujuan pembalasan yang bersifat
tunggal.
(b). Hukum pidana seharusnya tidak digunakan terhadap perbuatan yang tidak
menimbulkan korban atau kerugian;
(c). Hukum pidana hendaknya digunakan untuk mencapai suatu tujuan, yang
masih dapat dicapai dengan cara lain yang sarna effektifnya dengan biaya
yang lebih sedikit.
(d). Hukum pidana jangan digunakan, bilamana kerugian diakibatkan oleh pidana
1ebih besar dibandingkan dengan kerugian akibat tindak pidana;
(e). Hukum pidana tidak digunakan, bilamana hasil sampingannya 1ebih
merugikan dibandingkan dengan perbuatan yang hendak diatur/dikendalikan;
(f). Hukum pidana hendaknya jangan digunakan apabila tidak mendapat
dukungan publik atau diperkirakan tidak dapat ditegakkan.
Yang ketiga adalah perlunya langkah-langkah antisifasi, berupa keberanian
pada penegak hukum untuk mengkaji dan menerapkan nilai-nilai yang timbul
dikalangan masyarakat, misalnya berupa konsensus-konsensus dalam pelbagai pertemuan
ilmiah, dalam praktek penegakan hukum. Sebagai contoh dalam hal ini dapat
dikemukakan nilai-nilai bahwa pidana bukan merupakan penderitaan dan tidak boleh
lxxxv
merendahkan bahwa pidana bukan merupakan penderitaan dan tidak boleh
merendahkan martabat manusia, da1am menjatuhkan pidana hakim harus
memperhatikan pedoman pemberian pidana yang memperhatikan aspek perbuatan,
aspek pelaku, aspek korban, aspek masyarakat dan aspek prediksi dalam kaltannya
dengan tujuan pemidanaan. Ini disebut penegakan hukum yang futurologis (Futuristic
law enforcement). Hal ini penting karena perundang-undangan selalu tertinggal oleh
perkembangan masyarakat.
Penerapan hukum pidana sebagai sarana yang utama (primum remedium)
pengingkaran terhadap asas-asas penggunaan hukum pidana dan penerapan nilai-nilal
serta norma-norma hukum pidana yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman
akan merendahkan wibawa penegakan hukum.
Dari pelbagai negara di dunia kita mengenal aneka ragam model peradilan
pidana. Dari Amerika Serikat kita mengenal pertumbuhan "Crima control Model"
yang bertumpu pada effisiensi menjadi "Due Process Model" yang melengkapi
effisiensi dengan perlindungan hak-hak asasi manusia. Adapun hasil perkembangan
model-model tersebut berada dalam kerangka "Wrestling-Match Model" (Adversary
system) yang bertumpu pada pertentangan yang berlanjut antara negara pelaku tindak
pidana.
Dari Jepang kita mengenal model integratif yang disamping bertumpu pada
effisiensi, profesionalisasi, sistem pendidikan yang terpadu, juga bertumpu pada
partisipasi aktif masyarakat yang membudaya.
Bagi Indonesia pergeseran hukum positif kearah "Due Process" harus
mempunyai warna tersendiri. Effisiensi, profesionalisasi, sistem pendidikan terpadu,
lxxxvi
partisipasi masyarakat dan gerakan kemanusiaan. Seandainya nanti bisa tercapai di
Indonesia belum cukup mantap apabila nilai kemanusiaan tersebut tidak dijabarkan
menjadi lebih operasional.
Sistem peradilan pidana yang berkemanusiaan disamping hal-hal diatas harus
mencerminkan nilai-nilai sebagai berikut :
(a). Mengutamakan pencegahan ;
(b). Bersifat Tat-Tater strafrecht (berorientasi baik pada perbuatan maupun pada
orang) ;
(c). Harmoni dan kesejahteraan sosial sebagai tujuan akhir;
(d). Berorientasi kemasa depan ;
(e). Penggunaan ilmu pengetahuan baik ilmu peng'etahuan sosial maupun ilmu
pengetahuan alam.
Perpaduan nilai-nilai positif diatas akan meningka tkan penghargaan
masyarakat terhadap penegakan hukum.
5) Pandangan Soerjano Soekanto
Faktor--faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dan kewibawaannya.
Sebagaimana dikatakan dimuka, maka penegakan hukum merupakan suatu
proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidahkaidah dan pola perilaku atau sikap
tindak, yang bertujuan menegakkan keadilan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara konsepsional kewibawaan
penegakan hukum sangat tergantung pada hasilnya, yakni adil atau tidak adil.
lxxxvii
Penegakan hukum yang menghasilkan keadilan dianggap berwibawa, dan
sebaliknya. Proses penegakan hukum yang hasilnya adi atau tidak adil, senantiasa
tergantung pada faktor-faktor :
a. Hukumnya sendiri
b. Kepribadian atau mentalitas penegak hukum
c. Fasilitas pendukung penegakan hukum. yang mencakup perangkat lunak dan
keras.
d. Taraf kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat.
e. Kebudayaan hukum yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Apabila faktor-faktor tersebut diasumsikan mempengaruhi proses
penegakan hukum, maka dapat dikatakan bahwa taraf kewibawaan penegakan
hukum tergantung pada faktor-faktor tersebut. Artinya, apabila faktor-faktor tadi
mempunyai pengaruh positif (karena secara substansial positif), maka taraf
kewibawaan penegakan hukum relatif tinggi. Namun, apabila pengaruhnya
negatif (oleh karena secara subtansial mengandung dampak), maka taraf
kewibawaan penegakan hukum akan rendah atau menurun. Oleh karena itu
pengaruh-pengaruh positif senantiasa harus diperkuat (dan dikembangkan), sedangkan
pengaruh negatif atau dampaknya dinetralisasi (kalau tidak mungkin
dihapuskan secara tuntas). Sehubungan dengan itu, maka dibawah ini akan
dijelaskan secara garis besar perihal faktor-faktor tersebut.
Faktor Hukum.
Sebagaimana telah disinggung diatas, maka hukum mencakup unsur-unsur,
lxxxviii
sebagai berikut
a. Hukum perundang-undangan
b. Hukum adat
c. Hukum yurisprudensi
d. Hukum traktat
e. Hukum ilmuwan atau doktrin.
Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis artinya, tidak saling bertentangan.
Disamping itu, maka dalam setiap unsurpun seharusnya tidak bertentangan.
Misalnya, hukum perundang-undangan mengenai suatu. bidang seyogianya tidak
saling bertentangan dan demikian pula halnya dengan perundang-undangan yang
mengatur masalah lain yang ada kaitannya. Misalnya, untuk masalah-masalah lalu
lintas yang tidak boleh saling bertentangan adalah an tara lain:
a.Undang-Undang Nomor 3 tahun 1965
b.Undang-Undang Nomor 13 tahun 1980
c.Undang-Undang Nemor 8 tahun 1981
d.Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982
e.Undang-Undang Nomor 20 tahun 1982, dan seterusnya.
Kalau contoh perundang-undangan dapat dijadikan pegangan sementara, maka
seyogianya perundang-undangan mempunyai bahasa yang jelas. Sebenarnya bahasa
perundang-undangan itu, disamping kejelasannya, harus sederhana dan tepat, oleh
karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundangundangan
itu. Setiap perundang-undangan seharusnya merupakan pencerminan
pelbagai pasangan nilai-nilai, misalnya :
lxxxix
a.Nilai kebebasan dan ketertiban
b.Nilai perlindungan dan pembatasan
c.Nilai kekhususan dan keumuman
d.Nilai keluwesan dan keketatan
e. Nilai kesebandingan dan kepastian.
Hukum adat, hukum yurisprudensi dan hukum. ilmuwan diharapkan mengisi
kekosongan-kekosongan yang ada. Tidak mungkin hukum perundang-undangan
mengatur semua segi kehidupan, dan tidak mungkin pula setiap perundang-undangan
mengikuti atau mendahului perkembangan yang ada dalam masyarakat.
Ketertinggalan-ketertinggalan ini seyogianya dan mungkin juga hukum traktat
(khususnya pada nubungan-hubungan internasional).
Dengan demikian kesan salah yang timbul dalam masyarakat bahwa hukum
hanya terdiri dari perundang-undangan belaka, seharusnya diinteralisasi untuk
mencegah merosotnya wibawa penegakan hukum. Hal ini disebabkan, oleh karena
dewasa ini ada anggapan kuat bahwa tanpa perundang-undangan hal-hal tertentu
harus diatur tanpa upaya hukum. Hal itu tercermin dalam kenyataan dengan adanya
proses deregulasi, debirokratisasi, dan seterusnya. Keadaan demikian malahan akan
menghasilkan anomi dan disorganisasi. Dengan demikian dikatakan bahwa
kewibawaan penegakan hukum dari sudut hukumnya sendiri akan data pertahankan
atau ditingkatkan, apabila :
a.Hukum perundang-undangan sederhana, jelas dan tepat.
b.Hukum perundang-undangan tidak saling bertentangan baik secara vertikal
maupun horisontal.
xc
c.Peringkat perundang-undangan adalah tegas sehingga menutup kemungkinan
adanya produk perundang-undangan yang menyeleweng.
d.Peningkatan peranan hukum adat, hukum yurisprudensi, hukum ilmuwan maupun
hukum traktat untuk mengisi kekosongan dalam perundang-undangan.
Kepribadian atau mentalitas penegak hukum.
Kunci penegakan hukum yang adil dan kewibawaannya, untuk Indonesia
khususnya adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum. Hal ini disebabkan,
oleh karena ada kecenderungan yang kuat dikalangan masyarakat untuk mengartikan
hukum sebagai petugas atau penegak hukum. Artinya, hukum diidentikan dengan
tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Apabila sikap tindaknya hukumnya
juga kurang baik (walaupun, misalnya, perundang-undangannya sudah cukup lengkap
dan baik). Sebaliknya, apabila sikap tindak petugas atau penegak hukum dianggap
adil, maka dengan sendirinya juga berkembang suatu persepsi bahwa hukumnya
sudah cukup baik (dan benar).
Secara konsepsional, maka mentalitas atau kepribadian mencakup
unsur-unsur, sebagai berikut :
a. Pola interaksi sosial
b. Sistem nilai-nilai yang dianut
c. Pota berpikir
d. Sikap
e. Pola perilaku
f. Sistem kaidah-kaidah atau norma-norma.
xci
Kalau sistem nilai-nilai dipergunakan sebagai tolok ukur, maka,
pasangan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kewibawaan penegak hukum
adalah usaha untuk menyerasikan :
a. Keahlakan dengan kebendaan
b. Kesendirian dengan kebersamaan
c. Kerahasiaan dengan keterbukaan
d. Kemampuan dengan kesempatan
e. Kepentingan karier dengan kedinasan.
Dalam kenyataan sering terjadi bahwa salah satu nilai menggantikan
nilai lainnya. Umpamanya, ada kecenderungan bahwa nilai kebendaan lebih
menonjol dan diusahakan untuk dapat menggantikan nilai keahlakan. Apabila
hal itu terjadi, maka sebelum menjadi perilaku nyata kecenderungan itu merupakan
suatu "hazard" (endapan bahaya) yang beraasal dari lingkungan
penegak hukum sendiri, yang disatu pihak membahayakan profesi penegak
hukum dan dilain pihak juga akan mengganggu pencari keadilan.
Apabila diperhatikan pola interaksi para penegak hukum dengan
sesamanya maupun dengan masyarakat, maka ada kecenderungan kuat untuk
memberikan tekanan yang besar pada hal-hal, sebagai berikut :
a. Kekayaan materiel
b. Kekuasaan yang kadang-kadang tidak resmi
c. Impulsivitas dan emosi
d. Populari tasdengan mementingkan pencapaian target secara kaku.
Pola interaksi demikian kalau dipandang secara sosiologis, menimbulkan
xcii
abstraksi yang mementingkan nilai-nilai, sebagai ber ikut :
a. Kebendaan
b. Kebersamaan
c. Kerahasiaan.
d. Kesempatan, dan
e. Kepentingan kedinasan.
Tekanan pada nilai-ni1ai tersebut menimbulkan kecenderungan untuk
menutup kemungkinan berkembangnya nilai-nilai yang lebih kreatif dan positif.
Pengaruhnya terasa pada pola berfikir dan sikap yang kadang-kadang muncul
apabila harus dilaksanakan diskresi dilapangan dan dimuka masyarakat banyak.
Disamping faktor-faktor tersebut diatas, maka salah satu hal yang
menyebabkan turunnya kewibawaan penegakan hukum apabila ditinjau dari
sudut penegaknya adalah kenyataan, bahwa masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat majemuk atau pluralistis. Ada kecenderungan kuat dari penegak
hukum untuk .senantiasa mengusahakan keseragaman dalam penegakan
hukum, yang kadang-kadang dilakukan tanpa memperhitungkan variasi-variasi
prinsipiel yang merupakan kenyataan. Penegakan hukum di wilayah perkotaan
sudah pasti lain dengan yang sifatnya dilakukan di pedesaan. Di wilayah perkotaan
karena sifatnya yang sangat heterogin kadang-kadang diperlukan
variasi-variasi. Keseragaman memang memudahkan pekerjaan, akan tetapi
keseragaman (misalnya dalam wujud kepastian hukum.) belum tentu
menghasilkan keadilan. Padahal, keadilan merupakafl inti penegakanhukum
yang berwibawa (termasuk kewibawaan para penegaknya).
xciii
Kecenderungan lain yang tampak dalam kenyataan adalah, bahwa para
penegak hukum lebih mementingkan kedudukan daripada peranannya.
Kenyataan demikian menimbulkan kesulitan-kesulitan besar untuk menegakan
hukum yang adil secara terpadu. Tekanan pada kedudukan disandang oleh para
penegak hukum. Konsekuensinya adalah pengaruh dan persepsi negatif (dari
warga masyarakat terhadap pola perilaku pegak hukum).
Fasilitas Pendukung.
Sebagaimana telah disinggung dimuka, maka fasilitas mencakup perangkat
lunak'dan keras. Suatu contoh dari peringkat lunak adalah, misalnya, soal
pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh para penegak hukum dewasa ini
cenderung pada hal-hal yang praktis-konvensional saja. Pendidikan hukum pada
taraf kesarjanaan, misalnya, banyak dikritik oleh pihak-pihak diluar Perguruan
Tinggi, oleh karena tidak menghasilkan sarjana hukum siap pakai. Tujuan
pendidikan hukum dewasa ini bukanlah untuk menghasilkan sarjana hukum siap
pakai, akan tetapi sarjana hukum yang memiliki pengetahuan teoritis yang cukup
yang kemudian dapat diterapkan dalam praktek. Pendidikan praktis diperoleh di
taraf lain, misalnya, pada pendidikan pasca sarja atau spesialis. Sebagai
reaksinya, maka dibentuk lembaga pendidikan formal yang tekanannya hanya
pada soal-soal praktis belaka, lembaga mana terpisah dengan Perguruan Tinggi.
Gejala ini akan menimbulkan kerancuan, oleh karena dalam profesi hukum ada
pembagian kerja. Tidak semua sarjana hukum menaruh minat pada praktek dan
tidak semua sarjana hukum menaruh minat untuk mengembangkan teori-teori
belaka.
xciv
Yang sebenarnya diperlukan adalah suatu program pendidikan yang khusus
bagi penegakan hukum. Program itu menggabungkan segi-segi teoritis dan pratis.
Program demikian tidak harus dilakukan dalam kerangka pendidikan
kesarjanaan, akan tetapi cukup sebagai pendidikan non-gelar atau diploma saja .
Masalah perangkat keras merupakan persoalan yang dewasa ini merupakan suatu
"lingkaran setan". Fasilitas fisik yang cukup tidak mungkin ada apabila tidak
anggaran yang cukup pula .Bahkan siap berfungsi apabila diperlukan. Untuk
itupun diperlukan anggaran yang cukup. Kenyataan demikian menumbuhkan
suatu jurang pemisah yang semakin lebar antara harapan dengan kenyataan yang
dihadapi. Keadaan demikian rata-rata menimbulkan citra yang buruk dipihak
penegak hukum.
Tarat Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum.
Setiap warga masyarakat atau kelompok, pasti mempunyai kesadaran hukum.
Masalah yang timbul adalah soal tarafnya, yakni apakah tarafnya tinggi, sedangsedang
atau rendah. Kesadaran hukum sebenarnya merupakan suatu proses yang
mencakup unsur-unsur, sebagai berikut :
a. Pengetahuan hukum
b. Pemahaman hukum
c. Sikap hukum, dan
d. Perilaku hukum.
Para sosiolog dan psikolog beranggapan, bahwa tingkat kesadaran hukum yang
tinggi tercapai apabila warga masyarakat mematuhi hukum, sehingga perilakunya
merupakan tingkah laku hukum. Sebenarnya pendapat demikian a,da benarnya, akan
xcv
tetapi diperlukan pertimbangan terhadap faktor lainnya, yakni faktor yang
menyebabkan warga masyarakat mematuhi hukum. Kepatuhan hukum itupun dari
sudut penyebabnya ada derajatnya. Kemungkihan adalah, bahwa warga masyarakat
mematuhi hukum, karena :
a. Rasa takut pada sanksi negatif yang dijatuhkan apabila hukum dilanggar.
b. Kepatuhan hukum terjadi karena warga masyarakat ingin memelihara hubungan
baik dengan sesamanya.
c. Kepatuhan hukum timbul untuk memelihara hubungan baik dengan penguasa.
d. Kepentingan pribadi terjamin oleh hukum.
e. Hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.,
Berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka dari sudut kepatuhan hukum
masyarakat dapat dibagi dalam golongan-golongan, sebagai berikut :
a. Golongan yang mematuhi hukum : kepatuhan tersebut seharusnya diperkuat,
misalnya, dengan mengadakan penyuluhan hukum, pemberian imbalan pada
panutan hukum, dan seterusnya.
b. Golongan yang merupakan pelanggar hukum potensial. Potensi itu seharusnya
dinetralisasi, sehingga tercegah sikap tindaknya yang nyata.
c. Golongan pelanggar hukum yang harus ditindak mungkin dengan penjatuhan
hukum atau penerapan "maatrege" tertentu.
d. Golongan yang sedang menjalani hukum. Bagi mereka harus diadakan programprogram
yang bermanfaat agar jera, namun dipersiapkan untuk kembali ke
xcvi
masyarakat setelah masa hukumannya habis.
e. Golongan bekas hukum : mereka harus mendapat tempat kembali dalam
masyarakat. Masyarakat harus disiapkan agar bekas hukuman itu tidak
mendapatkan dorongan-dorongan untuk mengulangi perbuatan-perbuatan negatif
yang pernan dilakukannya di masa lampau.
_Secara sepintas tampaknya wibawa penegakan hukum relatif tinggi, apabila
derajat kesadaran hukum dan kepatuhan hukum juga tinggi. Pendepat demikian
hanya sebagian benar, oleh karena kepatuhan hukum, misalnya, merupakan
kesimpulan yang ditarik dari perilaku nyata. Namun apa yang ada dibalik perilaku
nyata tersebut belum diketahui dengan pasti. Kepatuhan hukum karena rasa takut
pada sanksinya (apabila melanggar), memerlukan pengawasan penegakan hukum
yang ketat sekali. Pengawasan yang ketat memerlukan' manusia, biaya dan waktu
yang tidak sedikit. Kewibawaan penegakan hukum diukur dad kehadiran penegak
hukum secara fisik (termasuk pola tingkahlakunya).
Kebudayaan.
Secara analitis-konsepsional terdapat pelbagai jenis kebudayaan, apabila dilihat
dari perkembangannya dan ruang lingkupnya. Di Indonesia, misalnya, dikenal :
a. Super-culture, yaitu kebudayaan nasional yang terwujud, antara lain dalam bentuk
Pandangan Hidup, Undang-Undang Dasar, bahasa, dan seterusnya. Mungkin
gejala ini dapat disebut kebudayaan nasional.
b. Culture, yaitu kebudayaan suku-suku bangsa yang jumlahnya sekitar
limaratusan suku. Setiap suku mempunyai kebudayaan tersendiri yang
xcvii
merupakan identitasnya. Unsur-unsur tertentu kebudayaan suku. ini mempunyai
peranan dalam pembentukan kebudayaan nasional. Mungkin gejala ini dapat
disebut kebudayaan suku atau kebudayaan daerah.
c. Sub-culture, yakni kebudayaan khusus yang timbul dalam kebudayaan suku atau
daerah, yang.serasi dengan kebudayaan induknya.
d. Counter-culture, yaitu kebudayaan khusus yang bertentangan dengan
kebudayaan induk atau kebudayaan nasional. Gejala ini dapat disebut sebagai
kebudayaan tandingan.
Variasi kebudayaan yang demikian besarnya di Indonesia, menimbulkan
persesi-persepsi tertentu terhadap kewibawaan penegakan hukum. Variasi-variasi
persepsi itu sangat sulit untuk diseragamkan karena sudah melembaga dan
membudaya. Oleh karena itu seyogianya pola penegakan hukum senantiasa
disesuaikan dengan konsepsi setempat, sehingga akan memperkuat wibawanya.
Kecuali variasi kebudayaan berdasarkan perkembangan dan ruanglingkupnya,
maka hakekat kebudayaan yang melembaga dengan kuatnya juga perlu
dipertimbangkan. Hakekat itu (untuk Indonesia) adalah apa yang disebut budaya rasa
malu ("shame-culture). Dari sudut tanggung jawab hukum budaya rasa malu ini
merupakan suatu masalah yang sangat sulit untuk diatasi. Budaya rasa malu ini
timbuI, alen karena pola sasialisasi pada anak-anak memang lebih menekankan pada
rasa malu (kalau berbuat salah) daripada rasa bersalah. Rasa bersalah baru timbul
setelah ada rasa malu, sedangkan rasa malu baru muncul apabila "ketahuan" oleh
orang banyak.
Budaya rasa malu ini dengansendirinya juga merupakan gejala pada
xcviii
penegak hukum. Justeru budaya rasa malu inilah yang kadang-kadang
menurunkan derajat kewibawaan penegakan hukum, oleh karena adanya
kecenderungan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab.
Hal-hal yang dijelaskan diatas sedikit banyak (mungkin) menimbulkan
pesimisme tertentu, terutama pada pencari keadilan. Akan tetapi kenyataannya
memang demikian. Untuk mengatasi faktor-faktor yang menurunkan kewibawaan
penegakan hukum dlperlukan kesadaran dan tindakan-tindakan yang nyata,
kesadaran dan tindakan itu bukan selalu berasal dari masyarakat luas (pencari
keadilan), akan tetapi justeru dari para penegakan hukum sendiri. Pencari keadilan
adalah orang-orang yang tidak berdaya dalam soal ini. Mereka hanya dapat
menunjukkan bahwa hal-hal tertentu dirasakan tidak adil.
6) Kesimpulan hasil seminar
Pembahasan dan musyawarah dalam rapat Panitia Pengarah, akhirnya
sampai pada kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
Dari topik : “Peningkatan Wibawa Penegakan Hukum (Suatu tinjauan
Sosio-Yuridis)” diperoleh kesimpulan :
1. Masalah peningkatan wibawa penegakan hukum seyogyanya dilihat dad
hubungan antar sub sistem dalam sistem kemasyarakatan dimana hukum
merupakan sub-sistem sentral yang saling terkait dengan sub-sistem-sub -
sistem lainnya.
2. Penegakan hukum tidak hanya mencakup "law-enforcement" tetapi juga
"peace-maintenance", karena pada hakekatnya penegakan hukum merupakan
proses penyerasian nilai-nilai dan kaidah-kaidah dengan pola prilaku kearah
pencapaian kedamaian. Oleh karena itu tugas utama penegakan hukum adalah
keadilan.
3. Penegakan hukum dan kewibawaannya dipengaruhi oleh faktor-faktor :
hukum sendiri, kepribadian atau mentalitas penegak hukum, fasilitas
pendukung penegakan hukum yang mencakup perangkat lunak dan keras,
taraf kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat, dan kebudayaan hukum
dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain adil-tidaknya
xcix
hasil penegakan hukum tergantung pada faktor-faktor tersebut.
4. Bagi Indonesia, yang menjadi kunci penegakan hukum dan kewibawaannya
adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum yang secara konsepsional
mencakup unsur-unsur : pola interaksi sosial, sistem nilai yang dianut, pola
berfikir, sikap, pola prilaku, dan sistem kaidah-kaidah atau norma-norma.
5. Taraf kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat yang merupakan proses
yang secara esensiel mencakup unsur-unsur : pengetahuan, pemahaman,
sikap, dan prilaku hukum, memiliki kaitan yang erat dengan taraf wibawa
penegakan hukum. Oleh karena itu kajian terhadap masalah wibawa
penegakan hukum menuntut partisipasi bidang ilmu sosial dan prilaku.
6. Secara analitis, penegakan hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana,
erat kaitannya dengan proses interrelasi antar adress hukum. Atau dari segi
lain hal itu dapat dilihat dari konsepsi penegakan hukum baik yang bersifat
abstrak maupun konkrit.
7. Penegakan hukum dapat pula dilihat dari konsepsi "enforcement" yang
didalamnya mengandung adanya konsepsi "total enforcement, area of no
enforcement adalah total enforcement dikurangi area of no enforcement. Oleh
karena dalam area full enforcement itu sendiri adanya "deCision no. to
enforce" maka yang senyatanya adalah actual enforcement dimana para penegak
hukum terlibat.
Dari topik : “Peranan Pollsi Republik Indonesia Sebagai Penegak Hukum
Dalam Rangka menanggulangi Kejahatan” diperoleh kesimpulan :
1. Permasalahan Pokok :
Upaya-upaya yang diperlukan untuk menanggulangi kejahatan secara
konsepsional dan secara operasional, sehingga dapat mendukung peningkatan
wibawa penegakan hukum .
2. Pendekatan permasalahan dilakukan secara konsepsional dan secara praktis
operasional.
a. Secara Konsepsional
1. Memupuk dan meningkatkan sikap masyarakat untuk
percaya dan menghargai Polri sebagai alat penegak hukum
pelindung masyarakat dan bagian dari masyarakat.
2. Membina dan meningkatkan profesionalisme Kepolisian
sebagai penegak hukum pelindung masyarakat.
3. Memantapkan tugas dan fungsi Polri sebagai penegak hukum
dan sebagai bagian dari ABRI dibidang Hankamrata.
4. Meningkatkan koordinasi dengan penegak hukum kejaksaan
dalam penyidikan perkara pidana berdasarkan perundangundangan
yang berlaku.
b. Secara Operasional.
1. Optimasi. dan dinamisasi pelaksanaan tugas Polri selaku alat
negara penegak hukum menurut fungsi preventif, represif, dan bin
mas.
2. Kerjasama dan koordinasi Polri dengan alat penegak hukum
lainnya dalam mengemban tugas-tugas yustisial dari organisasic
organisasi kemasyarakatan dan pendidikan, dalam mengemban
tugas non yustisial dibidang Hankamrata.
Dari topik : “Relevansi Kesatuan Pandang Penegak Hukum Dalam
Penanggulangan Kejahatan” diperoleh kesimpulan :
1. Kesatuan Pandang yaitu kesatuan pandang diantara para penegak hukum
terhadap perangkat hukum sebagai suatu sistem. Kesatuan Pandang dalam
hal ini adalah kesatuan pandang dalam memahami, menafsirkan dan
menterjemahkan keinginan-keinginan hukum yang tertuang dalam
peraturan-peraturan. Seyogyanya jangan diartikan sebagai usaha
persekongkolan atau adanya satu komando dalam mencapai" tujuan
bersama yang telah disepakati.
2. Untuk mencapai kesatuan pandang diperlukan pengetahuan (knowing)
yang memadai bagi para penegak hukum, sehingga terdapat kesesuaian
antara pengetahuan dan pelaksanaan tugas.
3. Penegakan hukum bukan hanya tanggung jawab daripada para penegak
hukum, tetapi juga masyarakat dan pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu
pendidikan hukum perlu dilaksanakan secara dini.
4. Sikap dan prilaku para penegak hukum harus dapat menampilkan tindakantindakan
yang patut di teladani oleh masyarakat. Tindakan tersebut
diharapkan akan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam
menegakkan hukum.
5. Para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya harus mempunyai
tanggung jawab moral dan sosial secara internal dan eksternal.
6. Agar kesatuan pandang antara penegak hukum dapat terlaksana dengan baik
perlu adanya forum komunikasi seperti seminar, diskusi, dan sebagainya,
yang melibatkan praktisi, teoritisi maupun masyarakat.
Dari topik : “Aspek Sobural Dalam Peningkatan Wibawa Penegakan Hukum”
diperoleh kesimpulan :
1. Dalam mengkaji sesuatu masalah seyogyanya kita selalu mengkaitkannya
dengan aspek sobural di Indonesia.
2. Dalam melihat wibawa penegakan hukum, jangan hanya dilihat dari
Polisi, atau Jaksa saja, tetapi benteng terakhir ada pada pengadilan sebagai
pihak yang mengambil keputusan.
3. Penegak hukum dalam arti luas adalah para pelaksana hukum, pembentuk
hukum dan masyarakat.
4. Hukum hendaknya dirumuskan dalam bentuk aturan-aturan yang sesuai
dengan sobural di Indonesia.
5. Dalam meningkatkan wibawa penegakan hukum, lembaga kontrol sosia1
merupakan lembaga yang sangat dominan.
6. Wibawa penegakan hukum haruslah dimulai sejak dini dan dan diri
ci
pribadi.
Dari topik : “Partisipasi Profesi Hukum Sebagai Penegak Hukum Dalam
Peningkatan Wibawa Penegakan Hukum” diperoleh kesimpulan :
1. Pengertian profesi hukum adalah profesi penegakan hukum yang memenuhi
syarat-syarat tertentu (pendidikan), mempunyai tanggungjawab dan bermoral
baik (etika) dalam menjalankan fungsinya. Tentang hal profesi hukum belum
ada ketentuan resmi dan belum ada kesatuan pendapat.
2. Profesi hukum mempunyai pengertian dan identitas tertentu yang dalam
sistem proses penegakan hukum bukan menjadi satu-satunya instrumen
sistem.
3. Profesi hukum hanyalah salah satu bagian dari petugas penegak hukum dan
profesi lain yang sudah cukup berpengetahuan hukum dapat diserahi tugas
kerjaan menegakkan hukum, oleh karena itu perlu ditumbuhkan sikap
berintegrasi untuk memperlancar penegakan hukum.
4. Peran serta profesi hukum hanya dapat dilakukan dengan baik apabila
mendapat dukungan pemantapan kode etik profesi hukum yang sampai
sekarang kabur, untuk menghindarkan malpraktis penegakan hukum.
5. Analisa usaha peningkatan partisipasi profesi hukum (pengacara, jaksa dan
hakim) dalam meningkatkan wibawa penegakan hukum, harus dilakukan
dengan pendekatan sistemik, yang berarti melihat permasalahannya dad segi
keterkaitan (seperti bejana berhubungan) antara sub-sistem profesi
pengacara, sub-sistem profesi jaksa dan sub-sistem profesi hakim.
6. Ungkapan (kiasaan) "Pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan "bukanlah
khayaJan, tetapi suatu "ideal" (cita-cita), yang memerlukan syarat-syarat :
- Adanya sidang pengadilan yang bebas.
- Adanya hakim yang tidak memihak.
7. Perlu adanya kesepahaman tentang pengertian syarat-syarat diatas, antara
ketiga profesi tersebut, yang akan merupakan kesatuan dalam tujuan
bersama, ketiga subsistem profesi ini (unity in snared goals), tanpa
menghilangkan dasar pemikiran bahwa setiap sub-sistem mempunyai
peranan yang berbeda dalam melaksanakan tujuan sistem.
8. Kesatuan dalam tujuan bersama ini, akan memungkinkan organisasi profesi
menindak anggota-anggotanya yang melakukan perbuatan "unethical" dan
atau "illegal", yang diharapkan akan memulihkan kembali kepercayaan
masyarakat pada pengadilan dan hukum, yang berarti pula kembalinya
wibawa penegakan hukum.
9. Penegakan hukum pidana sangat tergantung dengan perkembangan politik
hukum, politik kriminil dan politik sosial, oleh karena itu penegakan
hukum tidak hanya memperhatikan hukum yang otonom, melainkan.
memperhatikan juga masalah kemasyarakatan dan. ilmu prilaku sosial.
10. Penegakan hukum pidana harus diselenggarakan menuju kearah model
administrasi yang sistemik, jika dikehendaki proses penegakan hukum
dapat berjalan dengan baik.
11. Dalam melaksanakan tegaknya hukum, yang penting adalah pemulihan
cii
kembali kepercayaan masyarakat kepada hukum sehjngga membawa
wibawa hukum kepada proporsi yang sebenarnya.
Agar segera diadakan ketentuan resmi mengenai :
1. Profesi Hukum.
2. Bantuan Hukum.
Dari topik : “Sifat/Watak Prilaku/Watak Prilaku Orang Lampung Dalam
Kaitan Dengan Kejahatan” diperoleh kesimpulan :
1. Menilai adat/kebiasaan masyarakat yang terpencar dari sikap/watak
sub-culture tidak dapat terpisah dari perasaan religius, imaginasi mistik,
pemikiran mistik dan rasional. DaJam hal ini termasuk peninjauan
psikologi sosial dan sosiologi pada umumnya.
2. Pi'il Pesenggiri sebagai salah satu dasar kepribadian sub culture budaya
Lampung sebagai baagian masyarakat Indonesia yang berbhineka
sebetulnya mengandung nilai-nilai luhur dalam rangka budaya malu dan
sebagai mahkota dari harkat manusia pada umumnya, dan oleh karena itu
eksistensi yang berhubungan dalc:im rangka penegakan wibawa hukum
diperlukan adanya pengertian yang mendalam :
a. Sistem ideal
b. Expansi dan ref1eksi cara bergaul dan tingkah 1aku
c. Mengetahui nilai sosial dan moral
d. Hasil interaksi sosial
e. Proses hubungan di dalam masyarakat.
3. Dalam rangka mengetahui latar belakang pi'i1 pesenggiri dihubungkan
dengan perbuatan kejahatan dengan kekerasan, diperlukan studi dan
ciii
penelitian, 1ebih lanjut khususnya ditugaskan kepada Unila.
4. Perlu adanya penyuluhan hukum kepada masyarakat dengan menggunakan
kesempatan disamping secara formal yang sudah berlaku, penyuluhan
tersebut diber ikan kepada aparat dan penegak hukum. yang langsung berhubungan
dengan masyarakat. Disamping itu juga diperlukan adanya
pendekatan kepada pemuka-pemuka masyarakat adat.
Akhir dari analisa permasalahan strategi membangun citra Polisi ditemukan
proses penyusunan Rencana Strategi Polisi sebagai berikut :
Strategi adalah konsepsi untuk mencapai: sasaran tertetu, yang bila sasaran tersebut tercapai
akan memudahkan tercapainya tujuan umum, dengan menggunakan sumber daya tertentu.
Strategi ini juga memerlukan waktu yang cukup panjang (10 tahun).
Proses penyusunan Rencana Strategi
Proses Perencanaan Strategi Kepolisia.
Untuk lebih mudahnya, proses pefencanaan strategik di Kepolisian, yang mempunyai
spesifikasi tugas, menjaga keamanan dan ketertiban. Dengan demikian harus berusaha
mengenali perkembangan situasi pada masa yang akan datang, apa saja yang
berubah, kejahatan apa yang terjadi; dan bagaimana cara mengendalikannya, dengan
mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan kita sendiri.
Adapun prosesnya adalah:
(1) Menentukan tujuan yang akan dicapai pada periode tertentu.
(2) Mengumpulkan data tentang:
(a) Perkembangan situasi Pada masa yang lampau, dengan jangka waktu yang sama
dengan periode tertentu yang akan datang, perlu mencari data perkembangan situasi
10 tahun yang lali sampai saat pembuatan rencana. Hal ini digunakan untuk
civ
mengetahui perkiraan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
(b) Mengidentifisir data yang mengakibatkan hal-hal yang tidak bisa dihindari pasti
akan terjadi. Misalnya Urbanisasi yang dapat mengakibatkan adanya kerawanan
sosial pada tempat-tempat tertentu. Atau juga adanya pembangunan kota dan jalanjalan
yang dapat mengakibatkan bertambahnya arus lalu-lintas yang bisa
menimbulkan kemacetan pada tempat-tempat tertentu.
(c) Mengidentifisir data yang dapat mengakibatkan sangat mungkin terjadi. Misalnya
adanya pembangunan di perkotaan, dapat mengakibatkan kejahatan tertentu
meningkat.
(d) Mengidentifisir data yang dapat memungkinkan terjadi, tetapi bila terjadi dapat
mengakibatkan situasi keamanan dan ketertiban benar-benar terancam. Misalnya
kebakaran pada kompleks yang padat penduduknya, jebolnya tanggul sungai besar
pada tempat yang sekitarnya banyak pemukiman.
(e) Mengidentifisir data, yang dapat memungkinkan akan timbulnya kejahatan.
(3) Dengan data tersebut dianalisa untuk mengetahui apa saja yang akan berubah, dan
apa yang paling besar dan mendasar perubahannya (big-change).
(4) Membuat skenario perubahan situasi sampai pada periode tertentu yang akan dituju.
(5) Dari scenario perubahan situasi tersebut, kemudian identifiser peluang-peluang yang dapat
dimanfaatkan, dan ancaman apa yang harus kita hadapi atau tanggulangi.
(6) Mengidentifisir data kekuatan dan kelemahan sendiri.
(7) Menyusun alternatif-alternatif umuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Atau
berusaha mengendalikan skenario perubahan situasi, menjadi skenario yang diinginkan
untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dalam menyusun alternatif ini perlu menyusun
penambahan kekuatan, dan penekanan kelemahan sendiri, serta pemanfaatan peluangcv
peiuang untuk menghadapi ancaman.
(8) Memilih alternatif yang paling baik, dengan memperhatikan efektifitas
(tercapainya tujuan), dan efisiensi (penggunaan sumber daya yang relatif kecil).
(9) Menyusun rencana strategik, yaitu menjabarkan alternatif terpilih menjadi rencani
yang baik.
Berbagai hal yang dapat dikemukakan setelah menganalisa “Hasil Seminar
Peningkatan Wibawa Penegak Hukum” sebagai berikut :
1. Bahwa upaya penanggulangan tindak pidana (pelanggaran lalu-lintas) tidak dapat
dipisahkan dari strategi pembinaan keamanan dan Ketertiban Nasional dengan
mengutamakan bimbingan kepada masyarakat.
2. untuk menunjang upaya sebagaimana no.1, Polri perlu memperhatikan berbagai
faktor seperti ; nilai kepercayaan, aspek dukungan masyarakat.
3. bahwa alamat yang dituju oleh hukum tidak hanya masyarakat, tetapi termasuk
juga aparat penegak hukum terutama Polri karena bidang tugasnya berada di
antara masyarakat.
4. Wibawa Polri / citra Polri amat dipengaruhi oleh : aparat penegak hukumnya,
moralitasnya dan model penegakan hukum yang humanitis dan profesionalisme.
5. Bahwa faktor penegakan hukum meliputi : Hukumnya, kepribadian / mentalitas
aparat penegak hukum, fasilitas pendukung, taraf kesadaran hukum dan
kepatuhan masyarakat dan budaya hukum yang dianut masyarakat. Semua ini
amat berpengaruh pada meningkatnya citra Polri dalam upaya penanggulangan
tindak pidana (utamanya pelanggaran lalu-lintas).
cvi
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari tiga (3) permasalahan yang dirumuskan, didapat kesimpulan sebagai berikut :
1. Respon masyarakat terhadap tindakan polisi dalam menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalulintas
; polisi mampu mewujudkan kondisi kekeluargaan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat dan lebih responsive, simpatik dan tidak membedakan siapapun yang berurusan dengan
polisi. Respon masyarakat terhadap kinerja polisi dalam menangani kasus LAKA lalu-lintas amat
positif, karena sebagai mediator antara pelaku dan korban, polisi bertindak disiplin dalam mediasi
penal. Respon masyarakat terhadap polisi dalam menanggulangi pelanggaran lalu-lintas positif karena
landasan penanggulangan dengan asas
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi citra polisi dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalulintas
dapat dikemukakan adanya enam faktor, yaitu : profesionalisme/intelektulisme, mediator,
ketaqwaan, keteladanan, disiplin dan taat peraturan dan faktor terakhirnya adalah kewibawaan.
cvii
Keenam faktor tersebut sangat berpengaruh bagi tumbuhnya citra polisi dalam penanggulangan tindak
pidana pelanggaran lalu-lintas.
3. Strategi yang perlu diambil kepolisian untuk membangun citranya dalam menanggulangi rindak pidana
pelanggaran lalu-lintas melalui integrated prevention effort antara warga masyarakat dan polisi. Di sisi
lain reformasi diri merupakan upaya polisi dalam membangun citranya. Termasuk reformasi
profesionalisme/intelektualisme, keteladanan polisi. Jadi reformasi diri polisi yang utama adalah
reformasi cultural.
SARAN
Membangun citra polisi tidak mungkin dilakukan tanpa kerjasama dengan warga masyarakat, dengan
musyawarah merupakan sarana efektif yang dirasa mampu membangun citra polisi ke depan lebih baik
cviii
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, “Polisi dan Efektifitas Hukum dalam Penanggulangan Kriminalitas” dalam
Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta: PT. Yasif Watampone,1998.
Asian Human Rights, Comussion – Indonesia,”Penyiksaan terhadap 2 penduduk desa oleh polisi di
Sumatera Selatan berkaitan dengan surat jual – beli pembelian sapi, 12 Januari
2006 (Sumber: http://indonesia .ahrck.net/news/mainfile.php/ua2006/43).
Box, Stevan “Police crime” dalam Power, Crime and Mystification. London & New York : Tavistok
Publications, 1983.
Brannen, Julia, Memadukan Metode Penelitian Kualitatif dengan Kuantitatif. Yogyakarta:
diterbitkan atas kerja sama Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda dengan
penerbit Pustaka Pelajar, 1997.
Bawengan, Gerson W. Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Jakarta : Pradnya
Paramita, 1977.
Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S., Handbook of Qualitative Research, London: SAGE
Publications, 1994.
Djamin, Awaloedin, “Beberapa Masalah dalam kepolisian Negara Republik Indonesia” (1986)
menggunakan istilah “pembinaan masyarakat” (BIMAS) untuk menunjuk
tugas – tugas kepolisian yang bersifat pre-emptif.
Gosita, Arief, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademik Presindo, 1993.
Habib, A. Hasin, Beberapa Catatan Mengenai Kepolisian, Makalah Seminar Nasional Polisi
Indonesia III, Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, 1998
Hadikusuma, H. Hilman, Peradilan Adat di Indonesia. Jakarta: CV. Miswar, 1989.
Hadisaputro, Paulus. “Pemberian Malu Reintegratif Sebagai Sarana Nonpenal Penanggulangan
Perilaku Program Delikuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan
Surakarta). Disertai Program doktor Ilmu Hukum. Semarang: PDIH Undip, 2003.
Hendradi, Menegakkan Supremasi Nilai – Nilai Sipil: Peran Kepolisian dalam Perspektif HAM,
Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, Pusat Studi Kepolisian Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1998.
cix
Indarti, Erlyn. Diskresi Polisi. Semarang : Lembaga Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Pelatihan untuk
Anggota Polri. Jakarta: 2006.
Keputusan Kapolri No. Pol. : KEP/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana
Strategis Polri 2005 – 2009 (Renstra Polri).
Kopong Medan, Karolus, ”Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal
Menurut Tradisi Masyarakat Lamohot di Flores, Nusa Tenggara timur”, Disertai
Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: PDIH Undip, 2006.
Kunarto, Merenungi Kritik Terhadap Polisi, Cipto Manunggal, Jakarta: 1995 Buku 1.
___________, Merenungi Kritik Terhadap Polisi, Cipto Manunggal, Jakarta: 1995 Buku 2.
___________,”Peran serta Masyarakat dalam Menjaga Tugas dan Tanggung Jawab Polisi
Tidak Menjurus Kepada Tindakan Negatip”, Makalah Seminar Nasional Polisi
II tentang Pertanggungjawaban Polisi, Diselenggarakan oleh Pusat Studi
Kepolisian Fakultas Hukum Undip di Semarang pada 15 Juli 1996.
Laporan WALHI, 2003, dalam Tempo Interaktif, 03 desember 2003.
Malarangeng, Andi A, Polisi Sipil dalam Pemerintahan Dalam Negri, Makalah seminar Nasional
Polisi Indonesia III, Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro semarang: 1998.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni bandung
1983.
______, Kejahatan di lingkungan Profesi. Makalah Seminar Nasional PPS – KPK – UI – UNDIP –
Semarang: 1992.
_______, Polisi dan Hak Asasi Manusia, Makalah Seminar Nasional indonesia 5, Pusat Studi
Kepolisian Fakultas Hukum Univesitas Diponegoro, Semarang: 1995.
_______, Kapita Selekta Peradilan Pidana Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang:
1995.
_______, Kerjasama Internasional dalam Bidang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana,
Makalah Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, fakultas Hukum UNDIP, semarang:
1995.
cx
_______,” Kejahatan Lingkungan Profesional” dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.
Semarang: Badan Penerbit Undip, 1995.
Nawawi Arief, Barda. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, CV Ananta, Semarang: 2000.
___________, Barda. Kepolisian dalam perspektif Kebijakan Kriminal dan Sistem Peradilan
Pidana, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang: 1998.
____________, Beberapa Aspek kebijakan Penegakan dari Pengembangan hukum Pidana,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 1998.
___________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1996.
Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penaggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti
__________, Mediasi Pidana ( Penal Mediation ) dalam Penyelesaian Sengketa / Masalah
perbankan beraspek Pidana diluar Pengadilan, Dialog Interaktif Mediasi Perbankan di Bank
Indonesia, Semarang: 2006.
N.N, Kasus VCD Polisi Megawati : Panwas Nila Pelanggaran sangat serius oleh Polisi, dalam
Harian Kompas, Jakarta: 2004.
_____..”Bila Anda Ditilang Polantas” ,sumber
http://www.transparansi.or.id/kajian/kajian3_lalin.html)
_____” Kapolri: Profesionalisme Polisi Belum Optimal”. Berita Harian KOMPAS, 1 Juli 1995.
Naskah Akademik Grand Stategi Polri 2005 –2025 point 1.2.2 tentang “Restorasi Sistem
Keadilan Restorasi Sistem Keadilan: Restorative Justice.
Pamungkas, Sri Bintang, Polri sebagai Pengembangan Kebijakan KAMDAGRI. Makalah
Seminar Nasional Polisi Indonesia III, Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang: 1998.
Pujiyono, Bambang,” Strategi Mengangkat Kembali Citara Polri”, Artikel
Harian Suara Karya, 1 Juli 2005 (Kf. Suara Karya Online, 23 Januari 2007,
http://www.suarakarya-online.com/news.html? id=113664).
Rahardjo, Satjipto, dalam Kopong Medan, Karolus dan rengka, Frans J.(Ed), Sisi –sisi Lain dari
Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
cxi
______________,Pertanggungjawaban Polisi Berkaitan dengan Tugasnya: Penjelajahan
terhadap Peta Permasalahan”, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia II, diseleggarakan oleh
Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum Undip, 15 Juli 1995.
_______________,” Membangun Polisi Indonesia Baru : Polri dalam Era pasca-ABRI”,
Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian
Fakultas Hukum UNDIP semarang tanggal 22-23 Oktober 1998.
_________________, Hasyim Asyari (Ed), Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Razak, A. Kamil,” Profesionalisme, Perwujudan Paradigma Baru Polri”, Harian Pikiran
Rakyat, 3 Juli 2006.
Reksodiputro, Mardjono,” Ilmu Kepolisian dan perkembangannya di Indonesia”, Makalah
Seminar Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri dalam Rangka Sewindu Kajian Ilmu Kepolisian
Universitas Indonesia, 2 Sepytember 2004.
Santosa, Iwan,” Republik ini Butuh Kepastian Hukum.” Artikel Harian Kompas, 06 Maret
2004.
Sarwono, Sarlito Wirawan,”Citra Polisi dalam teori Psikologi Sosial”, Artikel Harian
KOMPAS, 1 Juli 1995.
Sumaryono, E,, Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Yogyakarta:
Penerbit Kinisius, 1995.
Sultani,”Profeionalisme Polri di tengah Membaiknya Pamor”, Artikel Hatian kompas 03 Juli
2006.
Suparmin,” Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di
Kabupaten Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung”, Tesis Program Magister Ilmu
Hukum. Semarang: Undip, 2000.
Suprana, Jaya,” Polisi dan Pelayanan Masyarakat”, Makalah Seminar Nasional Polisis I,
diselenggarakan oleh Pusat studi Kepolisian UNDIP, 1995.
Surat Keputusan Kapolri No.pol : SKEP/360/VI/2005 tanggal 10 Juni 2005 tentang Grand
Strategis Polri Menuju 2005-2025.
Sutanto,” Membangun Polri unutk menumbuh-Kembangkan Kepercayaan Masyarakat”,
MABES Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta, 2006.
Tabah, Anton, Menatap dengan Mata Hati Polisi Indonesia: Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1991.
cxii
Tabloid Mingguan Detik,21 Agustus s/d 14 September 1993.
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara
Pidana (KUHP).
Wahid, Abdul, Modus – modus kejahatan Modern. Bandung : PT. Tarsito, 1993.
Walhi,”Kekerasan Polisi terhadap Warga Bojong” (Sumber: WALHI,
http://www.walhi.or.id./kampanye /cemar/sampah/041123 kekeraspol bojong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar