Kamis, 11 Agustus 2011

sekilas tentang komunikasi international


Sekilas Tentang Komunikasi Internasional
Komunikasi internasional sebagai sebuah bidang kajian memfokuskan perhatian pada keseluruhan proses melalui mana data dan informasi mengalir melalui batas-batas negara. Subyek yang ditelaah bukanlah sekedar arus itu sendiri, melainkan juga struktur arus yang terbentuk, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, sarana yang digunakan, efek yang ditimbulkan, serta motivasi yang mendasarinya. Pendekatan yang digunakan bersifat makro, dengan aktor-aktor non-individual sebagai unit analisa, dan dekat dengan wilayah disiplin ilmu hubungan internasional atau ekonomi politik internasional.
Dalam perkembangannya, terdapat empat pendekatan dominan dalam disiplin komunikasi internasional: idealistic-humanistic, political proselytization, informasi sebagai kekuatan ekonomi, serta informasi sebagai kekuatan politik. Masing-masing pendekatan memiliki kekuatan dan kelebihannya sendiri-sendiri, sehingga mata kuliah ini tak akan menggunakan hanya salah satu pendekatan tersebut.
Dilihat dari pelakunya, komunikasi internasional dapat dipandang sebagai terbagi antara official transaction, yakni kegiatan komunikasi yang dijalankan pemerintah, dan unofficial transaction (atau disebut juga interaksi transnational), yakni kegiatan komunikasi yang melibatkan pihak non-pemerintah. Untuk jangka waktu yang lama, transaksi formal antarpemerintah dianggap paling menentukan. Namun semakin banyak ditunjukkan bahwa tidak saja transaksi transnasional lebih intensif dilakukan, namun dampaknya pun bisa lebih menentukan.
Komunikasi International sebagai Fenomena
Pemerintah, sebagai salah satu pelaku utama komunikasi internasional, menjalankan sejumlah langkah yang berpengaruh terhadap posisi negara yang diwakilinya dalam percaturan politik internasional. Pemerintah dapat menjalankan langkah-langkah yang berefek politik langsung, seperti: diplomasi dan propaganda; ataupun langkah yang berdampak tidak langsung, seperti: mempromosikan pendidikan internasional.
Perkembangan komunikasi internasional sendiri selama sepanjang abad 20 ini dipengaruhi oleh berbagai kondisi sejarah. Pertama, perang dingin dan perebutan hegemoni ekonomi politik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang baik secara langsung ataupun tidak langsung telah melibatkan seluruh negara di dunia ini. Dunia menjadi ajang bukan hanya pertarungan politik, melainkan juga pertarungan informasi. Kedua, bangkitnya negara-negara baru/berkembang yang bisa diindikasikan dengan lahirnya berbagai gerakan solidaritas, yang dalam wilayah komunikasi diwakili dengan lahirnya gerakan tata informasi dunia baru. Ketiga, terbentuknya sistem ekonomi dunia ke arah globalisasi, yang mendorong berlangsungnya komunikasi antarnegara untuk mendukung kepentingan ekonomi. Terakhir, adalah perkembangan teknologi komunikasi yang kendatipun mempercepat pengaliran arus informasi, namun juga dikhawatirkan memperlebar jurang ekonomi antara negara maju dan negara berkembang.

PERBANDINGAN SISTEM PERS DAN KAITANNYA DENGAN KEBEBASAN ARUS INFORMASI ANTAR NEGARA
Arus Informasi Antar Negara dan Tipologi Klasik Sistem Pers
Menurut tipologi klasik, sistem pers di dunia ini dibagi dalam 4 sistem pers besar, yaitu: sistem pers otoritarian, sistem pers libertarian, sistem pers Soviet-Komunis, dan sistempers tanggung jawab sosial. Sistem pers Soviet-Komunis dipandang sebagai perwujudan lain dari sistem pers otoritarian; sementara sistem tanggung jawab sosial merupakan respons dari sistem libertarian.
Landasan yang membedakan keempat sistem tersebut adalah filsafat masing-masing sistem dalam memandang: manusia. Masyarakat, negara, dan kebenaran. Perbedaan filsafat tersebut mengakibatkan lahirnya perbedaan dalam hal penanganan kebebasan arus informasi. Dalam sistem otoritarian, kebebasan hanya akan mengarah pada kekacauan, karena pada dasarnya masyarakat secara individual tak akan mampu mencapai kebenaran tanpa dituntut oleh para pemimpin negara. Kaum Soviet-Komunis memandang kebebasan pers hanya akan memperkuat dominasi kaum borjuasi di atas masyarakat awam. Sebaliknya kaum libertarian justru memandang kebebasan pers sebagai syarat mencapai kebenaran dan kesejahteraan. Sementara kaum penganut gagasan tanggung jawab sosial, kendatipun tetap percaya pada kebebasan pers, namun juga percaya bahwa kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab pada masyarakat.

Sejumlah Pemikiran Lain Tentang Tipologi Pers
Selain tipologi klasik yang diperkenalkan Siebert dan kawan-kawan, telah hadir pula berbagai tipologi sistem pers lain yang merupakan respons terhadap tipologi klasik tadi. Merrill memperkenalkan model “Tiga dan Satu”, yang meleburkan kategori sistem pers otoritarian, Soviet-Komunis, dan Tanggung jawab Sosial dalam satu kelompok; dan kategori Libertarian di kelompok lain. Ralph Loewenstein memperkenalkan modul “Loewenstein Progression”, yang mengubah kategori Soviet-Komunis menjadi kategori Social Centralist, sementara kategori Tanggung jawab Sosial diubahnya menjadi Social Libertarian.
Kelompok pengamat lain mengalihkan perhatian mereka dari filsafat yang mendasari sebuah sistem sosial yang semula dipandang sebagai determinan dari sistem pers yang berlaku, ke arah kondisi sosial-ekonomi ataupun tahap pembangunan suatu masyarakat. Dalam pendekatan terakhir ini, pengendalian terhadap arus informasi bisa dijelaskan oleh berbagai kebutuhan akibat perkembangan suatu masyarakat.

GAGASAN TATA KOMUNIKASI DAN INFORMASI DUNIA BARU
Gagasan Tata Komunikasi dan Informasi Dunia Baru (TKIDB) Dan Gagasan Internasional
Gagasan Tata Komunikasi dan Informasi Dunia Baru berasal dari berbagai keprihatinan tentang struktur komunikasi internasional lama yang dianggap terlalu didomunasi oleh negara-negara maju. Gagasan ini menjadi semakin menguat terutama pada dekade 1970-1980. Saat itu terlihat adanya potensi perkembangan dalam dunia teknologi komunikasi dan informasi.
Bila memang ada bayangan tentang sebuah era yang akan dipenuhi perkembangan teknologi tersebut, mengapa yang muncul adalah gagasan TKIDB yang menuntut restrukturisasi? Kekhawatiran terhadap dominasi negara-negara maju ini berakar dari kenyataan bahwa tata komunikasi dan informasi yang ada sebenarnya dikuasai negara-negara maju, yang ditunjukkan oleh dominasi negara-negara tersebut dalam hal industri berita, televisi, film, musik, dan berbagai sektor komunikasi lainnya.
UNESCO yang berawal dari Inggris pada November 1945 dan semula didomunasi negara-negara Barat, terutama Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat, pada tahun 1950-an berlangsung pergeseran dan berlanjut sampai pada akhirnya masuk negara-negara Asia, Afrika, dan wilayah Dunia Ketiga lainnya.
Pembicaraan mengenai upaya mewujudkan gagasan TKIDB tak bisa dilepaskan dari badan PBB UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Badan ini, pada periode tertentu secara gigih mengungkit permasalahan TKIDB sehingga terwujud sebuah gerakan politik internasional yang sangat serius.
Pandangan Optimistik Mengenai Arus Informasi Internasional
Demikianlah, kita dapat melihat bagaimana arus informasi internasional dipandang sebagai sesuatu yang positif. Dalam teori-teori modernisasi; arus informasi dari negara-negara maju dianggap sebagai keniscayaan bagi pembangunan negara-negara berkembang dalam rangka mempelajari nilai-nilai yang dibutuhkan dalam proses modernisasi. Tanpa perubahan nilai, diteorikan bahwa pembangunan perangkat keras yang dilakukan di Dunia Ketiga tak akan ada artinya.
Dalam pandangan globalisasi, arus informasi internasional dianggap sebagai keniscayaan bukan hanya bagi negara berkembang namun juga bagi seluruh dunia dalam rangka mencapai pemahaman bersama. Diteorikan bahwa selama ini konflik-konflik di dunia terjadi karena banyaknya perbedaan pandangan antar kelompok sesuatu yang akan dapat diatasi bila terjadi komunikasi yang lebih baik.
Dengan demikian, kedua kubu pandangan ini melihat dominasi arus informasi oleh negara-negara maju bukan sebagai hal yang negatif. Bahkan mengingat negara maju adalah contoh negara yang berhasil dalam peradaban dunia saat ini, dominasi tersebut nampak sebagai sesuatu yang dibutuhkan bagi negara-negara berkembang.

Gagasan-gagasan Pesimistik Mengenai Dominasi Arus Informasi Internasional Di Negara-negara Berkembang
Berbeda dengan kelompok teori modernisasi dan globalisasi yang cenderung memandang gencarnya arus informasi dari negara-negara maju sebagai sesuatu yang disyaratkan bagi pembangunan Dunia Ketiga dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dunia, kelompok teori imperialisme memandang arus informasi tersebut justru sebagai penyebab keterbelakangan negara berkembang dan timbulnya berbagai konflik alam masyarakat.
Dalam hal ini, komunikasi dipandang sebagai sarana pendidikan negara berkembang untuk menjadi bergantung pada negara-negara maju. Proses Eropanisasi atau Westernisasi yang oleh kubu modernisasi dipandang sebagai hal yang diperlukan agar masyarakat negara berkembang mengadopsi nilai-nilai yang dibutuhkan untuk mengikuti jejak negara Barat mencapai kemajuannya, dalam kubu imperialisme dipandang sebagai hal yang menjadikan masyarakat negara berkembang menjadi konsumen barang-barang produksi Barat yang sebenarnya tak dibutuhkan sesuai dengan perkembangan ekonomi mereka. Selain itu, penanaman nilai-nilai yang tercapai lewat komunikasi internasional itu juga dianggap menjadikan negara berkembang terutama elitnya senantiasa menganggap benar pola habungan antar negara maju dan negara berkembang yang sebenarnya bersifat eksploitatif.
Di luar teori imperialisme, berkembang pula keprihatinan lain yang terkait dengan visi nasionalistik, yang mempersoalkan perbedaan kontekstualitas budaya antara masyarakat produsen dan masyarakat konsumen, serta yang terkait dengan kekhawatiran bahwa negara berkembang menjadi sasaran disinformasi yang dilakukan negara maju.

KETIMPANGAN INFORMASI: IMPERIALISME KULTURAL DAN KOMUNIKASI
Perkembangan Gagasan TKIDB Sebagai Gerakan Internasional
Tata Komunikasi dan Informasi Dunia baru (TKIDB) adalah sebuah gagasan yang mengangankan terwujudnya sebuah struktur sistem media dan telekomunikasi internasional di mana berlangsung arus komunikasi yang berimbang antara negara maju dan negara berkembang. Gagasan ini menjadi salah satu agenda terpenting dalam dunia komunikasi tahun 1970-an, karena periode itu merupakan masa awal revolusi komunikasi yang meskipun di satu sisi akan mempercepat arus informasi dari satu belahan dunia ke belahan dunia lain, namun di sisi yang lain dikhawatirkan akan memperkokoh dominasi negara-negara industri maju.
Satu aktor utama yang berperan dalam upaya mewujudkan TKIDB adalah UNESCO, badan PBB yang memang sejak tahun 1960-an memberi perhatian luas terhadap kondisi arus informasi internasional. Meskipun tak memiliki kekuatan legal untuk memaksakan kebijakan, UNESCO memiliki kekuatan moral yang akan menjadikan para negara anggotanya merasa berkewajiban mematuhi keputusan-keputusan bersama mereka.
Pada periode 1970-an, UNESCO menjadi tampak semakin berhadap-hadapan dengan kepentingan negara-negara industri maju, karena keanggotaan badan supranas10nal itu semakin didominasi banyak negara yang belum lama merdeka dan kecewa dengan tatanan komunikasi yang berlangsung. Pada masa itu pula, apa yang disebut Gerakan Dunia Ketiga memperoleh dukungan energi yang dibutuhkan dengan berhasilnya OPEC mendikte kepentingan mereka atas negara-negara maju.
Ketika AS sempat menarik untuk sementara dukungan dana dari UNESCO, konfrontasi justru semakin menjadi. Begitu pula lawan politik AS dalam Perang Dingin, Uni Soviet, pada masa itu berhasil mencitrakan diri sebagai sahabat Dunia Ketiga dalam menghadapi negara-negara Barat.
UNESCO dan Dunia Ketiga memang memandang solusi bagi ketidakseimbangan arus informasi internasional itu bukan hanya membangun sistem media dan telekomunikasi yang kuat di Dunia Ketiga. Tercakup dalam gagasan TKIDB adalah perlunya pemerintah berperan besar dalam sistem komunikasi sebuah negara, serta pula penolakan terhadap prinsip kebebasan pers yang mutlak. Dua hal terakhir inilah yang menjadi fokus utama pertentangan antara Dunia Ketiga dengan negara-negara industri maju, terutama AS.
Kegagalan TKIDB Yang Bermula dari AS
Sejak pertengahan 1970-an, ada kesan gagasan Tata Komunikasi dan Informasi Dunia Baru akan berhasil diwujudkan melalui UNESCO. Saat itu, sikap pemerintah AS di bawah Presiden Jimmy Carter juga menunjukkan pengertian yang cukup mendalam terhadap apa yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Akibatnya suasana konfrontatif antara negara industri maju, terutama AS, dengan para pendukung TKIDB di UNESCO belum sepenuhnya meruncing.
Di sisi lain, UNESCO sendiri menunjukkan bahwa penentangannya terhadap tata komunikasi lama bukanlah didasarkan pada penentangan terhadap kepercayaan mengenai prinsip kebebasan pers. Ini terlihat pada Deklarasi Media 1978 maupun pada Resolusi UNESCO 1980 yang didasarkan pada laporan Komisi MacBride. Di sana tertera jelas dukungan terhadap arti penting arus informasi yang bebas serta perlindungan terhadap wartawan yang menjalankan profesinya.
Yang lebih awal menunjukkan secara tegas penolakan terhadap gagasan TKIDB adalah komunitas pers barat, sebagaimana terlihat dalam peliputan mereka terhadap sidang-sidang UNESCO maupun dalam Konferensi World Press Freedom Committee. Yang terutama mereka serang adalah gagasan tentang peran pemerintah dalam sistem media sebuah negara serta konsep pers yang bebas dan berimbang.
Keberatan pers Barat tersebut bisa dijelaskan oleh dua hal:
1.       bahwa gagasan tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan pers yang dijunjung tinggi pers Barat, dan
2.      bahwa gagasan tersebut mengancam kepentingan ekonomi media Barat yang berusaha menjadikan Dunia Ketiga sebagai pasar. Apalagi karena dalam resolusi-resolusinya tersebut, UNESCO melontarkan peringatan tentang ancaman yang datang dari “keterpesonaan yang berlebihan terhadap teknologi komunikasi”, “banjir produk budaya Barat”, serta “komersialisasi komunikasi”. Dalam penentangan tersebut, pers Barat menggambarkan TKIDB sebagai upaya negara-negara berkembang memberangus kebebasan pers, seraya mengabaikan fakta bahwa resolusi yang dikeluarkan justru mengandung dukungan terhadap prinsip kebebasan pers. Adalah dalam konferensi WPFC, usulan penarikan diri AS dari UNESCO mula-mula tercetus.
Upaya perwujudan TKIDB memperoleh pukulan balik terutama setelah naiknya Ronald Reagan menjadi presiden AS pada 1980. Dengan dukungan media, pemerintah AS sejak saat itu bersikap tegas menghambat berkembangnya gagasan-gagasan TKIDB. Puncaknya adalah ketika akhir 1984, AS mengundurkan diri dari UNESCO, sehingga mereka tak memiliki kewajiban moral mengikuti resolusi yang dikeluarkan. Di pihak lain, mundurnya AS menghilangkan kontribusi dana 25 persen dari total anggaran UNESCO. Sejak saat itu, gagasan TKIDB mengalami kemunduran sampai akhirnya lumpuh sama sekali.

KETIMPANGAN ARUS BERITA INTERNASIONAL
Dominasi Kantor Berita Besar
Pada masa ini berlangsung ketimpangan arus berita internasional, dimana konstelasi kantor berita dunia didominasi oleh tiga kantor berita yang kesemuanya berpusat di Barat. Dominasi ini diperkirakan akan masih akan terus berlangsung meningkat pertimbangan ekonomi pengumpulan berita dan kredibilitas kantor-kantor berita tersebut. Tiga kantor berita tersebut dapat dikategorikan sebagai kantor berita “dunia”, yang semakin memperkokoh dominasinya antara lain dengan memperluas keragaman jasa, versi bahasa, dan corak berita yang ditawarkan bagi para klien yang semakin beragam pula. Di luar mereka, terdapat pula kantor-kantor berita “menengah” dan “nasional”.
Dominasi 3 Besar adalah fenomena yang baru lahir setelah abad 20. Sebelumnya, sejak awal kelahiran kantor berita pada pertengahan abad 19, dominasi tersebut dipegang oleh Tiga Besar kantor berita Eropa: Havas, Wolff, dan Reuter. Tiga alasan keunggulan ketiga kantor berita tersebuat adalah: (a) Mereka adalah perintis kantor berita; (b) keterkaitan mereka dengan peran yang dijalankan negara mereka masing-masing dalam percaturan politik-ekonomi-militer interasional pada masanya; (c) mereka menguasai teknologi yang dibutuhkan. Dua hal utama yang menyurutkan posisi mereka sejak awal abad 20: a) kondasi politik internasional di Eropa; b) tantangan dari munculnya kantor-kantor berita AS. Setelah Perang Dunia II, konstelasi kantor berita praktis berubah.
Ketimpangan Isi Berita dan Kendala-kendala bagi Perubahan Terhadapnya
Gugatan yang diajukan terhadap ketimpangan arus berita internasional tidak hanya berkaitan dengan segi kuantitas namun juga segi kualitas berita, yakni mengenai isi berita yang diedarkan kantor-kantor berita Barat. Pemberitaan tentang negara-neqera berkembang dianggap tidak proporsional jumlahnya, cenderung bersifat negatif, tidak ditempatkan dalam konteks keseluruhan, lebih merefleksikan nilai Barat, dan mengabaikan dimensi pembangunan.
Namun perubahan kecenderungan sulit diharaphan akibat sejumlah kondisi obyektif. Bagi kantor-kantor berita Barat, berita adalah komoditi, sehingga corak berita yang mereka tawarkan akan sengat tergantung pada pertimbangan-pertimbangan: siapa pasar potensial mereka, apa yang dibutuhkan serta disukai dan tidak disukai pasar tersebut, berapa biaya yang harus dikeluarkan dan komponen biaya apa yang dapat ditekan. Pengendalian ketat dari pemerintah negara-negara berkembang sendiri telah turut mendorong tumbuhnya kecenderungan pemberitaan semacam itu.
Kesadaran akan sulitnya mengharapkan perubahan datang dari kantor-kantor berita Barat sendiri, negara-negara berkembang menqembangkan kerjasama antar mereka sendiri dengan mendirikan berbagai kantor berita “internasional menengah”. Kendatipun akarnya dapat dilacak sejak awal 1960-an, perkembangannya baru sangat terasa sejak dekade 1970-an. Hampir semua negara berkembang terlibat dalam salah satu kerja sama antar kantor berita nasional, baik yang bersifat regional (misalnya OANA) ataupun tidak (misalnya NANAP). Namun demikian, sejauh ini upaya menantang monopoli kantor berita besar ini hanya memperoleh sukses terbatas. Kantor-kantor berita besar tetap dianggap sebagai sumber berita yang dapat memenuhi kebutuhan media secara lbih cepat, lebih efisien, 1ebih dapat diandalkan dengan harga relatif murah. Kantor berita dunia ketiga baru menempati posisi pelengkap bukan pengganti kesimpulan mana dapat pula diterapkan pada perkembangan salah satu kantor berita alternatif yang dikembangkan para jurnalis Barat sendiri: IPS.
Dominasi Barat dalam arus berita ini berlangsung dalam wilayah berita-film, yang didominasi dua kantor berita AS dan Inggris; radio gelombang pendek, yang didominasi stasiun-stasiun radio milik berbagai pemerintah Barat; dan majalah internasional, yang didominasi majalah-majalah AS.

PERIKLANAN INTERNASIONAL
Definisi, Fungsi, dan Latar Belakang Pertumbuhan Periklanan
Dalam dunia bisnis, periklanan memiliki peran penting selain menyampaikan informasi mengenai produk mereka juga berperan dalam mencipta brand loyality kepada konsumen serta ikut membangun citra perusahaan. Karena itu dalam ilmu marketing periklanan termasuk dalam komponen marketing mix (adonan marketing), yaitu place, price, product, dan promotion. Selain bisnis, iklan dipakai pula untuk kepentingan non profit, seperti iklan layanan publik maupun informasi mengenai pembangunan. Perkembangan dunia periklanan dimulai pada abad l9-an saat didirikannya firma-firma perantara media. Revolusi industri ikut memicu perkembangan bidang ini dengan didirikannya biro-biro khusus periklanan. Mulanya media periklanan yang efektif adalah radio. Media ini mampu menjangkau khalayak sasaran lebih luas dan tak mengenal waktu. Dominasi radio mulai mengendur setelah adanya televisi. Dengan kelebihannya yang mampu menghadirkan suara dan gambar media ini berhasil menyedot perhatian pemirsa di seluruh belahan dunia. Perkembangan dunia periklanan ditandai oleh pelonjakan belanja iklan yang terus membengkak. Selama 20 tahun terakhir belanja iklan dunia naik mencapai enam kali lipat atau hampir mencapai satu trilyun dolar AS. Sayangnya, dominasi periklanan masih dikuasai oleh para pemain dari negara adi daya. Ada 10 perusahaan periklanan terbesar dunia, seperti Dentsu, Inc., Young & Rubicam, dan Seatchi & Seatchi.
Periklanan Internasional dan Pasar Global
Sektor periklanan internasional adalah satu sektor komunikasi yang mengalami perkembangan pesat terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II. Sebagaimana di sektor-sektor komunikasi lainnya, dominasi perusahaan-perusahaan yang datang dari negara-negara industri maju juga terlihat. Namun berbeda dengan kebanyakan sektor komunikasi lainnya, perusahaan-perusahaan periklanan internasional tak hanya berperan sebagai perusahaan yang mengirimkan pesan internasional dari kantor pusat mereka, melainkan juga beroperasi langsung di negara-negara berkembang, terutama dalam bentuk hubungan kerja sama (meskipun kerap dalam pola hubungan yang tak seimbang) dengan perusahaan-perusahaan iklan lokal.
Periklanan pada dasarnya menempati posisi vital dalam upaya menjangkau konsumen sebanyak-banyaknya yang disyaratkan bagi keberhasilan produksi massa yang memang dibutuhkan bagi keberhasilan proses industrialisasi. Karena itu bisa dipahami bila industri periklanan berkembang paling awal dan paling pesat di Amerika Serikat, karena negara ini bukan saja tergolong berdiri terdepan dalam Revolusi Industri, namun juga memiliki wilayah negara sangat luas dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Pertumbuhan itu menjadi semakin pesat dengan kehadiran berbagai teknologi komunikasi baru sejak akhir abad 19 sampai saat ini.
Periklanan internasional mengikuti pola perkembangan serupa, yakni mengikuti pola pembangunan ekonomi, industrialisasi, perdagangan internasional, serta investasi asing. Pertumbuhan periklanan internasional secara khusus menjadi pesat sesudah 1960-an, saat ratusan perusahaan asing membuka kantor cabang di luar negeri, termasuk di negara-negara berkembang. Dengan kata lain pertumbuhan periklanan internasional tersebut berlangsung sejalan dengan lahirnya perusahaan-perusahaan yang tak lagi beroperasi secara domestik, melainkan beroperasi dalam skala internasional.
Perkembangan mutakhir dalam wilayah periklanan internasional adalah bahwa total belanja iklan global turut disumbangkan secara signifikan oleh belanja iklan di negara-negara berkembang; sementara peningkatan belanja iklan di negara-negara berkembang tersebut sangat melibatkan perusahaan-perusahaan iklan besar berbasis negara-negara industri maju yang melakukan ekspansi ke atau memperkokoh kedudukannya di negara-negara berkembang. Praktis di semua negara yang mengizinkan industri periklanan tumbuh, perusahaan-perusahaan multinasional menempati posisi dominan.
Bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi dengan skala global ini, terdapat dua pilihan strategi utama yang lazim digunakan saat memasuki pasar asing. Pendekatan pertama adalah pendekatan standarisasi global, yakni menerapkan satu cara promosi yang sama di berbagai negara berbeda. Implikasinya adalah sebuah strategi promosi global yang dirancang dari sebuah kantor pusat di pusat produksi, dengan menggunakan lembaga-lembaga periklanan yang berada di pusat produksi tersebut. Sedangkan pendekatan kedua mementingkan adaptasi lokal. Kedua pendekatan itu sama-sama mendorong lahirnya biro-biro iklan lokal, namun dengan pola kerja sama berbeda. Dalam pendekatan pertama, posisi biro iklan sekadar sebagai perpanjangan tangan untuk memasuki pasar domestik. Sementara dalam pendekatan kedua, biro iklan lokal menempati posisi menentukan karena dianggap lebih memahami kebutuhan lokal.
Pendekatan standarisasi dianggap jauh lebih menguntungkan dalam hal biaya (cost-competitive) dan dalam hal menjaga konsistensi //brand image//. Namun pendekatan standarisasi tak selalu bisa diterapkan karena adanya kendala budaya termasuk kebutuhan, emosi, dan kerangka berpikir serta kendala kebijakan komunikasi di masing-masing negara. Karena itu perusahaan-perusahaan global berkepentingan dengan penyeragaman bukan saja selera dan kebutuhan produk, melainkan juga keseluruhan budaya dan perangkat kebijakan antara yang terdapat di //home country// dan di //host country//.
Segenap kendala itu menyebabkan internasionalisasi perusahaan iklan transnasional itu mengikuti tiga pendekatan. Pertama, model Imperial, di mana biro iklan transnasional memperluas operasi mereka ke seluruh dunia dan mendirikan kantor-kantor cabang sepenuhnya tanpa afiliasi dengan perusahaan lokal, meskipun kerap dengan merekrut tenaga lokal. Kedua, model Internasionalisasi Melalui Kesepakatan (Internationali-zation by Consent), di mana yang lazim dilakukan adalah bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan lokal, baik dalam bentuk akuisisi saham maupun dalam bentuk kontrak/kerja sama manajemen. Ketiga, strategi diversifikasi produk.
Ada sejumlah kritik terhadap merambah masuknya periklanan internasional ke negara-negara berkembang. Pada intinya, kritik tersebut merujuk pada tuduhan bahwa periklanan internasional mendorong masyarakat negara berkembang mengonsumsi barang-barang mewah yang tidak merangsang tumbuhnya industri padat karya dan memiliki ketergantungan pada komponen impor sangat tinggi, sehingga menguras kekayaan negara berkembang dan mendorong kecemburuan sosial antar kelas sosial.
Karena kekhawatiran itu, tak selalu perusahaan-perusahaan periklanan transnasional dapat bergerak leluasa. Namun ada bukti-bukti yang menunjukkan begitu sebuah negara membuka diri terhadap arus investasi asing serta barang-barang konsumsi asing, sulit untuk menghambat laju masuk dan mendominasinya perusahaan-perusahaan periklanan transnasional ke dalam negeri. Salah satu contoh terbaik adalah Indonesia. Meskipun Indonesia menerapkan kebijakan yang cenderung menghambat masuknya industri periklanan transnasional, perusahaan-perusahaan iklan terbesar di Indonesia saat ini adalah yang berafiliasi dengan perusahaan periklanan transnasional. Adapun penyebab ketergantungan perusahaan-perusahaan iklan lokal pada pihak asing tersebut terutama adalah Sumber Daya Manusia, serta aliansi perusahaan pengiklan asing dan perusahaan periklanan asing.

HIBURAN GLOBAL
Ciri-ciri Industri Hiburan Global
Arus hiburan internasional mengalami peningkatan pesat dalam satu dua dekade terakhir ini bersamaan dengan terbangunnya sebuah industri hiburan global. Sejumlah hal yang menjadi ciri industri tersebut adalah industri berkembang dengan rentang variasi produk semakin luas, penyebarannya berskala global yang dipermudah dengan diadopsinya kebijakan yang lebih terbuka oleh berbagai pemerintah, pertumbuhannya dipercepat dengan perkembangan teknologi komunikasi, dalam pertumbuhannya tersebut sejumlah negara memang memiliki posisi dominan namun posisi sejumlah negara berkembang pun di sebagian wilayah turut menguat.
Pemilikan dalam industri hiburan tersebar di tangan berbagai pemodal dari berbagai negara, berlangsung diversifikasi produk dan produk-produk tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi. Dominasi negara maju terutama AS dalam industri hiburan global ini tidak datang secara tiba-tiba. Pada awalnya perkembangan masyarakat industri mendorong lahirnya kebutuhan akan hiburan yang direspons dengan lahirnya berbagai medium hiburan yang ditujukan pada massa, bukan hanya pada kalangan elit tertentu.
Kebutuhan akan medium hiburan yang bersifat massal ini memberi insentif bagi perkembangan teknologi komunikasi yang melahirkan berbagai medium yang saling mengisi dan bisa diakses dengan mudah dan relatif murah oleh masyarakat. Kesalingterkaitan ini mendorong berkembangnya industri budaya populer yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Ketiga tumbuh menjadi industri ada kebutuhan untuk menciptakan economies of scale, dengan gagasan sederhananya adalah semakin banyak kopi sebuah produk dihasilkan semakin murah pula biaya per unit. Logika produksi massa yang didasarkan pada skala ekonomi ini cenderung mendorong industri hiburan berupaya mencapai khalayak seluas mungkin, sehingga pasar yang berusaha dikuasai tak hanya bersifat lokal dan nasional namun juga global.
Dominasi Dalam Struktur Arus Hiburan Global dan Kemunculan Pemain-pemain Baru
Dalam industri film dominasi AS paling menonjol disebabkan oleh pasar dalam negeri yang besar sehingga tercapai skala ekonomi, memiliki sumberdaya yang handal, dan penerapan teknologi canggih dalam industri film. Demikian halnya dalam industri televisi dan musik, dominasinya ditunjang oleh harga yang murah, pasokan dapat diandalkan dan memiliki diskon kultural. Dalam kasus Indonesia menunjukkan sulitnya sebuah negara berkembang menerapkan kebijakan protektif terhadap arus hiburan internasional.
Dalam hal film Indonesia terpaksa membuka diri terhadap arus impor dari AS setelah memperoleh tekanan dari MPEAA yang akan menerapkan sanksi perdagangan. Selain itu, tumbuhnya teknologi audio visual baru menumbuhsuburkan penyebaran film-film AS.
Dalam hal musik, pertumbuhan radio swasta dan murahnya harga kaset audio. Harga kaset ini memang melonjak setelah AS mendesak Indonesia menerapkan UU hak cipta. Namun karena sudah terbentuknya selera musik populer di Indonesia tingkat penjualan produk musik Barat segera meningkat kembali. Dalam hal televisi, peningkatan program televisi asing meningkat seiring dengan lahirnya kebijakan yang mengizinkan pendirian stasiun televisi swasta.

SATELIT DAN PERKEMBANGAN TELEVISI SATELIT
Pengertian dan Komponen Dasar
Pengiriman sinyal siaran tak selalu memakai satelit tetapi bisa menggunakan teknologi microwave dan jaringan kabel coaxical. Ketiga sistem ini mempunyai spesifikasi yang berbeda. Tiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa saling mengisi. Sistem satelit dikembangkan untuk mengatasi distorsi yang diakibatkan karena gangguan fisik, seperti lautan dan gunung. Penggagas teknologi satelit dipelopori oleh Arthur C. Clarke asal Inggris. Penggunaan satelit memicu perkembangan teknologi komunikasi seperti yang kita lihat seperti sekarang ini.
Satelit ditempatkan pada orbit geostasioner umumnya dimanfaatkan bagi siaran televisi. Sedangkan low and mid earth orbit difungsikan untuk kebutuhan komunikasi seluler. Perkembangan satelit sendiri dipicu oleh adanya perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Banyak pihak tertarik memanfaatkan teknologi ini lantaran alasan efisiensi. Namun demikian, ada kelompok pengkritik yang mempertanyakan siapa bertanggung jawab atas adanya impact assesment dan berapa besar biaya yang harus dibayar (social cost) atas dampak siaran yang sulit dibendung. Penemuan teknologi digital memungkinkan data yang dikirim lebih banyak dengan tingkat akurasi tinggi.

Ledakan Televisi Satelit di Asia
Sekarang ini angkasa di atas benua Asia banyak ditaburi benda artifisial yang disebut satelit. Awalnya satelit Palapa milik Indonesia menjadi penghuni tunggal di kawasan ini hingga beberapa dekade, tetapi kini keberadaannya tidak sendiri lagi. Banyak satelit bertengger di angkasa benua Asia, seperti Palapa C-1, Intelsat 701, 704, dan 705, Asia Sat 1, 2, Thaicom 1-A, 2, PAS-2, Apstar-1, PAS-4, Rimsat 1, dan 2. Sebagai pioner pemilikan satelit Palapa saat itu menghantarkan Indonesia memperoleh peringkat keempat dunia sebagai negara pemilik satelit setelah Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Kanada.
Ada beberapa argumen yang melatari Indonesia mesti memiliki satelit sendiri antara lain, untuk memobilisasi arus informasi dari pusat ke daerah atau sebaliknya, mengingat luas wilayah dan kondisi geografis yang berpulau-pulau, selain untuk memicu pertumbuhan pembangunan, ekonomi, dan bisnis. Namun demikian, lantaran pemerintah dalam menerapkan kebijakan mengenai siaran asing di Indonesia terlalu ketat dan sering berubah, maka banyak pihak yang ingin menyewa transponden Palapa dibatalkan. Karena itu, meskipun Palapa keberadaannya lebih dulu ada dibanding satelit Asia-Sat 1 misalnya, tetapi yang belakangan ini lebih maju dalam arti jangkauan siaran, jumlah pemirsa dan penyewa transponder. Padahal jika semua kapasitas transponder yang dimiliki satelit semua laku disewa, maka pemilik satelit tinggal memetik keuntungan yang besar.

PROPAGANDA INTERNASIONAL
Pengertian Propaganda
Propaganda pada dasarnya adalah upaya sengaja dan sistematis dengan memanfaatkan media komunikasi untuk mempengaruhi publik agar bereaksi sesuai dengan yang diinginkan sang propagandis. Dalam pemahaman ini, propaganda tidak dengan sendirinya melibatkan pengertian menipu atau menggunakan fakta yang tidak benar. Bagaimanapun, sejarah memang mencatat banyak ahli propaganda menghalalkan berbagai cara yang tidak etis dalam mencapai tujuan yang diinginkan, termasuk merekayasa berita atau disinformasi. Karena latar belakang itu, banyak pihak enggan menggunakan istilah propaganda dan menggantinya dengan istilah seperti ‘informasi publik’ atau ‘diplomasi publik’ untuk propaganda internasional.
Propaganda internasional dibedakan dari upaya komunikasi politik luar negeri lainnya dalam hal kegiatan ini ditujukan pada publik luar negeris dan bukan hanya pada elit politik terbatas. Terdapat tiga kondisi yang menyebabkan peningkatan propaganda internasional sesudah perang Dunia II: pertama, semakin dihindarinya penggunaan kekuatan militer dalam upaya menyelesaikan pertikaian internasional; kedua, meningkatnya Posisi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di sebagian besar negara, sejalan dengan diterimanya sistem pemerintahan demokratis di negara-negara tersebut; ketiga, berkembangnya sarana komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk menjalankan propaganda internasional.
Komunikasi persuasif ini pun dapat dibedakan antara yang dijalankan dalam masa damai dan yang dilancarkan dalam masa perang yang mengambil bentuk agresif. Dalam masa perang, masing-masing kubu bertikai memanfaatkan berbagai sarana komunikasi untuk mempengaruhi kubu lawan, terutama untuk memecah belah, melemahkan, serta menghancurkan semangat bertempur musuh.

Propaganda Internasional Melalui Media Massa Swasta
Dalam masa damai ini, propaganda yang dijalankan memiliki pola lebih halus. Pemerintah negara-negara besar lazim mendirikan perpustakaan, menyelenggarakan seminar, diskusi, acara budaya, pertukaran siswa di negara lain aktivitas-aktivitas yang pada dasarnya berfungsi mempengaruhi publik luar negeri mendukung negara besar tersebut. Hampir setiap negara juga menyelenggarakan stasiun radio gelombang pendek untuk menjalankan propaganda internasional mereka.
Namun, seperti terlihat dalam kasus AS, ‘peperangan informasi’ itu tak hanya dijalankan sepenuhnya oleh organ-organ pemerintah, namun juga didukung oleh inisiatif-inisiatif non-pemerintah, serta melalui media massa swasta yang baik secara terencana atau tidak terencana mendukung kebijakan pemerintah tersebut.
Propaganda internasional AS melalui media massa swasta mengambil dua bentuk. Pertama, pelibatan media massa melalui penanaman jurnalis dan artikel ke dalam media tersebut. Dalam hal ini seringkali media massa tak menyadari bahwa mereka ‘disusupi’ untuk dimanfaatkan bagi kepentingan propaganda pemerintah. Yang kedua, pelibatan-pelibatan media massa melalui persetujuan media massa itu sendiri. Dalam hal ini, dukungan media massa itu terkait dengan lima kondisi: a) besaran, kepemilikan, dan orientasi keuntungan Media Massa; b) pengaruh periklanan; c) kebutuhan akan narasumber pemerintah; d) tekanan tidak formal (‘Flak’); serta e) adanya ideologi antikomunisme.
Sumber buku Komunikasi Internasional, Karya Adi Armando

Tidak ada komentar:

Posting Komentar