Senin, 25 April 2011

OPINI DEMOKRASI DI ACEH

Demokrasi dan otonomi khusus seakan hanya sebagai fatamorgana bagi masyarakat Aceh yang hendak melepaskan dirinya dari kepurukan ekonomi dan kemiskinan (23 April).

Jangan salahkan pemerintah daerah jika seandainya separauh janjinya saja yang ditepati, bukalah sedikit wawasan dan pemikiran untuk mengkaji fenomena yang sedang terjadi dikalangan parlemen sistem pemerintahan Indonesia pada saat ini, barulah kita bisa memfokus siapa yang hendak mau kita salahkan. Masih banyak program yang tidak bisa dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena wewenang penuh masih di tangan pemerintahan pusat. Perlu kita ketahui yang bahwa hanya beberapa dari kesepakatan Mou Helsinki hanya beberapa poin saja yang disahkan dan masih banyak poin penting lainnya yang masih tergantungan dalam ketidak pastian, kendala apakah yang membuat poin tersebut tidak disahkan?
Sebenarnya desentralisasi memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat daerah untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa interupsi pusat. Nah, jika seandainya otonomi khusus untuk aceh belum sepenuhnya diserahkan maka demokrasi di tingkat lokal menjanjikan dua kemungkinan sekaligus, yaitu kemajuan dan kemunduran, perubahan dan kemandegan dan jika proses demokrasi dan otonomi masih kurang hanya menyentuh aspek-aspek yang superfisial, hanya formalitas dan ritual demokrasi belaka, maka angan-angan tentang perubahan itu hanya akan tetap di tempatnya. Mata dunia hanya memandang bahwa di Aceh telah tercapai ‘perdamaian’ tidak sekedar merupakan penghentian kekerasan, melainkan suatu arena baru dimana para pihak yang tadinya berkonflik mendapatkan kesempatan untuk menyumbangkan pikiran dan idealismenya melalui program-program yang dikampanyekan secara publik ketika proses pemilu. Perdamaian dalam hal ini bukanlah sekedar pengakhiran kekerasan. Disamping itu, bagaimana perdamaian dimaknai di gampong dan oleh ureung gampong, sebagai basis bagi apa yang disebut ‘masyarakat Aceh’ apakah sebagai perubahan dari konflik atau hanya diam di intimidasi oleh elit politik?
Pada dasarnya pendekatan yang berpusat pada negara melakukan kajian tidak diletakan pada konteks demokratisasi melainkan pada kokohnya negara dan pematangan kapitalisme.  Demokratisasi harus diarahkan kepada pendewasaan berpolitik masyarakat, peningkatan kualitas partisipasi dan penyejahteraan. Salah satu yang menjadi determinannya adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang apatis dan berpartisipasi secara pasif atau oportunistik dalam konteks demokratisasi di wilayahnya berpotensi melahirkan kesempatan bagi segelintir elit yang akan menguasai dengan sewenang-wenang. Akibatnya, kualitas otonomi pun menjadi rendah yang padanya absent interpersonal trust dan nihil civic engagement. Padahal keduanya merupakan faktor yang sangat penting bagi kuatnya bangunan demokrasi. Absennya kepercayaan rakyat terhadap elitnya dan hilangnya partisipasi rakyat hanya akan mempercepat keruntuhan demokrasi. Namun, bila kepemimpinan elit di daerah baik dan masyarakat memiliki partisipasi kritis dalam konteks demokratisasi itu, arah demokratisasi mudah ditebak, keadaannya akan lebih lurus dan baik. Rakyat yang berkuasa, rakyat pula yang menentukan arah demokrasi dan nasibnya sendiri. Jangan apatis! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar