Minggu, 12 Juni 2011

DUKA TANGSE.

Dalam beberapa minggu terakhir, tepatnya tanggal 10 Maret 2011 pada hakikatnya masyarakat Aceh kembali menangis dengan tibanya sahabat yang biasa mengunjungi disetiap tahunnya berupa banjir bandang di kawasan Tangse-Aceh Pidie. Sepuluh kecamatan hancur parah dihantam ombak banjir yang sangat kuat. Ketua PMI Kabupaten Pidie Zakaria HM Yusuf mengatakan, Memang sudah menjadi tamu terhormat bagi masyarakat tangse kalau masalah banjir ini, akan tetapi tamu kali ini adalah tamu yang kedua yang luar biasa bagi mereka setelah 35 tahun yang silam tepatnya pada tahun 1976, ratusan masyarakat meninggal. Memang jumlah kematian pada kali ini lebih kecil dari yang dulu, hanya merenggut nyawa 12 orang. Akibat banjir bandang ini sejumlah struktur dan infrastruktur yang ada di sejumlah daerah tersebut hancur, sehingga aktifitas warga macet total dan kondisi masyarakat tangse sangat pasrah dengan nasib yang menimpanya, untuk makan saja mereka pasrah dan sangat mengharapkan uluran tangan dari dari kita semua.
Sampai dengan hari ketiga kawasan yang belum berhasil disentuh oleh Tim PMI meliputi Desa Blang Pandak dan Krueng Meriam, desa ini memang sangat terisolir dan sangat susah untuk dijangkau baik roda empat maupun yang roda dua. Sehingga untuk melakukan assessment dan pendistribusian barang bantuan terpaksa dilakukan pada hari ke lima, karena menunggu pembersihan jalan yang longsor akibat banjir bandang tersebut. Berdasarkan assessment langsung oleh relawan gabungan PMI, ada 30 unit rumah warga yang hilang dan hanyut tersapu banjir, 8.275 unit rumah warga yang rusak berat, dan yang lainnya rusak ringan. Banjir Bandang yang membawa lumpur dan batang-batang kayu besar ini juga merusak beberapa sarana publik, diantaranya 8 unit jembatan penghubung di wilayah Tangse, 4 unit pesantren, dan satu unit bangunan puskesmas.
Berdasarkan survey langsung oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tepatnya hari keempat menaksir total kerugian akibat Banjir Bandang ini mencapai Rp 1 Triliun. Di balik duka Tangse, dengan melihat kenyataan langsung dilokasi kejadian, Irwandi langsung menekankan dan menegaskan kepada masyarakat
 Tangse khususnya agar menghentikan penebangan liar dan melakukan penghijauan baru tendasnya dengan tegas.
Sering kita dengar dan kita pun menyadari hal tersebut yang berbunyi “lindungi hutan untuk anak cucu kita nanti” sebuah kalimat yang sangat mengena bagi kita yang mau memperdalamkannya. Dari hal tersebut kita sangat pantas bertaya apa sebenarnya tugas atau kerja polisi hutan kita yang jumlahnya lebih dari 3.000 orang dan selalu terima gaji itu? Kenapa saat Illegal logging dicanangkan, saat polhut ditambah, hutan kita tetap sengsara? Bencana Tangse ini mestinya menjadi momentum bagi penguasa untuk mengevaluasi efektivitas kerja para polisi hutan dan dinas serta instansi terkait. Cukuplah rakyat Tangse yang mengalami derita sedahsyat ini akibat tidak sungguh-sungguhnya kita merawat dan menyelamatkan hutan kita.

DIAM TERTINDAS ATAU BERGERAK MELAWAN.

Demokrasi dan otonomi khusus seakan hanya sebagai fatamorgana bagi masyarakat Aceh yang hendak melepaskan dirinya dari kepurukan ekonomi dan kemiskinan (23 April).

Jangan salahkan pemerintah daerah jika seandainya separauh janjinya saja yang ditepati, bukalah sedikit wawasan dan pemikiran untuk mengkaji fenomena yang sedang terjadi dikalangan parlemen sistem pemerintahan Indonesia pada saat ini, barulah kita bisa memfokus siapa yang hendak mau kita salahkan. Masih banyak program yang tidak bisa dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena wewenang penuh masih di tangan pemerintahan pusat. Perlu kita ketahui yang bahwa hanya beberapa dari kesepakatan Mou Helsinki hanya beberapa poin saja yang disahkan dan masih banyak poin penting lainnya yang masih tergantungan dalam ketidak pastian, kendala apakah yang membuat poin tersebut tidak disahkan?
Sebenarnya desentralisasi memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat daerah untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa interupsi pusat. Nah, jika seandainya otonomi khusus untuk aceh belum sepenuhnya diserahkan maka demokrasi di tingkat lokal menjanjikan dua kemungkinan sekaligus, yaitu kemajuan dan kemunduran, perubahan dan kemandegan dan jika proses demokrasi dan otonomi masih kurang hanya menyentuh aspek-aspek yang superfisial, hanya formalitas dan ritual demokrasi belaka, maka angan-angan tentang perubahan itu hanya akan tetap di tempatnya. Mata dunia hanya memandang bahwa di Aceh telah tercapai ‘perdamaian’ tidak sekedar merupakan penghentian kekerasan, melainkan suatu arena baru dimana para pihak yang tadinya berkonflik mendapatkan kesempatan untuk menyumbangkan pikiran dan idealismenya melalui program-program yang dikampanyekan secara publik ketika proses pemilu. Perdamaian dalam hal ini bukanlah sekedar pengakhiran kekerasan. Disamping itu, bagaimana perdamaian dimaknai di gampong dan oleh ureung gampong, sebagai basis bagi apa yang disebut ‘masyarakat Aceh’ apakah sebagai perubahan dari konflik atau hanya diam di intimidasi oleh elit politik?
Pada dasarnya pendekatan yang berpusat pada negara melakukan kajian tidak diletakan pada konteks demokratisasi melainkan pada kokohnya negara dan pematangan kapitalisme.  Demokratisasi harus diarahkan kepada pendewasaan berpolitik masyarakat, peningkatan kualitas partisipasi dan penyejahteraan. Salah satu yang menjadi determinannya adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang apatis dan berpartisipasi secara pasif atau oportunistik dalam konteks demokratisasi di wilayahnya berpotensi melahirkan kesempatan bagi segelintir elit yang akan menguasai dengan sewenang-wenang. Akibatnya, kualitas otonomi pun menjadi rendah yang padanya absent interpersonal trust dan nihil civic engagement. Padahal keduanya merupakan faktor yang sangat penting bagi kuatnya bangunan demokrasi. Absennya kepercayaan rakyat terhadap elitnya dan hilangnya partisipasi rakyat hanya akan mempercepat keruntuhan demokrasi. Namun, bila kepemimpinan elit di daerah baik dan masyarakat memiliki partisipasi kritis dalam konteks demokratisasi itu, arah demokratisasi mudah ditebak, keadaannya akan lebih lurus dan baik. Rakyat yang berkuasa, rakyat pula yang menentukan arah demokrasi dan nasibnya sendiri. Jangan apatis!